Doa untuk Sahabat

 

Mataloko awal Juli...

Suasana hiruk-pikuk melanda Mataloko yang berkabut. Terlihat para orang tua sibuk membawa perlengkapan murid-murid baru dan menggandeng tangan anak-anak mereka. Sementara itu mobil-mobil dan banyak bis berdesak-desakkan di halaman pendopo. BAlbertan cemara hijau juga turut meramaikan suasana, melambai-lambai seakan mengucapkan selamat datang kepada para seminAlbert baru. Peluh-peluh bercucuran walaupun suasana mendung dan suhu yahng dingin. Semua itu tak mereka hiraukan. "Ini demi panggilan". Selalu begitu kata mereka.

Jauh dari segala kesibukan itu, aku dan bapakku duduk asyik di depan kapela. Namaku Ardy. Aku berasal dari suatu kota di Flores. Bapakku adalah pemilik perusahaan baru yang bergerak di bidang tenun daerah. Sedangkan mamaku seorang peranakan Jawa. Ia dokter spesialis bedah dan bekerja di  Rumah Umum suatu kota .

Hawa dingin merasuk kulitku. Mataloko memang tak berubah. Terus berkabut sepanjang waktu. Sore ini aku harus kembali ke "sarang benih imamat" ini. Aku adalah anak tunggal. Ayahku menyuruhku masuk Seminari hanya karena kegemaranku membaca Alkitab di rumah. Seminari adalah suatu tempat bagi seseorang yang mau menjadi pastor atau room. Hasilnya, aku sekarang tamatan SMP Seminari Mataloko yang tengah duduk merenung di depan kapela SMA Seminari Mataloko.

"Oh..senangnya jika aku bersekolah di...”

Lamunanku dibuyarkan oleh kedatangan mamaku. "Urusan administrasinya sudah selesai," kata mamaku penuh senyum,

"Oke, sekarang Bapa dan Mama boleh pulang ya...", sambung Bapaku. Segera mobil hitam bapaku distarter. Wajah lelah namun penuh harapan dari mamaku cukup membuat aku tersentuh. "Telepon bapa dan mama, Ardy. Belajar yang rajin dan jangan nakal ya..", kata mamaku lagi dari dalam mobil hitam itu.

"Oke ma..", jawabku asal-asalan. Tak berselang lama mobil hitam bapaku itu melaju lurus meninggalkan bumi Mataloko, seolah juga ingin membawa pergi kenangan manisku dengan orang tua dan kenalanku saat aku masih berlibur di rumah. Salah satu kenangan liburan yang hingga saat ini masih terbayang jelas dalam benakku adalah kenanganku bersama Tasya yang manis. Perjalananku ke Danau Kelimutu bersama Tasya semasa liburan masih membekas. Kemudian dengan murung aku kembali ke ruang tidur asrama, bertemu teman-teman lama dan membagi pengalaman liburan bersama.

< ----- >

Hidup di seminari bagiku bagaikan hidup seekor burung dalam sangkar emas. Segalanya telah tersedia bagi kami. Olahraga, kegiatan rohani, belajar, buku, perpustakaan, musik dan masih banyak lagi. Satu-satunya hal yang membuatku gerah adalah kebebasan. Di lembaga pendidikan tunas-tunas muda imamat ini aku mempunyai dua sahabat yang bisa kukatakan sebagai sahabat sejati yang sangat dekat denganku. Mereka adalah Albert dan Hengky. Mereka adalah penyeimbangku. Merekalah orang-orang yang membuatku masih ingin berada di lembaga pendidikan ini.

