Makalah Ilmu Penyakit Parasitik Penyakit Parasitik Non-Zoonotik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penyakit dapat didefinisikan sebagai gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau kelainan sistem faal atau jaringan pada organ tubuh makhluk hidup.  Selain itu, penyakit dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi dan atau fungsi yang mengalami perubahan dari kondisi normal yang disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Penyakit internal meliputi genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf, dan metabolik. Sedangkan penyakit eksternal meliputi penyakit patogen (parasit, jamur, bakteri, dan virus) dan non patogen (lingkungan dan nutrisi)
Parasit merupakan organisme yang hidup menempel pada host. Parasit adalah organisme yang hidupnya merugikan induk semang yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh host tidak sepenuhnya sebagai parasit. Penyebaran dari parasit dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya siklus hidup, iklim, sosial budaya atau ekonomi dan kebersihan.
Penyakit parasitik merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering menyerang hewan. Penyakit parasitik ini ada yang bersifat zoonosis (menular ke manusia) dan non-zoonosis (tidak menular ke manusia). Penyakit parasit non-zoonosis memang tidak menular kepada manusia, namun bagi para peternak mnimbulkan kerugian yang berarti dan menimbulkan penyakit pada hospesnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah makalah ini sehingga dapat diketahui macam-macam penyakit parasitik non-zoonosis yang menyerang hewan.
1.2.Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui macam-macam penyakit parasitik yang menyerang hewan, tetapi bersifat non-zoonotik.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.THEILERIASIS
Theileriasis adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh protozoa Theileria sp. yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal sebagai tick borne disease dan menyebabkan kerugian ternak cukup besar, terutama peternakan didaerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan, terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam satu generasi/keturunan, penurunan kualitas daging, pembuangan dari kematian atau pengafkiran karkas atau organ, penurunan produksi susu, dan kerusakan kulit. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini bervariasi tergantung dari jenis inang yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan dosis infeksi. Mortalitas pada ternak persilangan yang diintroduksikan pada daerah endemik Theileriasis tropis dapat mencapai 40-90%.

2.1.1. ETIOLOGI

Penyebab theileriasis adalah protozoa darah dari genus Theileria yang tergolong protozoa dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida dan Famili Theileriidae. Klasifikasi spesies Theileria didasarkan pada morfologi piroplasma, morfologi skizon, sifat serologis, uji kekebalan silang, induk semang utama, sifat patogenitas dan uji biologis. Terdapat enam spesies yang menyerang sapi, yaitu T.parva, T.annulata, T.mutans, T.sergenti, T.taurotragi dan T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan menyebabkan kerugian ekonomis, yaitu T.parva dan T.annulata. Spesies yang lainnya bersifat tenang (bening). Berdasarkan perbedaan sindrom dan daya infeksinya, T.parva dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu T.parva parva (T.parva), T.parva lawrencei (T.lawrencei) dan T.parva bovis (T.bovis). Ketiga spesies ini terdistribusi di sekitar 13 negara di Sub-Saharan Afrika dan mengakibatkan penyakit East Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease. Adapun T.annulata dikenal sebagai penyebab Tropical Theileriasis atau Mediterranean theileripsis yang terjadi di Pesisir Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan, Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah.

 Gambar 1. kinet Theileria parva 


Gambar 2. Theileria sp. di dalam sel darah merah inang.


T.taurotragi dan T.mutans dilaporkan tidak menyebabkan sakit atau manifestasi klinis yang ditimbulkan tergolong ringan, sedangkan T.velifera bersifat non patogenik. Ketiga spesies ini banyak ditemukan banyak ditemukan terutama di Afrika. Spesies lain yang terdistribusi di seluruh dunia adalah T.orientalis, T.buffeli dan T. sergenti. Theileria orientalis termasuk spesies yang patogen, karena mampu menyebabkan anemia kronis yang progresif. Berdasarkan derajat patogenitas, proporsi piroplasma, kandungan protein dan sifat serologisnya, T.orientalis mirip dengan T.buffeli sehingga diduga sebagai satu spesies yang sama, sedangkan T.sargenti merupakan spesies yang berbeda. Spesies penting lainnya adalah T.annulata dan T.parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi.
2.2.1. EPIDEMIOLOGI
2.1.1.1. Siklus Hidup
Sporozoit adalah bentuk infektif yang dikeluarkan melalui kelenjar ludah vektor dan dipenetrasikan ke dalam tubuh inang melalui gigitan. Selanjutnya, sporozoit  inimasuk ke sistem limfe menuju ke jaringan limfoid, terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkemban membentuk badan berinti yang disebut Skizon (Koch’s body) dan berada dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Bentukan ini terus bergerak masuk kedalam eritrosit dan terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui isapan darah, gamon masuk ke intestinal nimfa caplak dan membentuk mikrogamon. Mikrogamon memiliki 4 inti dan membelah menjadi mikrogamet yang memiliki 1 inti kemudian bergabung dengan makrogamet membentuk zigot.

