Papa, Bangun . . .
Hari ke-59
Papa tidak juga sadar bahwa suatu saat manusia akan
kembali seperti apa yang membentuknya semula. Sehebat apapun manusia, ia pasti
akan menjadi tanah suatu hari nanti. Tak ada satupun yang sesudah wafatnya
menjadi batangan-batangan emas atau butiran berlian yang begitu indah. Tanah.
Itulah manusia yang sebenarnya. Tapi, tidak dengan Papa. Bagi Papa manusia
adalah siapa dia saat ini, bukan yang lalu atau yang akan datang. Aku sedih
melihat Papaku. Dia adalah tanah yang merasa dirinya bagaikan butir-butir
intan.
Hari ke-70
Ayah tidur terus. Ia juga tak bangun-bangun dari
tidurnya. Aku pikir hari ini Papa bangun pagi-pagi lalu berangkat bersama aku
dan Ibu. Ibu sudah terbiasa dengan sikap Papa ini, tapi aku sangat sedih
dengannya. Aku dan Ibu memang jarang sekali membicarakan Papa, tetapi aku tahu
setiap kali menyambut Kristus, nama Papalah yang Ibu sebutkan lebih dahulu.
Seperti hari ini, hal itu nampak jelas dari wajahnya yang kulihat dari samping.
Seandainya Papa mendengar suara Ibu itu, mungkin ia dapat segera bangun dari
tidur lelapnya itu.
Hari ke-98
Seminggu lagi Yesus bangkit dari kubur-Nya.
Mungkinkah Papa juga? Apakah Papa juga akan bengkit dari tidur panjangnya?
Mungkin setan kertas dan cahaya itu benar-benar telah berhasil membuat Papa
terlelap, sampai-sampai Papa lupa bahwa Tuhan Yesus masih ada. Aku tahu bahwa
suatu saat Papa akan berpisah dengan iblis kertas dan cahaya itu. Namun
sayangnya, Papa tidak pernah punya pikiran ini. Apakah Papa lupa bahwa
keselamatan abadi hanya datang dari Dia? Dia yang sudah ada jauh sebelum Papa
ada dan akan tetap ada jika Papa tidak ada. Saat Papa menjadi tanah, Dia itu
tak akan berubah sedikit pun. Ya Tuhan, semoga Papa berhenti mencari dan
mengumpulkan setan-setan kertas itu di rumah kami. Aku takut.......
Hari ke 103
Papa masih punya kesempatan. Papa telah dibangunkan
oleh Dia yang memberi Tubuh dan Darah-Nya bagi Papa. Mudah-mudahan Papa segera
mengubah haluan. Semoga setan-setan kertas tidak lagi menempati rumahku. Aku
tidak mau tinggal bersama setan. Ayo Papa, lakukan sesuatu! Papa harus bangkit
dan berbalik pada Dia, supaya Papa juga bangkit bersama Dia...
Hari ke-104
Tengah malam aku kaget mendengar suara tawa yang
menakutkan. Ya, aku kenal suara tawa itu. Itu tawa setan-setan kertas. Suaranya
dari kamar Papa dan Ibu. Pantas saja Ibu mondar-mandir sejak tadi. Aku yakin
Ibu juga tak bisa tidur. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara mobil
memasuki rumah kami. Ada orang-orang berseragam coklat rupanya. Mengapa mereka
datang. Tiba-tiba Ibu masuk ke kamarku, “Jangan keluar dari sini sampai Ibu
datang!!". "Kenapa? Ada apa?", tanyaku penasaran. "Kamu
tidur saja, jangan lakukan apapun". Aku turuti saja kata Ibu. Aku harap
tidak terjadi apa-apa di luar sana. Aku tiba-tiba teringat lagi wajah Dia yang
aku dan Ibu kecup tadi sore. Dia tersenyum padaku.
Suara tawa yang tadi kudengar makin keras dan
memekakkan telinga. Bersama suara tawa itu aku mendengar tangis Ibu. Aku tak
tahan lagi. Ingin aku keluar saja, tapi... Ah aku juga tidak tahu, tapi
sepertinya aku mendengar suara yang menahanku agar tidak keluar. Ibu menangis
sejadi-jadinya dan mobil-mobil depan rumahku hilang satu per satu. Ibu masuk ke
dalam kamarku dan tanpa sepatah kata pun ia memelukku sambil menangis. Lama
sekali ia memelukku sampai aku merasa ngantuk. Aku tak sadar lagi...
Hari ke-105
Tuhan Yesus bangkit, Alleluya!
Aku mendapatkan jawabannya hari ini. Papa semalam
dibawa oleh orang-orang berseragam coklat. Ibu dan aku akan pergi menemui Papa
sehabis misa. Semua orang bergembira ria dan saling berjabatan tangan. Ibu
berusaha bergembira dan senyumnya dibuat-buat. Aku bisa merasakannya. Aku dan
Ibu pergi ke tempat Papa. Kasihan Papa, ia seperti burung yang dikurung dalam
sangkar besi. Aku tidak berani bertanya apapun pada Papa. Ia dan Ibu hanya
berbicara sebentar. Keduanya lebih banyak menangis. Namun, tiba-tiba Papa
memanggilku, "Rio, maafkan Papa. Jangan ikuti perbuatan Papamu ini".
Papa mengatakannya sambil menangis. “Papa jangan begitu. Papa jangan menangis
terus,” kataku.
Ibu segera menarik aku keluar. Ada seorang pria yang
memanggil Ibu. Katanya waktu sudah habis. Aku ikut saja tanpa peduli
kata-katanya. Aku turut Ibu keluar. Dari kejauhan aku berbalik, aku melihat
wajah Papa yang begitu sedih dan penuh sesal. Dalam hati aku berpikir,
mungkinkah ini hari kebangkitan Papa? Syukurlah kalau hari ini Papa sadar bahwa
dia adalah tanah yang tidak berharga. Semoga......
Hari ke-106
Ibu sibuk mengemasi barang-barang kami. Semuanya
dinaikkan ke 'pick up' Om Tonny, tetangga kami. Aku bingung kenapa kami pindah
rumah. Tapi semenjak kami berada di rumah baru, aku merasakan suasana yang
berbeda. Lebih damai dan tenang. Aku juga tidak takut lagi karena suara
setan-setan kertas yang dulu ada di tembok kamar Papa, kini tidak ada lagi.
Hari ke-107
Aku dan Ibu mengunjungi Papa lagi. Ia masih tampak
sedih. Namun aku melihat wajah Papa berbeda sekali. Ikatan setan kertas dan
cahaya sudah terlepas. Papaku kini sudah bebas. Sebelum kami pulang, Papa
membisikkan kata-kata ini,
"Rio,
jangan pernah lupa berdoa bagi Papa. Jangan melawan kalau Ibu ajak ke gereja.
Rio, ingatlah Yesus dan Bunda Maria selalu supaya kamu selalu digendong oleh
mereka. Jangan nakal, supaya kalau kamu digendong, kamu tidak jatuh. Kalau kamu
jatuh, nanti sakit sekali rasanya dan lama baru kamu bisa sembuh." Dengan
penuh keyakinan, seolah-olah mengerti maksud Papa, aku menjawab "Iya,
Pa..." (DR)
0 Response to "Papa, Bangun . . ."
Posting Komentar