Hari-hari pertamaku di SMA Sminari ini terasa berjalan amat lamban. Cerita liburan adalah satu-satunya hiburan berharga bagi aku dan kawan-kawanku. Albert adalah sahabat dekatku, meski kami berbeda bagai langit dan bumi. Albert itu alim, sedangkan aku boleh dikatakan agak liar. Namun hal ini tidak mengganggu kedekatan kami. Kami layaknya kakak beradik yang selalu berjalan bersama. Di mana ada Albert, di sana pasti ada aku. Kedekatan kami sudah tak ada taranya, seolah di dunia ini tak ada yang dapat memisahkan kami. Bahkan Tasyaku yang manis tak bisa mengalahkan kedekatan kami. Albert selalu bercerita bahwa ia ingin menjadi seorang misionaris sejati. Ia ingin melanglangbuana menuju negeri fantasi, melayani orang miskin dan menjadi orang asing di negeri orang. Ia ingin menjadi petualang sejati. Mengelilingi dunia dan berpetualang mencari keagungan ciptaan Tuhan di dunia.

Minggu-minggu membosankan kini telah berlalu. Jujur saja aku adalah pribadi yang paling malas berdoa. Apapun yang terjadi, aku tidak pernah memohon bantuan ataupun bersyukur kepada Tuhan. Kalaupun aku berdoa bersama teman-temanku, pikiranku akan jauh melayang ke kota kelahiranku. Aku membayangkan saat bersama Tasya. Bahkan saat misa pun aku terus berkhayal, sambil berharap agar misa cepat selesai. Aku membayangkan hal-hal yang jauh di luar pikiranku. Kadang fantasi dan hayalanku membawaku dalam suasana penuh keindahan di mana aku seolah-olah menjadi orang hebat yang berkuliah di Oxford University, atau bahkan berkelana bersama Winnetou di padang Praire Amerika yang ganas. Aku tak pernah berkonsentrasi saat menjalankan kegiatan-kegiatan rohani itu. Dan aku tak mau mengendalikan pikiran dan hayalanku ini. Jika lelah berkelana bersama hayalanku, kapela pun menjadi tempat yang enak dan nyaman bagiku untuk tidur.

< ----- >

Sore itu aku dan Albert hendak berjalan-jalan menuju kubur seorang pastor yang ada di belakang kapela asramaku. Aku melihat Albert meringis kesakitan. Ia memegang lehernya yang mungil. Aku tersadar, ia semakin kurus akhir-akhir ini. Karena itu, aku bersamanya langsung menghadap Pastor Kepala Asrama. Pastor menyuruh Albert mengecek keadaanya di Poliklinik asramaku. Setibanya di sana, Suster Tania segera menyambut kami. Setelah melalui proses medis yang rumit, suster lama terdiam. Wajahnya murung dan tangannya agak gemetaran.

"Kenapa Suster?", tanya Albert penasaran. "Tak apa-apa. Tapi sekarang kamu harus ke Rumah Sakit untuk mengikuti pemeriksaan lebih lanjut", jawab suster.

Albert merasa tidak puas dengan jawaban Suster Tania, namun ia diam saja. Seakan memberinya jawaban, malam itu Pastor Kepala Asrama mermanggil kami berdua.

"Pastor sudah tahu, Pastor sangat bersedih. Sekarang siapkan pakaian dan bersiaplah untuk berangkat," kata Pastor dengan wajah penuh kegelisahan.

"Memangnya kenapa Pastor?" tanya Albert semakin bingung. "Oh..ya, jadi kamu belum tahu. Pastor berat juga untuk mengatakannya, tapi ini demi kepentinganmu juga. Kemungkinan sakit di lehermu adalah pertanda kanker. Namun kamu harus segera pulang dan pergi ke Rumah Sakit untuk memastikannya" jawab Pastor lagi.

Aku terhenyak. Albert mulai menangis. Kami keluar dari kamar Pastor dan menyiapkan barang-barang yang akan dibawa Albert. Hengky datang membantu kami dengan menyelipkan seribu satu macam pertanyaan dan kegelisahan. Keesokan harinya, Albert berangkat menuju rumahnya di luar kota. Kami semua menghantarnya dan menguatkannya. Mobil yang membawanya berangkat meninggalkan wajah-wajah murung teman-teman seangkatan.