Gambar 3. Siklus hidup Theileria sp. (sumber Marcelinoet al.,2012)

Perkembangan selanjutnya adalah zigot membentuk kinet yang motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet menjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah. Lalu kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan darah.
2.1.1.1. Patogenitas
Infestasi pada inang diawali dengan masuknya sporozoit sampai terdeteksinya prioplasma yang menginfestasi eritrosit, sedangkan pada vektor dimulai dari larva menghisap darah terinfestasi piroplasma berubah menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah vektor.
            Infeksi pada Inang
Mekanisme infeksi Theileria sp. dalam tubuh inang diawali dengan tahap skizogoni yang berlangsung di leukosit (limfosit) dan berakhir dengan bentuk piroplasmayang menginfeksi eritrosit. Sporozoit diinfeksikan oleh caplak melalui gigitan ke inang dan selanjutnya menginfeksi leukosit.Secar umum, sel leukosit yang diinfeksi adalah limfosit sel-T, namun pada T.parva lebih banyak menginfeksi sel-T dan sel-B sedangkan untuk T.annulata lebih banyak menginfeksi sel monosit dan sel-B. Setelah kontak dengan limfosit, sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand di permukaannya ke reseptor pada permukaan monosit. Sporozoit segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam sitoplasma. Di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya membelah berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizonagamon atau Koch’s blue bodies. Bentukan ini melekat pada mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak .Selain itu, selama terinfeksi oleh makroskizon, limfosit terangsang secara aktif untuk mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi limfosit mengalami perubahan bentuk dan berproliferasi dengan hebat. Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang monosit baru, kemudian makromerozoit berubah menjadi makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit, kemudian bentukan ini menginfeksi eritrosit dan berubah menjadi piroplasma yang infektif untuk menulari caplak yang lain.
Infeksi pada Vektor
Infeksi piroplasma pada caplak terjadi ketika stadium larva menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah abdomen penuh dengan darah, larva akan jatuh ke tanah. Dalam waktu 10 jam, pada intestinal larva telah ditemukan bentukan merozoit baik di dalam maupun di luar eritrosit. Kemudian sebagian besar eritrosit hancur dalam waktu 24 jam, dan di dalam intestinal nimfa ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 µm. Selanjutnya, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 1-2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofi lik dalam waktu sekitar 24-48 jam. Perkembangan berikutnya adalah berubahnya bentukan cincin menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya basofi lik dalam waktu 48-72 jam. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet, yaitu bentukan seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm. Setelah 3 sampai 5 hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari intestinal. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4-5µm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Kemudian, pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa.
2.1.1.1. Spesies rentan
Hewan sapi dan kerbau dilaporkan rentan terhadap infestasi T.orientalis. Sapi bangsa Bos taurus juga lebih peka dibandingkan dengan sapi persilangan Bos taurus dan Bos indicus. Di daerah endemik, pedet lebih peka daripada sapi dewasa, namun prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi pada sapi dewasa.
2.1.1.2. Pengaruh Lingkungan
Faktor lingkungan seperti iklim dan kelembaban yang tinggi memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit ini, karena memicu berkembangnya vektor. Di daerah sub-tropis, populasi caplak dewasa meningkat pada musim panas dan musim semi, sedangkan populasi larva dan nimfa meningkat pada musim gugur. Adapun di daerah tropis, populasi caplak mulai meningkat pada akhir musim panas dan puncaknya pada saat curah hujan tinggi. Keberadaan caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya kasus theileriasis pada suatu daerah.
2.1.1.3. Sifat Penyakit
Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis, tergantung dari agen protozoa yang menginfeksi inang.
2.1.1.4. Cara Penularan
Theileriasis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan). Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T.orientalis, T.sergenti dan T.buffeli adalah Haemaphysalis sp. Galur caplak disetiap lokasi dapat berbeda  kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. Misalnya H.longcornis di Australia hanya dapat menularkan T.sergenti tetapi tidakmenularkan T.buffeli, sebaliknya H.longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut. Di Malaysia, umumnya T.orientalis ditularkan oleh Boophilus microplus dan H.bispinosa (jarang). Vektor yang menularkan T.parva ke indung semang di daerah Afrika Selatan adalah R.appendiculatus dan R.zembeziensis sedangkan T.annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma.
2.1.1.5. Distribusi Penyakit
Kasus theileriasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1912 di Pulau Jawa. Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak diketahui. Awal terdeteksi, penyebab Theileriasis di Indonesia diidentifkasi sebagai T.mutans. Namun setelah dilakukan reidentifikasi berdasarkan identifi kasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriasis pada sapi di Indonesia ditetapkan T.orientalis. Prevalensi T.orientalis pada sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤ 1% pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Pemeriksaan spesimen pada 10 kabupaten di Medan-Sumatera Utara, kejadian theileriasis dilaporkan sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah dibandingkan prevalensi Aceh yaitu sebesar 4,3%(10/231). Namun demikian, kejadian theileriasis di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan di Propinsi Aceh menurun menjadi 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata T.orientalis pada sapi perah FriesianHolstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77/247) 31,2%. Laporan lain menyebutkan bahwa prevalensi di beberapa lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) antara lain Tel uk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%).Parasit ini terdistribusidi seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan.
2.1.PARAMPHISTOMIASIS
Paramphistomiasis atau paramphistomosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda. Menurut lokasi berparasitnya, cacing ini dibagi dalam dua tipe, yaitu: tipe pertama, yang biasa ditemukan dalam rumen dan tipe  kedua, yang biasa ditemukan dalam saluran empedu dan kandung kemih hewan  yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen menjadi terganggu sehingga pakan tidak dapat dicerna dengan sempurna (Hamdan, 2014).
2.1.1. ETIOLOGI
Paramphistomiasis pada sapi dapat disebabkan oleh satu atau lebih cacing dari filum plathyhelminthes, kelas trematoda, sub-kelas digenea, ordo echinostomida, family paramphistomatidae, genus Paramphistomum sp., dan spesies P. cervi, P. microbothrioides, P.liorchis, P. ichikawi, P. gotoi, dan Calicophoron sp. atau Ceylonocotyle sp. maupun Cotyledophoron sp. Ada 2 spesies Paramphistomum sp. yang telah ditemukan di Indonesia, yaitu P. cervi dan P. (Gygantocotyl) explanatum. Salah satu jenis yang sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto, 2007). Cacing Paramphistomum sp. \ merupakan cacing trematoda yang tebal (biasanya cacing trematoda atau cacing daun berbentuk pipih, seperti Fasciola sp., Eurythrema sp. dll). Cacing ini mempunyai batil isap di bagian perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, dan di bagian mulut ada batil isap mulut yang kecil (oral sucker). Ada saluran pencernaan yang sederhana dan juga testis yang bergelambir terletak sedikit di bagian anterior ovarium. Cacing dewasanya berukuran sekitar 5-13 mm panjang, 2-5 mm lebar. Ukuran telur panjangnya 113-175µ dan lebar 73-100µ.

