Laporan Pengabdian Koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner Edukasi Bahaya Resistensi Antimikroba dan Penyakit pada Ternak

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Antibiotik merupakan bahan kimiawi yang dihasilkan oleh organisme seperti bakteri dan jamur, yang dapat mengganggu mikroorganisme lain. Biasanya bahan ini dapat membunuh bakteri (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau mikroorganisme lain. Beberapa antibiotik bersifat aktif terhadap beberapa spesies bakteri (berspektrum luas) sedangkan antibiotik lain bersifat lebih spesifik terhadap spesies bakteri tertentu (berspektrum sempit). Penggunaan antibiotik yang tidak bijak akan berdampak pada kesehatan ternak seperti terjadinya resistensi, kegagalan pengobatan dan juga berdampak pada pangan asal hewan (Bezoen dkk, 2001).

Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari, 2008). Resistensi antibiotik juga dapat terjadi karena penggunaan antibiotik bagi ternak tidak dilakukan oleh dokter hewan tetapi dilakukan sendiri oleh peternak dengan dosis yang tidak sesuai dengan anjuran. Ketidakpatuhan peternak dalam memberikan dosis secara berlebihan dan dalam waktu yang tidak sesuai dengan anjuran yaitu dengan dipercepat atau diperlambat dapat menimbulkan resistensi mikroba terhadap antibiotik tertentu (Syarif dkk, 2009).

Residu antibiotik dapat mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri, alergi terhadap pangan dan juga keracunan pada konsumen. Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dapat berdampak buruk pada kesehatan masyarakat sehingga penting sekali untuk dilakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai “Edukasi Bahaya Resistensi Antimikroba”.

1.2. Tujuan

Tujuan dilakukannya penyuluhan dengan tema “Edukasi Bahaya Resistensi Antimikroba” :

  • Memenuhi kompetensi yang telah ditetapkan dalam koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner.
  • Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penggunaan antibiotik pada ternak secara bijak dan pencegahan resistensi terhadap antibiotik.
  • Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran masyarakat dalam mencegah terjadinya resistensi antibiotic pada ternak maupun manusia.

 

BAB II

MATERI PENYULUHAN 

2.1.   Dampak Resistensi Antibiotik

Resistensi sel bakteri adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh antimikroba (Ganiswara et al., 1995). Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah bakteri untuk bertahan hidup. Resistensi antibiotika terhadap bakteri dapat terjadi dengan berbagai alasan seperti overcrowding yang memudahkan terjadinya transfer bakteri antar personal, tingginya travelling dan perdagangan yang dapat menyebarkan strains resisten secara global, penggunaan antibiotika yang berlebihan pada manusia dan hewan (Spach dan Black, 1998; Lewis, 1995). Tipe resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat bersifat non genetik yaitu bakteri dapat mengalami resistensi intrinsik spesifik terhadap antibiotika, atau resistensi dapat terjadi genetic melalui mutasi atau transfer gen antara bakteri (Hawkey, 1998).

Status resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteria baik pada manusia maupun hewan semakin meningkat, khususnya resistensi terhadap bakteri Gram-negatif (Salmonella spp. dan Escherichia coli). Di beberapa negara banyak data yang menunjukkan bahwa bakteri E. coli yang berasal dari unggas telah resisten terhadap beberapa antibiotika. Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit (prolonged illness), meningkatnya resiko kematian (greater risk of death) dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (length of stay). Ketika respon terhadap pengobatan menjadi lambat bahkan gagal,pasien menjadi infeksius untuk beberapa waktu yang lama (carrier) (Deshpande et al, 2011).

Dampak resistensi antibiotika terhadap gangguan kesehatan manusia dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu:

1.      Terjadinya infeksi yang seharusnya tidak terjadi

Pemakaian antibiotika pada manusia dan hewan mengganggu mikroflora usus yang menempatkan seseorang tersebut mempunyai resiko terjadinya infeksi bakteri tertentu. Seseorang yang membawa agen antimicrobial mengakibatkan naiknya resiko menjadi terinfeksi bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotika tersebut.