Sesudah kepergian Albert, hari itu juga aku langsung membuat suatu keputusan penting. Aku harus berubah. Aku dan Hengky beranjak menuju Kapela. Selama ini aku selalu bersikap pesimis. Aku selalu santai dalam kehidupanku di Seminari ini. Tak pernah aku doakan teman-temanku, Seminariku, kedua orang tuaku, bahkan diriku sendiri. Bersama Hengky, aku berjalan menuju Kapela dalam diam. Kami menjejakan kaki dengan lembut pada keramik-keramik putih dan memaksakan tanganku membuka pintu kayu Kapela. Kami masuk berlutut ke arah Tabernakel dan berjalan masuk menuju Oratorium. Aku dan Hengky duduk menghadap Salib berkorpus. Dalam hening kami mengeluarkan dua lembar copian Novena "Tiga Salam Maria". Kami mulai berdoa dalam keheningan. Aku sendiri berdoa dengan tulus dan penuh kesungguhan. Aku mengeluarkan isi hatiku yang terdalam. Aku hanya ingin Albert sembuh, itu saja. Aku tahu bahwa aku tak pantas menerima pertolongan Tuhan di saat-saat seperti ini. Namun aku tak ingin seperti orang Farisi. Aku tahu Tuhan itu Maha Pengampun. Ia akan memberikan pertolongan dan pengampunan kepada umat yang berdoa dan berpaling kepada-Nya. Imanku begitu besar sehingga aku turut merasakan pancaran sinar kasih Tuhan di sekitar kami.

Selama sembilan hari penuh aku dan Hengky berdoa. Sehari kami bernovena sebanyak dua kali, jam tidur siang dan sehabis doa malam. Sembilan hari penuh aku mengikuti Perayaan Ekaristi dengan serius, berdoa dengan penuh konsentrasi, mengerjakan meditasi (renungan singkat) dengan sungguh-sungguh. Hayalan kenikmatan yang selama ini bercokol dalam benakku kini seakan telah raib entah ke mana. Segala waktu luang kupergunakan sebaik mungkin dengan menyempatkan diriku berdoa di Kapela. Aku berdoa bagi kesembuhan Albert, sahabat sejatiku.

< ----- >

Malam itu, saat baru saja keluar dari kapela, aku dipanggil Pastor Kepala Asramaku. Pasti Albert sahabatku itu sudah hampir sembuh dari sakit yang mengancam jiwa dan raganya.

"Ada perlu apa Pastor?" tanyaku penasaran. "Malam ini juga engkau harus berangkat ke tempat Albert. Kondisi Albert sudah sangat kritis. Cepat panggil Om Sopir, kalian harus berangkat malam ini juga. Ini permintaan terakhir Albert," jawab Pastor langsung ke pokok permasalahan.

Aku keluar dengan wajah murung. Mengambil pakaian, lalu masuk ke mobil. Mobil melaju sangat kencang, seolah mengejar nyawa yang hampir terlepas. Aku hanya duduk murung. Dalam laju kecepatan yang tinggi itu, Om Sopir mencoba membuat beberapa lelucan untuk mencairkan suasana hatiku yang sedang gundah-gulana. Namun aku tak tertawa sedikitpun sehingga ia akhirnya terdiam. Om sopir lalu berkonsentrasi pada jalur kendaraan di tengah gelapnya malam. Aku menjadi semakin putus asa. Aku mulai merenung. Hatiku serasa ingin memberontak. "Ya Tuhan, tolong selamatkan Albert," pintaku dalam hati. Aku terus bertanya-tanya dalam hatiku, di manakah Tuhan? Adakah belas kasihan-Nya bagi Albert dan kami semua. Apakah ini hukuman bagiku?