Gambar 4. A) telur paramphistomum sp. dan B) cacing Parasmphistomum sp.
2.1.1.      EPIDEMIOLOGI
2.1.1.1. Spesies Rentan
Hewan yang diserang Paramphistomum sp. sebagai hospes definitif, yaitu hewan ternak (kerbau, sapi, domba, kambing) dan ruminansia lain. Cacing muda Paramphistomum sp. berpredeliksi di dalam usus halus dan akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah dewasa.
2.1.1.2. Pengaruh Lingkungan
Siklus hidup dari parasit cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembaban yang tinggi dan temperatur yang memadai ( ± 27°C). Kondisi tersebut diperlukan untuk berkembangnya fase mirasidium sampai dengan fase metaserkaria dari Paramphistomum sp. dan juga untuk berkembangnya siput yang digunakan sebagai inang antara. Tanpa siput sebagai inang antara, tentu saja parasit cacing tidak bisa hidup dan berkembang biak. 
2.1.1.3. Siklus Hidup dan Cara Infeksi pada Inang dan Vektor
Kelangsungan hidup Paramphistomum sp. memerlukan siput sebagai hospes antara. Dua famili siput penting yang bertindak sebagai hospes antara cacing ini adalah Planorbidae dan Lymneaeidae. Infeksi pada hospes definitif terjadi pada saat ternak memakan rumput atau meminum air yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria  yang masuk ke dalam saluran pencernaan, di usus halus akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa usus, karena gigitan asetabulumnya. Cacing muda menembus mukosa sampai ke dalam dan bisa menimbulkan pengerutan (strangulasi), nekrose, erosi dan hemoragik pada mukosa. Akibatnya bisa timbul radang akut pada usus dan abomasum. Cacing muda kemudian berkembang cepat, lalu menuju permukaan mukosa dan bermigrasi ke rumen kira-kira dalam jangka satu bulan setelah infestasi. Di rumen, cacing berkembang menjadi dewasa dan menggigit mukosa rumen dan dapat bertahan hidup lama. Cacing dewasa kemudian bertelur kira-kira 75 butir telur/ekor/hari. Telur keluar melalui tinja dan terjatuh di tempat yang basah dan lembab. Mirasidia di dalam telur berkembang cepat dan keluar dari telur kemudian berenang mencari siput yang cocok sebagai inang antara. Dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi ookiste, dan kemudian menjadi redia, lalu serkaria selama kira-kira 4-10 minggu. Serkaria keluar dari tubuh siput dan berkembang menjadi metaserkaria dengan melepaskan ekornya. Metaserkaria ini akan menempel pada daun dan rerumputan, menunggu untuk ikut termakan ternak ruminansia.
Gambar 5. Siklus hidup parasit cacing Paramphistomum sp. melalui inang antara siput
2.1.1.1. Patogenitas
Infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua fase, yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intensital, cacing muda menyebabkan pendarahan, bengkak serta merah di dalam duodenum dan abomasum. Hal ini dapat menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infeksi massal, pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat lebih lama. Pada fase ruminal, cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen yang menganggu kapasitas resorbsi (Kamaruddin et al., 2005). Cacing muda Paramphistomum sp. yang menembus masuk ke dalam submukosa akan menyebabkan peradangan usus, nekrosis sel dan erosi vili-vili mukosa. Cacing muda dalam jumlah banyak yang berada di dalam usus halus dapat menyebabkan kematian pada sapi. Cacing dewasa yang berada di dalam rumen dan retikulum akan menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan kepucatan pada mukosa. Papilla rumen pada sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. akan mengalami degenerasi sehingga perubahan tersebut mengakibatkan gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan sempurna (Subronto, 2007).
2.1.1.2. Distribusi Penyakit
Paramphistomiasis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi terjadi pada daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Asia, Afrika, Australia, Eropa timur dan Rusia (Melaku and Addis 2012). Kejadian paramphistomiasis banyak terjadi di bagian dunia dengan curah hujan yang tinggi dan di padang rumput yang basah, hal ini berkaitan dengan siklus hidup cacing tersebut. Infeksi Paramphistomum sp. pada ternak biasa terjadi pada akhir musim hujan dan awal musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan. Pelepasan serkaria pada hospes antara dimulai awal musim kemarau dengan curah hujan yang masih cukup tinggi dan menurun seiring makin rendahnya curah hujan (Subronto, 2007).
Prevalensi paramphistomiasis di Indonesia hampir sama dengan fasciolosis. Beriajaya et al. (1981), melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di beberapa bagian Indonesia, yaitu di Aceh 94.80%, di Sumatera Barat 99.50%, di Lampung 69.84%, di Jawa 41.60% dan di Nusa Tenggara Barat 80.00%. Penelitian Darmono et al. (1983), melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di Bali adalah sebesar 88.89%. Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7% (Siswansyah et al., 1989). Selain itu Tantri, et al. (2013) melaporkan kejadian paramphistomiasis sebanyak 18.75% pada sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