            2.    Naiknya frekuensi kegagalan pengobatan dan naiknya infeksi yang berat

Naiknya frekuensi kegagalan pengobatan dan naiknya infeksi yang berat dimanifestasikan dengan lamanya waktu pengobatan, naiknya frekuensi sistemik infeksi, naiknya lama waktu rawat inap, atau tingginya angka kematian.


2.2.   Penyebab Resistensi Antimikroba

Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain :

1.  Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

2. Penggunaan monoterapi: dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.

3. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.

4.   Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.

5. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.

6. Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru (Bisht et al,2009).

7. Pengawasan: lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, orang dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).

 

2.3.  Penyebaran Resistensi Antibiotik

Resistensi antimikroba atau antibiotik ditandai dengan munculnya bakteri yang kebal terhadap pengobatan antibiotik. Bakteri yang resisten tersebut akan berkembang untuk memperbanyak diri dan menginfeksi hewan lain, lingkungan dan manusia. Bakteri yang telah berkembang akan lebih kuat dan tahan terhadap antibiotik yang sebelumnya sudah pernah diberikan. Antibiotik yang sama jika diberikan maka tidak akan memiliki efek bagi hewan yag diobati. Hewan yang diobati dengan antibiotik akan membunuh bakteri yang menginfeksi. Namun, jika penggunaannya tidak tepat indikasi, dosis dan cara pemberian menyebabkan tidak semua bakteri akan mati. Bakteri yang masih hidup akan berkembang bertambah banyak dan juga menjadi resisten terhadap antibiotik tertentu. Bakteri resisten dapat menyebar ke lingkungan melalui produk ternak, air tanah yang tercemar, alat masak, kotoran hewan dan lainnya. Selanjutnya bakteri resisten yang telah mencemari lingkungan dan produk hewan jika dikonsumsi oleh manusia atau hewan lainnya maka bakteri akan ditransmisikan ke manusia atau hewan lain. Bakteri yang telah ditransmisikan ke manusia dan hewan lain akan berkembang dan bertambah banyak. Bakteri tersebut akan menyebabkan suatu penyakit bagi manusia dan hewan lain, dan jika diberikan pengobatan menggunakan antibiotik maka pengobatan tersebut tidak akan menyembuhkan, karena bakteri tersebut sudah resisten. Hal tersebut mengakibatkan pengobatan menjadi lebih lama dan juga dapat mengakibatkan kematian karena pengobatan yang tidak efektif (Utami, 2011).

 

2.4.    Penyakit pada Ternak

2.4.1.    Penyakit Hog Cholera pada Babi

Hog cholera (HC) merupakan penyakit viral menular terpenting pada babi, berlangsung subakut, akut atau kronik, dengan proses penyakit yang tidak menciri atau bahkan kadang tidak tampak sama sekali. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit ini cukup besar karena morbiditas dan mortalitas tinggi, hilangnya devisa akibat larangan ekspor khususnya ternak babi dan hasil olahannya serta dampak yang lebih luas yaituhilangnya kepercayaan atau minat peternak untuk mengembangkan peternakan babi. Agen penyebab hog cholera adalah virus single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA) dari genus Pestivirus termasuk famili Flaviviridae. Virus HC berada dalam genus yang sama dengan virus bovine viral diarrhea (BVD). Virus berbentuk bulat helikal atau tidak teratur dan berukuran antara 40-50 nm dengan nukleokapsid berukuran 29 nm.

Hog Cholera ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi. Masuknya penyakit ke suatu daerah karena adanya babi pembawa virus, (carrier), produk asal babi atau bahan dan makanan tercemar, limbah dari tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang mengandung daging babi yang tidak dimasak. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat transportasi, sepatu dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai berulang. Penularan vertikal terjadi dari induk kepada anak babi.

Gejala klinis yang tampak antara lain :

·    Anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 41-420C berlangsung selama 6 hari.

·  Konstipasi dan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berlendir, warna abu kekuningan dan babi terlihat kedinginan.

·   Babi menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, mempunyai lesi pada kulit dan berdiri dengan punggung terlihat melengkung

·  Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus, mumifi kasi, lahir prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor.

