Laporan Deteksi Trematodosis pada Ternak Sapi Bali di Rph Kota Kupang dengan Metode Filtrasi Bertingkat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi bali merupakan salah satu ternak yang diternakkan oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi penghasil ternak potong yang mampu memenuhi kebutuhan daging di Indonesia. Kini kemampuan produksi sapi bali di Timor mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena berbagai kendala yang dihadapi. Salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya kemampuan produksi sapi potong adalahpola pemeliharaan ternak. Terdapat dua pola pemeliharaan ternak yang diterapkan oleh  masyarakat Nusa Tenggara Timur yaitu pola pemelihraan semiintensif dan ekstensif. Pola pemeliharaan seperti ini menyebabkan ternak sulit dikontrol terutama pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Hal ini menyebabkan tingkat produksinya rendah.

Sapi bali rentan terhadapinfeksi parasit terutama pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan adalah organ yang berperan penting untuk mengubah pakan yang dikonsumsi ternak menjadi produk daging. Infeksi parasit pada sapi tidak langsung mengakibatkan kematian namun menyebabkan kerugian ekonomi seperti penurunan berat badan, kualitas daging, dan penurunan produktivitas ternak. Untuk itu peternak perlu memperhatian pakan yang dikonsumsi ternak agar ternaknya tetap sehat dan bebas dari infeksi parasit.

Umumnya peternak tidak memberikan pengobatan pada ternak yang terinfeksi karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan ternak. Salah satu parasit cacing yang menginfeksi saluran pencernaan sapi bali adalah cacing kelas Trematoda. Fasciola  sp. dan Paramphistomum sp. merupakan cacing golongan trematoda yang umumnya menginfeksi ternak sapi. Infeksi yang disebabkan cacing ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar akibat penurunan produktivitas ternak. Hal ini yang mendasari dilakukannya deteksi trematodosis pada ternak sapi bali di RPH Kota Kupang dengan metode filtrasi bertingkat. 

1.2    Tujuan

Tujuan pemeriksaan Trematodosis di RPH Oeba.

  • Mengidentifikasi jenis Trematoda pada feses sapi yang berasal dari RPH Oeba.
  • Melengkapi data prevalensi distribusi Trematoda di Kota Kupang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Trematodosis

Trematodosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit dari kelompok trematoda. Trematodosis pada ternak menimbulkan kerugian ekonomi karena dapat menurunkan produktivitas ternak (Satyawardana et al., 2018). Menurut Widjajanti (2004), Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. merupakan spesies trematoda yang umum ditemukan di Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. disebut fasciolosis, sementara penyakit yang disebabkan oleh cacing Paramphistomum sp. disebut paramphistomosis  (Sadarman et al., 2007; Rozi et al., 2015).

2.1.1   Fasciolosis

Fasciolosis merupakan salah satu penyakit parasiter penting yang disebabkan oleh infeksi cacing famili trematoda, yaitu Fasciolasp. Cacing fasciola yang dapat ditemukan di Indonesia adalah cacing Fasciola gigantica (Martindah et al., 2005).

Klasifikasi cacing tersebut adalah sebagai berikut:

Filum : Platyhelmintes

Kelas  : Trematoda

Ordo : Digenea

Family : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Spesies : F. hepatica, F. gigantica, F. halii, dan F. California (Kusnoto et al, 2015).

1)      Morfologi cacing

Cacing fasciola memiliki bentuk pipih seperti daun dan bagian anterior tubuh lebih lebar dibandingkan bagian posterior. Cacing fasciola memiliki dua alat penghisap yaitu alat isap mulut (oral sucker) dan alat isap perut (ventral sucker) yang letaknya berdekatan. Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-12 mm, ujung posterior tumpul, serta berwarna cokelat muda dan transparan. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna emas dan berukuran 190 x 100 mikron (Gambar 1) (Baker, 2007).

Gambar 1. Morfologi telur Fasciola sp. (Purwanta et al., 2009)

2)    Daur hidup

Daur hidup atau siklus hidup cacing fasciola memerlukan inang antara yaitu siput air dari genus Lymnea. Jenis siput air di Indonesia yang berperan sebagai inang antara cacing fasciola adalah Lymnea rubigenosa atau L. javanica (Kusnoto, 2015).