2.1.KOKSIDIOSIS
Koksidiosis atau disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang menimbulkan gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral, angka kesakitan dan kematian dapat mencapai 80-90% (Retno, et al, 1998).Koksidiosis merupakan penyakit parasiter pada sistem pencernaan hewan akibat infeksi protozoa genus Eimeria. Pada umumnya penyakit ini menyerang usus kecuali pada angsa menyerang ginjal. Eimeria sp ini tidak dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini dapat dikacaukan dengan Enteritis, Diare, Bloat atau Kembung perut (Timpani).
Protozoa yang tergolong genus eimeria memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan dan menyebabkan kerusakan pada jaringan dan selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pada proses digesti dan absorbsi nutrien, dehidrasi, kehilangan darah dan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit lain. Koksidiosis dapat menyerang semua kelompok umur pada berbagai peternakan ayam. Penyakit ini mungkin bersifat ringan, yang merupakan hasil ingesti sejumlah kecil oookista, tetapi dapat juga bersifat parah sebagai akibat menelan berjuta-juta ookista. Kebanyakan infeksi bersifat relatif ringan, tetapi karena adanya potensi untuk terjadi letupan yang berat dan kerugian ekonomi yang tinggi, maka hampir semua ayam muda sebaiknya diberi pengobatan secara berkala dengan dosis rendah antikoksidiosis, yang dapat memberikan perlindungan atau dapat menekan infeksi pada tingkat yang rendah sehingga dapat terjadi reaksi kekebalan ada penyakit tersebut.
2.1.1. ETIOLOGI
Koksidiosis disebabkan oleh protozoa parasit bersel satu, yang tergolong dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, sub kelas Coccidia, ordo Eucoccidiae, sub ordo Eimeriina, Familia Eimeridae, dan genus Eimeria (Soulsby, 1982). Menurut Retno, et al 1998 terdapat 12 macam spesies Eimeria yang menyerang ternak ayam, yaitu : E. Tenella, E. necatrix, E. brunetti, E. acervulina, E. maxima, E. mitis, E. mivati, E. paecox, E. hagani, E. tyrsani, E. myonella, E. gallinae. Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. Tenella dan di usus (intestinal coccidiosis) yang dsebabkan oleh delapan jenis laainnya (Jordan dkk., 2001). Jenis Eimeria yang ditemukan pada ayam tidak dapat menginfeksi jenis unggas atau hewan lain dan sebaliknya(Tabbu, 2002). Selain pada ayam, Eimeria juga terdapat pada beberapa jenis hewan seperti kelinci, sapi, dan ikan.
Pada kelinci terdapat dua bentuk koksidiosis yaitu bentuk hati disebabkan oleh Eimeria stidae dan bentuk usus disebabkan oleh E. magna, E. media, E. irresidua atau E.perforans. Eimeria spp lain jarang ditemukan di usus kelinci (Hagen, 1976; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Iskandar, 2001). Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini sering menjadi karier.Eimeria pada ikan : Eimeria clupearum dan Eimeria sardinae. Spesies yang paling umum menyerang sapi adalah Eimeria bovis, Eimeria zuernii,dan Eimeria auburnensis (Lassen et al ., 2009).
Pada kalkun kejadian Coccidiosis disebabkan oleh E.adenoiedes, E.dispersa, E.gallopavonis, dan E.meleagridis. Berbeda dengan kalkun, kejadian Coccidiosis pada itik disebabkan oleh E.aythyae, E.burcephalae, E.somateriae, E.truncata, dan Tyzzeriaperniciosa. Coccidiosis pada angsa disebabkan oleh E.anseris, E.kotlani, dan E.truncata.
Morfologinya Secara umum ookista berbentuk bulat, ovoid atau elips. Panjang ookista berkisar dari 16-29 mikron dan lebarnya sekitar 6-25 mikron.Dalam satu ookista terdapat 4 sporokista dan satu sporokista dapat melepaskan 2 sprozoit. Bila mengalami ekskistasi satu ookista menghasilkan 8 sporozoit infektif.