·   Anak babi terinfeksi in utero yang mati setelah lahir sering menunjukkan perdarahan berupa ptekie pada kulit dan organ dalam.

·    Anak babi mengangkat satu kaki

·    Babi menderita Hog Cholera, babi dalam posisi  bertumpuk

·    Babi menderita Hog Cholera menampakan gejala kulit hiperemik

Gambar 1. Gejala klinis pada babi

Pengobatan dan pencegahan yang dapat dilakukan :

·    Belum ada obat yang efektif untuk mencegah hog cholera.

·   Tindakan yang paling efektif adalah melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif yang sudah diatenuasi.

·    Hewan yang menderita HC tidak dianjurkan untuk dipotong, tetapi dimusnahkan.

·    Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular.

·   Semua babi yang pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out atau tindakan pemotongan bersyarat.

·  Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari daerah tertular dilarang keluar atau diperjual belikan.


1.2.1.    Penyakit pada Sapi

1.    Brucellosis

Brucellosis adalah penyakit hewan menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder menyerang berbagai jenis hewan lainnya serta manusia Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Penyakit ini bersifat zoonosis dapat menular dari hewan ke manusia, dan biasanya sulit diobati sehingga sampai saatini brucellosis merupakan zoonosis penting dan strategis. Bakteri brucella bersifat Gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran panjang 0,5-2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan bersifat aerob. Penularan pada hewan terjadi melalui saluran pencernaan, saluran kelamin, dan mukosa atau kulit yang luka. Pada sapi dan kambing, penularan melalui perkawinan sering terjadi, sehingga pemacek yang merupakan reaktor harus dikeluarkan (Direktur Kesehatan Hewan, 2002a).

Pada sapi gejala klinis yang utama ialah keluron menular yangdapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya produksi susu. Keluron yang disebabkan oleh brucella biasanya akan terjadi pada umur kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga). Sapi dapat mengalami keluron satu, dua atau tiga kali, kemudian memberikan kelahiran normal, sapi terlihat sehat walaupun mengeluarkan cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan janin yang keluar waktu terjadinya keluron berwarna keruh dan dapat merupakan sumber penularan penyakit. Pada kelenjar susu tidak menunjukkan gejala klinis meskipun di dalam susunya didapatkan bakteri brucella. Hewan jantan memperlihatkan gejala epididimitis dan orchitis. Selain gejala-gejala di atas sering pula ditemukan kebengkakan pada persendian lutut (karpal dan tarsal). Masa inkubasi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada sapi berkisar antara 2 minggu - 8 bulan atau lebih lama (Radostids and Blood, 1989).

Gambar 2. Pembengkakan sendi dan retensi plasenta


Gambar 3. Pedet abortus dan abnormalitas placenta

Gejala klinis yang nampak pada manusia antara lain demam berkepanjangan, sakit kepala, depresi, kelemahan. Radang testis dan sendi pada pria dan abortus pada wanita. Selain itu, kematian dapat disebabkan karena adanya komplikasi endocarditis oleh B. melitensis (Angka kejadian 80 %).

Gambar 4. Pembengkakan Sendi

Brucellosis merupakan penyakit zoonosis. Oleh sebab itu pencegahan dan penanggulangan sangat penting dilakukan untuk meminimalisir penularan. Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk pencegahan dan penanggulangan terhadap brucellosis antara lain :

·    Vaksinasi pada betina berusia 4-8 bulan (tidak dilakukan pada jantan)

·    Ternak yang didiagnosis brucellosis dipisahkan

·    Apabila terjadi kejadian abortus, lapor ke petugas

·    Sampel dikirim ke laboratorium (perhatikan alat pelindung  diri), tempat didesinfeksi/ disucihamakan

·    Mengkonsumsi produk asal hewan yang higienis seperti susu yang dipasteurisasi

·    Perketat lalu lintas ternak pada daerah bebas (Direktur Kesehatan Hewan, 2002a).