Daur hidup fasciola dalam tubuh inang defenitif dimulai dengan mengeluarkan telur bersama feses. Telur yang keluar menetas dalam waktu 14 hari yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban menjadi mirasidium. Mirasidium memerlukan kemudian masuk dalam tubuh inang antara yaitu siput air dan berkembang menjadi sporokista. Setiap sporokista menghasilkan 5-8 redia. Redia berkembang menjadi serkaria. Serkaria menempel pada rumput atau tanaman air, setelah melepaskan ekor membentuk metaserkaria yang infektif. Ternak dapat terinfeksi karena memakan hijauan yang mengandung metaserkaria (larva infektif).

Manusia juga dapat tertular bila memakan sayuran yang tercemar larva infektif (metaserkaria) sehingga manusia merupakan accidental host.

2.1.1    Paramphistomosis

Paramphistomosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Paramphistomum sp. Terdapat dua spesies Paramphistomum sp. yang telah ditemukan di Indonesia, yaitu P. cervi dan P. Gygantocotyl explanatum. Jenis cacing yang sering menginfeksi sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto 2007).

1)    Morfologi Cacing

Paramphistomum sp. adalah cacing trematoda yang memiliki ujung anterior cacing daun ini memiliki sebuah mulut, tetapi tanpa basil hisap. Secara umum bentuk tubuh cacing ini ditutupi oleh papilla, tidak sama dengan bentuk daun yang khas dari cacing daun lainnya, kebanyakan tubuhnya bulat dan lebih mirip buah pir, dengan lubang di puncaknya (Subronto 2007). Cacing ini berotot dan bertubuh tebal, menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi mulut dan yang lainnya pada usus posterior tubuh. Sebagian besar cacing ini terdapat pada ruminansia dan mempunyai panjang sekitar 10–12 mm dan lebar 2–4 mm. Ukuran telur cacing ini adalah 114–16 73–100 µm (Gambar 2) (Horak 1967).

Gambar 2. Morfologi telur cacing Paramphistomum sp. (Kusnoto, 2015)

2)    Daur hidup

Siklus hidup Paramphistomum sp. pada fase bebas mirip dengan siklus hidup Fasciola hepatica yaitu membutuhkan inang perantara siput air. Telur yang keluar bersama feses akan mampu bertahan pada suhu di bawah 10 0C selama lebih dari enam bulan dan dalam waktu 3 minggu akan terbentuk mirasidium. Mirasidium berkembang dalam waktu 11-29 hari dan berenang sampai menemukan hospes intermediet (siput). Mirasidium akan mati jika tidak menemukan siput dalam air dalam waktu kurang dari 24 jam. Setelah menemukan induk semang perantara maka mirasidium akan masuk dan melepaskan silianya dan menjadi sporokista. Sporokista akan tumbuh dan menjadi matur dalam waktu sekitar 1,5 minggu atau lebih dan kemudian memproduksi redia. Redia meneluarkan serkaria yang belum matur dan akan berkembang dalam waktu 13 hari atau lebih di dalam siput dan kemudian keluar ke air. Serkaria keluar dari tubuh siput dan berkembang menjadi metaserkaria dengan melepaskan ekornya. Metaserkaria ini akan menempel pada daun dan rerumputan, menunggu untuk ikut termakan ternak ruminansia (Kusnoto, 2015).

Migrasi cacing muda setelah inang definitif menelan metaserkaria mengakibatkan terjadinya erosi pada mukosa duodenum. Pada infeksi ringan yang terjadi adalah enteritis dengan ciri eodema, hemoragi, dan dalam nekropsi ditemukan cacing muda dalam mukosa duodenum atau di jejunum maupun abomasum, sedangkan cacing dewasa akan berada di dinding rumen maupun retikulum. Gejala yang terlihat akibat terinfeksi cacing mengakibatkan ternak tersebut menjadi lemas, mudah lelah, badan kurus, dan diare (Kusnoto, 2015).

2.1    Faktor resiko penyebab fasciolosis dan paramphistomosis

Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit pada ternak secara umum dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi usia, jenis kelamin dan breed. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi manajemen pemeliharaan ternak, variasi kondisi iklim dan ekologi, dan perbedaan geografis.

Menurut Hambal et al. (2013), pengaruh umur erat kaitannya dengan kurun waktu infestasi terutama di lapangan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi resiko infeksinya. Pada sapi muda, prevalensinya lebih rendah. Hal ini disebabkan karena sapi muda relatif lebih sering dikandangkan dalam rangka penggemukan, dan intensitas makan rumput masih rendah karena masih minum air susu induknya sehingga kemungkinan untuk terinfeksi larva mirasidium lebih rendah.