Gambar 6. Sporozoit Eimeria sp.(Sumber : http://www.saxonet.de)

2.1.1.      EPIDEMIOLOGI
2.1.1.1. Siklus Hidup
Siklus hidup Eimeridae mirip satu sama lain dan dapat digambarkan oleh siklus hidup Eimeria tenella, yang ditemukan di dalam sekum ayam (Levine, 1995). Coccidia mempunyai siklus hidup yang kompleks dan menciri yang berlangsung sekitar 7 hari, meliputi beberapa beberapa stadia aseksual dan seksual (Tabbu, 2002). Fase aseksual terdiri atas perkembangan oocyst hingga membentuk sporozoit dan merozoit. Oocyst Eimeria sp. masuk ke dalam tubuh hewan melalui pakan atau air minumyang terkontaminasi. Oocyst Eimeria sp. memiliki dinding yang tebal dan mengandung 4 buah sporocyst yang masing-masing mengandung 2 buah sporozoit. Proses sporulasi atau pematangan oocyst menjadi bentuk infektif membutuhkan waktu sekitar 48 jam. Ketika mencapai gizzard (ventriculus), dinding oocyst akan hancur oleh gerakan gizzard dan karena pengaruh chymotripsin serta garam sehingga saat mencapai usus halus sporozoit mudah melakukan penetrasi dan masuk ke dalam sel epitel mukosa usus halus. 
Gambar 7. Skema siklus hidup Eimeria sp.
(Sumber : http://www.websters-online-dictionary-.org)