2.   Septicemia Epizootica (SE)

Penyakit Septicemia epizootica (SE) atau ngorok adalah suatu penyakit infeksi akut atau menahun pada sapi dan kerbau.Yang terjadi secara septikemik. Penyakit SE menyebabkan kerugian besar karena dapat menyebabkan kematian, penurunan berat badan. Penyakit ngorok atau SE disebabkan oleh Pasteurella multocida serotype 6B dan 6E menurut klasifikasi Namioka dan Mlirata. Type B dikenal sebagai type I pada klasifikasi Carter dan biasanya diisolasi di Asia, sedang type E biasanya terisolasi di Afrika. Dengan pewarnaaan Giemsa atau Methylene Blue, organisme penyebab penyakit ini terlihat berukuran relatif kecil, berbentuk kokoid dan bipolar bila diwarnai dengan Giemsa Wright atau karbol fuchsin. Bersifat Gram negatif, tidak membentuk spora, non motil dan berselubung (kapsul) yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama. Bentuk koloni tidak selalu seragam, tergantung pada berbagai faktor, antara lain macam media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekuensi pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari hewan sakit atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama-kelamaan berubah menjadi smooth atau rough. Bakteri Pasteurella multocida membebaskan gas yang berbau seperti sperma (Direktur Kesehatan Hewan, 2002a).

Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh hewan adalah daerah tenggorokan (tonsil region). Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat yang tercemar. Ekskreta hewan penderita (Iudah, kemih dan feses) juga mengandung bakteri. Gejalanya tidak banyak terlihat, tetapi Iangsung timbul kematian yang mendadak. Hewan yang terserang biasanya menderita demam tinggi, tidak mau makan, diare, dan feses berdarah Kebengkakan dan busung terlihat di kepala, bagian bawah dada dan kaki atau pangkal ekor. Lesi di kerongkongan mengakibatkan sesak nafas dan kesulitan menelan.Hewan yang menderita penyakit ini sangat tertekan dan murung, kematian dapat terjadi antara 1-2 hari setelah terjadi gejala (Radostids and Blood, 1989).

Gambar 5. Kepala dan leher mengalami edema subkutan serta kematian mendadak pada sapi

         Pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan terhadap penyakit ini antara lain sebagai berikut :

· Daerah bebas : perketat aturan pemasukkan hewan (lalu lintas ternak dilaporkan ke karantina)

·  Daerah tertular : Vaksinasi 1 tahun sekali

· Apabila ditemukan adanya kejadian maka dilaporkan ke dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan (Direktur Kesehatan Hewan, 2002a).

1.4.2.    Penyakit pada Ayam

1.    Newcastle Disease (ND)

Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit menular akut yang menyerang ayam dan jenis unggas lainnya dengan gejala klinis berupa gangguan pernafasan, pencernaan dan syaraf disertai mortalitas yang sangat tinggi. Kerugian yang ditimbulkan ND berupa kematian yang tinggi, penurunan produksi telur dan daya tetas, serta hambatan terhadap pertumbuhan. Penyebab ND adalah virus yang tergolong Paramyxovirus, termasuk virus ss- RNA yang berukuran 150-250 milimikron, dengan bentuk bervariasi tetapi umumnya berbentuk spherik. Beberapa strain memiliki bentuk pleomorfik atau bulat panjang. Di alam virus ND menyerang unggas dan burung-burung. Ayam ras dan ayam kampung, baik piaraan maupun yang liar sangat rentan. Ayam umur muda lebih rentan daripada ayam dewasa dan mengakibatkan mortalitas yang tinggi. Jenis kelamin ayam tidak berpengaruh terhadap kerentanan (Direktur Kesehatan Hewan, 2002b).

Penularan dari satu tempat ke tempat lain terjadi melalui alat transportasi, pekerja kandang, burung dan hewan lain, debu kandang, angin, serangga, makanan dan karung makanan yang tercemar. Dapat pula melalui transportasi dari karkas ayam yang tertular virus ND dan ayam dalam masa inkubasi. Masa inkubasi ND antara 2 - 15 hari atau rata-rata 6 hari. Ayam tertular virus ND akan mengeluarkan virus melalui alat pemafasan 1 - 2 hari setelah infeksi (Tabbu, 2000). Penularan ND dari suatu hewan ke hewan lainnya melalui kontak (persentuhan) dengan hewan sakit, sekresi, ekskresi dan hewan sakit serta juga bangkai penderita tetelo.Jalan penularan melalui alat pencernaan dan pernafasan.Virus yang tercampur lendir atau virus yang ada dalam faeces dan urine tahan sampai 2 bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan lebih lama lagi. Demikian pula virus yang mencemari litter (jejabah) dan lain-lain perlengkapan kandang. Hal ini merupakan sumber penularan yang penting (Hofstad et al., 1984).