Menurut Rozi et al. (2015) jenis kelamin memengaruhi kepekaan sapi terhadap infeksi cacingan. Sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan sapi betina. Hal tersebut berkaitan dengan mekanisme hormonal. Menurut Suweta (1982), estrogen pada sapi betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticuloendotelial system dalam membentuk antibodi terhadap parasit, sehingga sapi betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit parasit.

Manajemen pemeliharaan memengaruhi kejadian Trematodosis. Hewan ternak yang dipelihara secara ekstensif memiliki kecenderungan terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang dipelihara dengan sistem intensif (Sadarman et al., 2007). Aktivitas merumput ternak kerbau dan sapi ini memungkinkan hewan tersebut memakan metaserkaria Fasciola gigantica dan Paramphistomum sp. yang terdapat di padang gembala. 

Faktor ekologi seperti curah hujan, suhu, dan kelembapan memengaruhi kelimpahan inang antara trematodosis. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan munculnya habitat berupa daerah berair yang membantu proses penyebaran serkaria dari satu tempat ke tempat lainnya terutama menuju bebatuan atau tanaman air sebelum menjadi stadium infektif, yakni metaserkaria. Suhu juga berperan penting dalam kejadian trematodosis yakni dengan cara memengaruhi proses metabolisme keong dan parasit sehingga memengaruhi perkem­bang­biakkan parasit di dalam tubuh keong serta daya tahan tubuh keong (Hambal etal. 2013).

BAB III

METODOLOGI

3.1    Tempat dan Waktu

Koleksi sampel feses sapi timor di RPH Oeba Kota Kupang. Pemeriksaan feses sapi  dengan metode filtrasi bertingkat di  Laboratorium Parasitologi . Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 26-27 September 2019.

3.2   Materi

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu mikroskop, cawan petri, gelas, penyaring teh, sendok, filter mesh bertingkat (400 µm, 100 µm, dan 45 µm), dan hand sprayer.

3.2.2  Bahan

Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan feses sapi yaitu feses sapi dan air.

3.3  Metode

1.  Mengambil feses sebanyak 1 sendok (4 gram) dan dimasukkan ke dalam gelas.

2.  Menambahkan air sebanyak 200 ml dan di homogenkan.

3.  Menyaring feses dengan penyaring teh dan menampung filtrat, setelah itu membuang debris yang tersaring.

4.  Menyusun filter bertingkat sehingga fungsi penyaring pertama 400 µm, 100 µm dan 45 µm.

5.  Melakukan penyaringan secara bertingkat dimulai dari penyaringan 400 µm, 100 µm dan 45 µm.

6.  Hasil filtrasi yang terakhir dipindahkan ke cawan petri dan diamati di bawah mikroskop. 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Trematodosis merupakan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh cacing trematoda. Cacing trematoda merupakan cacing yang sebagian besar hidup pada sistem digesti inang. Pengeluaran telur sebagian besar trematoda akan keluar melalui feses. Kejadian trematodosis pada hewan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan feses dengan metode filtrasi bertingkat.

Filtrasi bertingkat merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi trematoda melalui filtrasi dengan menggunakan mesh berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm secara berurutan. Tujuan penggunaan mesh bertingkat untuk memisahkan telur dan debris sehingga memudahkan dalam proses pengamatan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan 30 sampel feses sapi bali yang diambil dari RPH Oeba menunjukkan adanya hasil positif pada 6 sampel feses yang diambil (Tabel 1). Berdasarkan pemeriksaan terdapat 2 sampel positif paramphistomum, sedangkan 4 sampel lainnya positif fasciola (Gambar 3).

Gambar 3. Telur Fasciola sp. (A), telur Paramphistomum sp. (B)

Secara umum kejadian trematodosis terjadi karena 2 faktor yaitu faktor intrinstik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi umur, jenis kelamin, dan breed. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kejadian trematodosis ini meliputi musim, karakteristik wilayah, dan cara pemeliharaan (Sadarman et al., 2007). Prevalensi trematodosis yang bervariasi di setiap daerah disebabkan oleh perbedaan iklim, topografi, keberadaan siput sebagai hospes antara di sekitar hospes, dan tingkat eksposur pada ternak dengan stadium parasit (Hambal et al., 2013).

Sampel yang digunakan dalam deteksi ini berasal dari sapi dewasa yang ada di RPH Oeba Kupang. Menurut Hambal et al., (2013) umur dapat memengaruhi kerentanan ternak terinfeksi cacingan. Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi resiko infeksinya terhadap trematoda. Pada sapi muda, prevalensi trematodosis lebih rendah. Hal ini disebabkan karena sapi muda relatif lebih sering dikandangkan dalam rangka penggemukan dan intensitas makan rumput sapi muda masih rendah dibandingkan dengan sapi dewasa.