Di dalam sel tersebut sporozoit akan memperbanyak jumah secara aseksual dan berkembang menjadi merozoit I dan skizon I. Merozoit I yang keluar dari sel  akan melakukan penetrasi dan masuk kembali ke sel epitel mukosa usus halus. Merozoit I akan berkembang menjadi merozoit II dan skizon II. Merozoit II keluar dari sel epitel dan melakukan penetrasi kembali untuk berkembang membentuk makrogamet dan mikrogamet. Selanjutna terjadi perkembangan secara seksual yaitu melalui pertemuan antara makrogamet dan mikrogamet yang akan membentuk zigot dan kemudian berkembang menjadi oocyst. Oocyst akan keluar dari sel epitel usus dan keluar bersama feses. Total waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus hidup Eimeria sp. memerlukan waktu sekitar 4-6 hari.Masa prepatent yaitu dari saat diinokulasi sampai ditemukanya ookista pertama didalam tinja adalah tujuh hari. Ookista itu terus dikeluarkan selama beberapa hari setelah itu, karena sporozoit tidak semuanya segera masuk ke dalam sel hospes, tetapi dapat tinggal di dalam rongga usus untuk beberapa waktu lamanya dan juga karena banyak ookista tertahan dalam suatu sumbat dari bahan yang ada di dalam sekum selama beberapa hari sebelum di keluarkan (Levine, 1995). Puncak sekresi/ pengeluaran ookista pada hari ke delapan, jumlah ookista akan menurun pada hari ke sembilan sesudah infeksi dan akan berangsur menurun pada hari ke 11 ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan masih tetap ditemukan dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi (Reid, et al., 1984).
2.1.1.1. Spesies Rentan
Penyakit koksidiosis dapat menyerang unggas pada ayam (4-5 minggu), itik dan kalkun (6-8 minggu), maupun angsa (3-12 minggu). Namun perlu diketahui bahwa Eimeria sp. memiliki host specificity (inang spesifik) yang tinggi sehingga kejadian Coccidiosis pada bangsa hewan yang berbeda disebabkan oleh spesies Eimeria yang berbeda pula. Selain unggas, hewan mamalia seperti anjing, kucing, sapi, domba, kambing, dan babi juga dapat terinfeksi  penyakit koksidiosis ini.
2.1.1.2. Gejala Klinis
Gejala klinis koksidiosis bervariasi menurut spesies Eimeria yang menginfeksi ayam. Spesies Eimeria yang kurang patogenik biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan atau tanpa gejala. Spesies eimeria yang lebih patogenik dapat menyebabkan diare yang bersifat mukoid atau hemoragik. Gejala diare biasanya akan diikuti oleh dehidrasi, bulu berdiri, anemia, lesu, lemah, menekuk kepala dan leher serta mengantuk (Tabbu, 2002). Kerugian akibat koksidiosisi adalah berat badan menurun, masa bertelur terlambat, penurunan produksi telur, konversi ransum menjadi jelek (Retno, et al, 1998). Selain itu, ayam yang terinfeksi penyakit ini senang bergerombol di sudut-sudut kandang, diare sampai berdarah, bulu kusam, pertumbuhan terhambat, kurang nafsu makan, dan mengakibatkan kematian.
Koksidiosis pada kelinci lebih seringterjadi pada hatidengan gejala-gejala berupa mencret, nafsumakan hilang, dan bulu kasar. Kelinci tidaktumbuh normal, badan kurus dan tidak tampaksehat. Pada bentuk usus, gejala biasanyatumbuh lambat, nafsu makan hilang dan perutkelihatan buncit.
2.1.1.3. Patogenesis