Gambar 6. Gejala klinis yang tampak pada ayam penderita ND

                Pengobatan dan Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :

·    Belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan ND.

·    Membuat kondisi badan ayam cepat membaik dan merangsang nafsu makannya

·   Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi secara teratur, serta menjaga kebersihan dan sanitasi kandang (Direktur Kesehatan Hewan, 2002b).

            2.    Pullorum

Penyakit Pullorum merupakan penyakit menular pada ayam yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, menyebabkan kematian yang sangat tinggi terutama pada anak ayam umur 1-10 hari. Penyebab penyakit adalah Salmonella pullorum yang ditemukan oleh Rettger di Amerika pada tahun 1899. Pada ayam dewasa umumnya penyakit ini tidak memperlihatkan tanda-tanda klinis yang jelas, sehingga dapat menularkan kepada ayam yang sehat. Ayam tersebut berperan sebagai pembawa penyakit (carrier). Hewan-hewan yang rentan adalah ayam dan kalkun, selain itu juga burung gereja, itik, angsa, merpati, burung puyuh, termasuk juga burung liar. Mamalia dapat pula terkena infeksi seperti kelinci, bahkan juga manusia, namun tipe dari salmonella yang berbeda, banyak menyerang anak ayam yang baru menetas terutama pada umur minggu ke-2 dan ke-3, namun penyakit juga dapat menyerang pada segala umur ayam (Direktur Kesehatan Hewan, 2002b).

Cara penularan pullorum menurut Hofstad et al., (1984) dapat terjadi melalui :

·  Secara vertikal atau kongenital yaitu penularan dari induk ayam betina kepada anaknya melalui telur.

·  Secara horizontal penularan terjadi melalui kontak langsung yaitu antara unggas yang secara klinis sakit dengan ayam carrier atau ayam sehat

·   Secara tidak langsung penularan dapat terjadi melalui oral yakni melalui makanan dan minuman yang tercemar, peralatan, kandang, litter, dan pakaian dari pegawai kandang yang terkontaminasi.

·    Secara aerogen, biasanya penularan terjadi dalam mesin tetas melalui debu, bulu-bulu anak ayam, pecahan kulit telur dan sebagainya.

Gejala klinis yang timbul menurut Young et al., (2000) antara lain :

·    Ayam kelihatan mengantuk (mata menutup)

·    Jengger kebiruan

·    Bergerombol pada suatu tempat dan nafsu makan berkurang.

·   Diare putih atau coklat kehijau-hijauan dan terdapat gumpalan seperti pasta disertai kelemahan kaki,

·    Sayap menggantung kusam, lumpuh, dan nampak sesak nafas.

·    Terjadi pembengkakan pada sendi merupakan gambaran umum pada pullorum.

·    Ayam-ayam yang tahan hidup mengalami hambatan pertumbuhan.

·    Pada ayam dewasa gejala penyakit sukar dilihat, tetapi kadang-kadang terlihat adanya tanda-tanda depresi, kekurusan, anemia, diare, dan produksi telur menurun.


Gambar 7. Gejala Klinis yang tampak pada ayam penderita Pullorum.

Pengobatan dan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :

·  Pelaporan kepada medik dan paramedik veteriner, dilakukan pengobatan menggunakan antibiotik.

·  Namun pengobatan tidak dapat menghilangkan penyakit tersebut

·  Sebaiknya ayam yang sudah terlanjur terinfeksi parah dimusnahkan untuk menghindari adanya carrier yang bersifat kronis.

·  Sebelum kandang dipakai harus dibersihkan dan dilabur dengan kapur atau disemprot dengan salah satu diantara NaOH 2%, formalin 1-2% Giocide atau difumigasi dengan campuran formalin dan KMn04.