Jenis kelamin juga memengaruhi kepekaan sapi terhadap infeksi cacingan. Sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan sapi betina. Hal tersebut berkaitan dengan mekanisme hormonal. Menurut Suweta (1982), estrogen pada sapi betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticuloendotelial system dalam membentuk antibodi terhadap parasit, sehingga sapi betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit parasit. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan dimana sapi jantan lebih rentan dibandingkan sapi betina (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi bali

Kode Sampel

Jenis Kelamin

Status infeksi Trematoda (+/-)

Fasciola

Paramphistomum

S1

Jantan

-

+

S5

Jantan

+

-

S7

Betina

-

+

S11

Jantan

+

-

S24

Betina

+

-

S29

Jantan

+

-

        Keterangan            : S = Sapi

Faktor ekstrinsik seperti cara pemeliharaan yang ekstensif sangat berpengaruh pada tingkat kejadian trematodosis karena lebih besar risiko terkontaminasi metaserkaria bila dibandingkan dengan pemeliharaan intensif. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pola pemeliharaan sapi, dimana sapi yang dipelihara kebanyakan masih digembalakan pada pagi hari ketika embun masih turun. Faktor ekologi seperti curah hujan, suhu, dan kelembapan memengaruhi kelimpahan keong inang antara trematodosis (Hambal et al., 2013). Oleh karena itu, hasil negatif pada sampel yang diperiksa dapat terjadi karena suhu dan curah hujan di Kupang yang sedikit.

BAB V

PENUTUP

5.1    KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari 30 sampel feses sapi yang diambil dari RPH Oeba menunjukkan 6 sampel feses positif cacing trematoda.

5.2    SARAN

Melakukan sosialisasi mengenai manajemen pemeliharaan yang baik agar dapat menurunkan tingkat kejadian trematodosis.


DAFTAR PUSTAKA

Baker DG. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals. Second edition. American College of Laboratory Animal Medicine (US): A Blackwell Publishing.

Hambal M, Arman S, Agus D. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria. 7(1):49-53.

Horak IG. 1967. Host parasite relationship of P. microbothrium Fischorder. 1901. In experimentally infested ruminants with particular reference to sheep. Onderstepoort J Vet Res. 30: 145-153.

Kusnoto, Bendryman SS, Koesdarto S, Sosiawati SM. 2015. Ilmu Penyakit Helmin Kedokteran Hewan. Zifatama Publishing: Jawa Timur.

Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit Infeksius. Wartazoa. Vol. 15(3):143-154

Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.

Rozi F, Jully H, Rahmi F. 2015. Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. JSV. 33(1): 8-15.

Sadarman J, Handoko, Febrina D. 2007. Infestasi Fasciola sp. pada Sapi Bali dengan Simtem Pemeliharaan yang Berbeda di Desa Tanjung Rambutan Kecamatan Kampar. Jurnal Peternakan 4:37-45.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press, Cetakan ke-3.

Suweta IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Sapi Bali Sebagai Implikasi Interaksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di Bali. [disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.

LAMPIRAN

Lampiran  1. Tabel pemeriksaan feses dengan metode filtrasi bertingkat

Tanggal

Kode sampel

Sex

Status Infeksi Trematoda (+/-)

Paramphistomum

Fasciola

26-09-2019

S7

+

-

26-09-2019

S29

-

+

26-09-2019

S19

-

-

26-09-2019

S4

-

-

26-09-2019

S10

-

-

26-09-2019

S14

-

-

26-09-2019

S23

-

-

26-09-2019

S30

-

-

27-09-2019

S2

-

-

27-09-2019

S24

-

+

27-09-2019

S13

-

-

27-09-2019

S27

-

-

27-09-2019

S9

-

-

27-09-2019

S11

-

+

27-09-2019

S22

-

-

27-09-2019

S6

-

-

27-09-2019

S17

-

-

27-09-2019

S15

-

-

27-09-2019

S21

-

-

27-09-2019

S26

-

-

27-09-2019

S25

-

-

27-09-2019

S18

-

-

27-09-2019

S28

-

-

27-09-2019

S12

-

-

27-09-2019

S1

+

-

27-09-2019

S3

-

-

27-09-2019

S5

-

+

27-09-2019

S8

-

-

27-09-2019

S16

-

-

27-09-2019

S20

-

-

 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Laporan Deteksi Trematodosis pada Ternak Sapi Bali di Rph Kota Kupang dengan Metode Filtrasi Bertingkat"

Posting Komentar