Pada stadium awal perkembangan, merozoit membentuk koloni yang terlihat sebagai fokal kecil pada usus halus. Setelah 4 hari infeksi, sekum akan membesar membentuk caecal core dan berisi darah yang telah membeku. Caecal core kemudian semakin mengeras dan mengering setelah 6 hari infeksi. Dinding sekum akan mengeras akibat terjadi edema dan infiltrasi sel-sel radang dan kemudian diikuti dengan terjadinya nekrotik jaringan. Lokasi lesi berbeda-beda untuk masing-masing infeksi spesies Eimeria. Untuk E. acervulina dan E. mivati menyebabkan hemoragi dan fokal putih pada distal duodenum dan proksimal jejenum. E. necatrix dan E. maxima menyebabkan distensi pada pertengahan jejenum dengan dengan hemoragi pada mukosa. E. brunetii menyebabkan hemoragi pada mukosa di distal jejenum dan kolon. Pada kejadian yang kronis dapat menimbulkan fibrinecrotic hemoragi pada usus halus tetapi pada sekum.
2.1.1.4. Pengaruh Lingkungan
Sejumlah faktor risiko seperti musim (kelembaban, temperatur), jenis kelamin hewan, sistem perairan, sistem pemberian pakan, perkandangan mempengaruhi prevalensi yang tinggi untuk kejadian koksidiosis. Pada musim hujan memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan musim kemarau (Waruiru et al., 2000). Oocyst paling optimal bertahan dalam tanah ssekitar beberapa hari hingga beberapa minggu. Pada pemanasan (suhu diatas 550C) atau pendinginan (suhu dibawah 100C) serta pada kondisi yang sangat kering/kelembapan rendah, oocyst akan segera mati.
2.1.1.5. Cara Penularan
Penularan koksidiosis terjadi ketika (menelan) oocyst infektif dalam pakan atau air minum. Tidak ada vektor biologis yang membantu penyebaran penyakit ini, namun terdapat vektor mekanik berupa lalat yang membantu menyebarkan oocyst dalam feses.


Gambar 8. Skema penularan koksidiosis  (http://info.medion.co.id, 2008)

Selain itu, fasilitas peternakan yang terkontaminasi, debu yang tertiup angin, sepatu, pakaian, dan migran burung liar juga dapat membantu penyebaran penyakit. Oocyst bersporulasi yang tertelan akan berkembang biak di dalam sel epitel saluran pencernaan usus halus dan menghasilkan oocyst yang belum bersporulasi akan dikeluarkan ke lingkungan bersama feses.
2.1.1.1. Distribusi Penyakit
Koksidiosis tersebar luas diseluruh dunia dan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada perternakan unggas. Di Indonesia kejadian koksidiosis tersebar di seluruh wilayah indonesia dan menyerang berbagai jenis unggas termasuk ayam buras. koksidiosis dapat menyebabkan angka kesakitan yang cukup tinggi dan pertumbuhan yang tidak optimal akibat penurunan feed conversion rate.
2.1.1.2. Sifat Penyakit
Coccidiosis memiliki host specificity yang tinggi sehingga jarang terjadi penularan penyakit dari induk semang yang satu ke induk semang lain yang berbeda bangsa hewan. Coccidiosis sering menyerang ayam muda yang berumur antara 3 sampai 6 minggu dan jarang menyerang ayam pada umur kurang dari 3 minggu. Ayam yang berumur kurang dari 3 minggu masih belum menghasilkan banyak chymotripsin dan garam empedu sehingga proses keluarnya sporozoit dari oocyst tidak terjadi. Reaksi imun tubuh dapat dihasilkan dengan cepat setelah terpapar penyakit ini, namun imunitas yang dihasilkan bersifat spesifik dan tidak berlaku untuk infeksi oleh agen penyebab dari spesies Eimeria yang lain. Secara umum penyakit ini bersifat endemis.