·  Bila memakai litter, harus diusahakan agar tetap kering dan tetap dijaga kebersihan serta ventilasi yang baik.

·   Kandang hendaknya selalu terkena sinar matahari.

·   Membersihkan selalu halaman, tempat makanan dan hindari dari sisa makanan.

·  Telur tetas dan anak-anak ayam harus berasal dari peternakan yang bebas pullorum (Direktur Kesehatan Hewan, 2002b).

BAB III

URAIAN PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1. Deskripsi Kegiatan

Kegiatan sosialisasi koasistensi kesmavet dilaksanakan pada hari Minggu, 14 Juli 2019 pukul 12.00 WITA sampai selesai. Sasaran kegiatan ini adalah pada petani-peternak. Oleh karena itu dipilihlah Kelompok Tani Viladelfia yang bertempat di Kelurahan Oesao, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Kegiatan sosialisasi mengusung tema mengenai isu kesmavet yang sedang hangat diperbincangkan yaitu tentang penggunaan antibiotik pada hewan. Tema yang diangkat adalah “Bahaya Resistensi Antimikroba dan Penyakit pada Ternak”. Kegiatan ini dilakukan dengan metode presentasi dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Selama jalannya kegiatan sosialisasi, mahasiswa koasistensi didampingi oleh dosen pengampuh koasistensi kesmavet diikuti oleh 22 orang yang terdiri dari 1 orang dosen pendamping koasistensi kesmavet, 7 orang mahasiswa koasistensi kesmavet dan 14 orang petani-peternak dari Kelompok Tani Viladelfia. Kegiatan sosialisasi dimulai dengan penyampaian materi oleh 2 orang narasumber dan dipandu oleh 1 orang moderator. Setelah penyampaian materi, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi atau tanya jawab. Berdasarkan hasil observasi selama berlangsungnya kegiatan sosialisasi, antusiasme peserta terhadap materi yang disampaikan sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai pertanyaan yang diajukan oleh peserta (petani-peternak Kelompok Tani Viladelfia) kepada narasumber.

1.2.   Pertanyaan pada saat Penyuluhan

Antusiasme peserta sangat tinggi, dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan. Salah satu pertanyaan audiens yang berkaitan dengan tema yang kami suguhkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini .

Ø  Pertanyaan dari Bapak Jhon Thei. Isi dari pertanyaan adalah sebagai berikut :

1.       Mengapa hewan tidak boleh divaksinasi pada saat bunting?

Jawab : karena pada saat buntingdaya tahan tubuh hewan sedang menurun dan pada saat vaksinasi yang dimasukkan atau diinjeksikan ke dalam tubuh hewan adalah virus yang dilemahkan, sehingga virus tersebut dapat menyebabkan infeksi dikarenakan kurangnya daya tahan tubuh hewan tersebut.

2.       Kapan waktu yang tepat untuk melakukan vaksinasi pada ayam?

Jawab : tergantung jenis vaksinnya. Pada umumnya vaksinasi yang disediakan dari dinas adalah vaksin ND. Waktu yang tepat untuk melakukan vaksinasi ND pada ayam adalah pada usia

Ø  Pertanyaan dari Bapak Gerson Marcus. Isi dari pertanyaan adalah sebagai berikut:

3.        Apakah penggunaan antibiotik pada manusia bisa diberikan juga pada hewan?

Jawab : Antibiotik pada manusia bisa juga diberikan pada hewan, namun harus memperhatikan beberapa catatan, diantaranya:

·  Memakai antibiotik hanya untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri (tepat indikasi).

·  Konsultasi terlebih dahulu penggunaan antibiotik dengan dokter hewan (dibawah pengawasan dokter hewan & tepat pemilihan obat)

·    Tepat cara pemberian antibiotik (tepat rute pemberian)

·    Memperhatikan dosis yang akan diberikan (tepat dosis)

Pemberian antibiotik harus dibawah pengawasan dokter hewan dan berpedoman pada 5T (tepat indikasi, tepat obat, tepat sediaan, tepat cara pemberian, tepat dosis) agar dalam penggunaan antibiotik tersebut, tidak menimbulkan resistensi yang berpengaruh nyata pada manusia yang mengkonsumsi daging tersebut.