Sementara aku bermenung, tak terasa mobil telah menjejakan rodanya di halaman parkir Rumah Sakit. Aku langsung berlari menuju ruang ICU. Mamaku menyambutku di depan pintu ruangan ICU dengan sebuah pelukan hangat. Aku berusaha melepaskan diri dan memasuki ruang tersebut. Selang oksigen telah diangkat. Sudah tak ada harapan lagi. Kulihat ayah dan ibu Albert menangis sedih meratapi nasib buruk yang menghampiri anak mereka. Aku langsung bergerak menuju tempat tidur Albert. Wajahnya kini kurus pucat pasi dan lehernya membengkak besar. Albert berusaha tersenyum.

Ia lalu memegang tanganku dan berkata, "Berubahlah Dy, jadilah orang yang berguna bagi Gereja. Tolong wujudkan mimpi-mimpiku."

Setelah berkata demikian, Albert menghembuskan napasnya yang terakhir. Semua kami menangis. Ibunya bahkan pingsan di tempat. Aku bergandengan tangan dengan mamaku meratapi jenazah Albert yang segera ditutupi kain berwarna putih. "Aku berjanji, Bert. Engkau akan melihat dunia dengan mataku ini...."

< ----- >

            “ ... dan kemudian, Om Pater pergi ke Vatikan, beraudiensi dengan Bapa Suci. Lalu Om Pater keliling kota Roma. Om Pater pertama mengunjungi Pantheon, lalu ke Collosseum. Setelah lapar, Om Pater makan siang di Hotel Bernini. Sorenya, Om Pater mengunjungi kastil Santo Angelo melalui Jembatan Malaikat dan melihat matahari terbenam di sungai Tiber yang indah. Kemudian Om Pater kembali ke Vatikan bersiap-siap ke Bandara Leonardo Da Vinci untuk pulang kembali ke Indonesia," aku mengakhiri ceritaku dengan tersenyum.

Yoga masih terpesona oleh narasiku itu. Yoga sekarang kelas VI SD dan pengetahuan geografinya sudah agak lumayan, jadi dia pasti tahu semua tempat yang kuceritakan padanya. "Om Pater, Yoga boleh tanya tidak?" "Boleh dong, Yoga," jawabku dengan lembut. "Apa sih rahasia Om Pater sehingga Om Pater bisa mengunjungi banyak tempat di dunia? Padahal dulu kan, kata mama Om Pater sangat nakal dan masa bodoh," tanya Yoga lagi.

Aku memandang Yoga lagi. Wajahnya begitu polos mengingatkan aku pada Albert, sahabat sejatiku. Aku mengambil dompetku, mengambil sebuah kertas putih yang sudah usang dan kumal.

"Ini rahasianya, Yoga. Mulai sekarang rajin berdoa ya..! Dan kalau Yoga ingin keliling dunia, masuk Seminari dan jadilah misionaris seperti Om Pater ya..!" kataku dengan penuh rasa bangga sambil memberikan kertas itu pada Yoga.

Aku lalu mengambil sepeda motorku. Menyalakan mesinnya dan melaju dengan pelan. Yoga masih terperangah dengan rahasia yang kuberikan kepadanya. Sebuah kertas copian lusuh “Novena Tiga Salam Maria.” Aku lalu mengemudikan motorku dengan sangat lamban sambil merenungkan ajaibnya rencana Tuhan.

Lima belas tahun telah berlalu dan aku akhirnya mengerti rencana Tuhan untukku. Kematian Albert memang merupakan rencana Tuhan untukku. Kematian Albert yang kualami lima belas tahun yang lalu telah mengubah hidupku. Karena kematian Albertlah aku dapat menjadi Misionaris. Tuhan bukan tidak mengabulkan doaku untuk kesembuhan Albert, melainkan Ia mengerti dan memberikan sebuah jalan terbaik bagiku. Sekarang aku telah melaksanakan tugasku. Aku telah mewujudkan mimpi-mimpi Albert, melihat tempat-tempat asing dengan mataku. (YP)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Doa untuk Sahabat"

Posting Komentar