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Penyakit parasitik pada hewan selain bersifat zoonosis terdapat juga yang bersifat nonzootik. Beberapa penyakit non-zoonotik yang menyerang hewan adalah theileriasis, paramphistomosis, dan koksidiosis. Penyakit parasitik yang bersifat nonzoonotik ini mengakibat kerugian ekonomi bagi peternak karena mengurangi tingkat produktivitas ternak.
Theileriasis adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh protozoa Theileria sp. yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit).
Paramphistomiasis atau paramphistomosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda.
Koksidiosis atau disebut berak darah adalah penyakit parasiter yang menimbulkan gangguan terutama pada saluran pencernaan bagian aboral, angka kesakitan dan kematian dapat mencapai 80-90%, disebabkan oleh Eimeria sp serta tidak dapat menginfeksi manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Beriajaya, Soetedjo R, Adiwinata G. 1981. Beberapa aspek epidemiologi dan biologi Paramphistomum di Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional II. 1981 Jun 24-27, Jakarta.
Darmin, suharmita. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng. Skripsi. Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin Makasar.
Darmono.1983.  Parasit cacing Paramphistomum pada ternak Ruminansia dan Akibatnya Infestasinya. Balai Penelitian Penyakit Hewan Bogor. Wartazoa Vol.1 No.2.
Georgi, J.R. 1980. Parasitology for Veterinarians. W.B. Saunders Company. Philadelphia. London : 67
Hagen. 1976. Domestic Rabbits: Disease and Parasites. Veterinarian, Western Region. Agricultural Research Service. Departement of Veterinary Pathology. Iowa State University. Ames. Iowa.
Hamdan A. 2014. Paramphistomiasis pada ternak ruminansia. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (akan diterbitkan).
Iskandar, T. 2001. Studi Patogenesitas dan Waktusporulasi Eimeria stiedae galur lapang padakelinci. Widyariset, LIPI 3: 137184.
Kamaruddin M, Fahrimal Y, Hambal M, Hanafiah M. 2005. Buku Ajar Parasitologi Veteriner. Banda Aceh (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syah Kuala.
Manual Penyakit Hewan Mamalia. 2014: Kementrian Pertanian
Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphistomum in ruminants slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob Vet. (8)3: 315-319.
Reid, W.M., Long, P.L., and McDougald, L.R. 1984. Protozoa In Desease of Poultry. 8th ed. Edited by Calnex, B.W., Barner, H.J., Reid, M.W. and Yorder, H.W.Lowa State University Press. Lowa-USA : 691-709
Retno, F.D., Jahja, J., Suryani, T. Penyakit-Penyakit Penting pada Ayam, 4th ed. Medion. Bandung. Indonesia
Siswansyah D, Tarmudji D, Ahmad SN, Wasito. 1989. Survey penyakit parasit menular pada ternak sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan [Laporan Penelitian]. Banjarbaru: Balai Penelitian Veteriner.
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo. 1988.Pemeliharaan Pembiakan dan PenggunaanHewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.7 th ed. Bailliere Tindal. London : 670-681
Subronto. 2007. Ilmu penyakit ternak II (mamalia) manajemen kesehatan ternak parasitisme gastrointestinal dan penyakit metabolisme. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Vol 2. Yogyakarta (Indones): Penerbit Kanisius. hlm. 3-9.
Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. 2(2): 102-106.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Ilmu Penyakit Parasitik Penyakit Parasitik Non-Zoonotik"

Posting Komentar