Ø  Pertanyaan dari Bapak Gerson Marcus. Isi dari pertanyaan adalah sebagai berikut:

4.        Mengapa sapi dan domba tidak boleh dipelihara bersama?

Jawab : karena ada salah satu penyakit pada domba yang dapat menular pada sapi, yang dikenal dengan MCF (Malignat Catharal Fever). Akan tetapi penyakit ini sulit terdeteksi pada domba, dikarenakan domba tidak menunjukkan gejala klinis, namun pada saat dipelihara bersama sapi, penyakit tersebut dapat menular ke sapi dan menimbulkan gejala klinis.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat di Kelurahan Oesao berjalan baik. Terlihat antusiasme masyarakat dalam mengikuti kegiatan ini dimulai dari ketepatan waktu datang ke lokasi penyuluhan, menyimak materi yang dipaparkan, dan memberikan pertanyaan mengenai materi yang dipaparkan.

4.2. Saran

Untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik baik pada hewan maupun pada manusia, terdapat beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan, antara lain :

        1. Mencuci tangan secara teratur untuk mencegah transmisi penyakit.

        2. Mencuci buah dan sayuran

        3. Menghindari mengkonsumsi telur mentah dan daging yang tidak dimasak matang.

        4. Memastikan vaksinasi tepat waktu.

        5. Menjadi informan bagi konsumen kesehatan.

        6. Menggunakan antibiotik sesuai dengan dosis dan cara pemberian yang bijak.

DAFTAR PUSTAKA

Bari, S. B., Mahajan, B. M., Surana, S. J. 2008. Resistance To Antibiotic : A Challenge In Chemotherapy. Indian Journal of Pharmaceutical Education and Research.

Bezoen A, van Haren W, Hanekamp JC. 2001 Antibiotics : Use and Resistance Mechanisms. Human Health and Antibiotic Growth Promoters (AGPs), Geidelberg Appeal Nederland.

Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R. and Mittal, P. 2009.Antibiotic Resistance-A Global Issue of Concern.Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research.2(2).

Deshpande, J.D. and Joshi, M. 2011. Antimicrobial Resistance: The Global Public Health Challenge. International Journal of Student Research.1(2).

Direktur Kesehatan Hewan 2002a. Manual Penyakit Hewan Mamalia.Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002b. Manual Penyakit Hewan Unggas.Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Ganiswara, S.G., R. Setiabudy, and F.D. Suyatno, 1995.Farmakologi dan Terapi Edisis IV.Editor Purwantiasrtuti dan Nafrialdi.Universitas Indonesia. Jakarta.

Hawkey P.M. 1998. The origins and molecular basis of antibiotic resistance.BMJ 1;317(7159):657-660.

Hofstad MS., et all 1984. Disease of Poultry.Iowa State University. Ames, Iowa. USA. eight edition. 452 - 467.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Panduan Hari Kesehatan Sedunia.Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standard Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. 2004. No 1197/MENKES/SK/X/2004.

Lewis, R. 1995. The Rise of Antibiotic-Resistant Infections.FDA Consumer Magazine September.

Radostids, OM and Blood, DC. 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Spach, D.H. and Black, D. 1998. Antibiotic resistance in community-acquired respiratory tract infections: current issues. Annals of Allergy Asthma Immunology. 81:293-303.

Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawan, A., Bahry, B., Suyatna, F.D., dkk. 2009, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Tabbu, CR. 2000. Penyakit ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Volume 1.Penerbit kanisius, Yogyakarta.

Utami, E.R. 2011. Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas Terapi. Antibiotika, Resistensi. El-Hayah 1(4):191-198.

Young VB, Chien C, Knox KA, Taylor NS, Fox GS 2000. Cytolethal Distending Toxin in Avian and Human Isolates of Helicobacter pullorum. J Infect Dis. Vol .182 (2): 620-623.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Laporan Pengabdian Koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner Edukasi Bahaya Resistensi Antimikroba dan Penyakit pada Ternak "

Posting Komentar