Dari Balik Jendela
"When
one door of happiness closes, another opens but often we look so long at the
door that we don't see the one which has been oppened for us"
< ----- >
Mimpi
buruk itu datang lagi . . . .
Gambaran-gambaran itu terbayang dengan sangat jelas
seperti pemutaran film di bioskop. Itu hidup! itu nyata! bergerak, bersuara
bahkan seperti berperasaan, juga berpikir. Tidak hanya manusia-manusia saja
tetapi seluruh objek dalam gambaran itu . . . hidup! Dan aku melihat, merasakan
bahkan mengalami semuanya! Aku terpaku menatap gambar-gambar itu, seperti
seorang anak kecil yang asyik menonton film kartun di depan pesawat televisi.
Bedanya . . gambar dalam mimpi itu sungguh menyiksa diriku!!
Potret
seorang anak kecil . . . .
Senyum ceria dan kepolosan tertampang jelas dari
wajahnya. Matanya menerawang dunia dengan penuh harapan dan cita-cita. Dengan
penuh asa dan semangat yang membawa ia menjalani kehidupan sebagai seorang
anak. Bangun tidur, gosok gigi, sarapan, berangkat ke sekolah, tidur siang,
bermain sepak bola atau kelereng, membantu Ibu membersihkan halaman rumah, mencuci
sepeda motor ayah, belajar, berdoa, tidur lagi !!!
Potret
masa remaja . . . .
Senyum ceria telah berganti tatapan kengerian
bercampur kebencian yang teramat sangat! Di suatu siang, wajah itu menyaksikan
dengan jelas bagaimana keluarganya dibantai. Ayahnya dianiaya. Lalu kepalanya
dipenggal dan dijadikan lampion di pohon jambu depan rumahnya. Ibunya 'digilir'
oleh pria pria bejat berhidung belang. Lantas memilih mati dengan menabrakkan
dirinya ke bayonet salah seorang dari mereka. Tubuh yang sedang mengandung
adiknya itu rubuh dihadapan tubuh suami tercinta yang tak berkepala.
Wajah itu berubah menjadi penuh amarah, dendam serta
rasa bersalah. Rasa bersalah karena berusaha lari dan membiarkan keluarganya
mati. Karena tidak bisa mengalahkan kehidupan yang kejam dan tidak bisa
mengubah nasib penuh penderitaan yang akan dialami bertahun-tahun. Lalu dendam,
karena ingin merebut kembali kebahagiaan yang sudah dirampas oleh hidup. Andai
ia tak lari...
Ketika
ia dewasa . . . .
Hidup dari hutan ke hutan, asrama ke asrama, telah
menimpa dirinya. Isi kepalanya memampukan ia menggapai cita-cita. Dapat
beasiswa dan berkesempatan belajar di luar negeri, walaupun harus dibiayai oleh
tangan - tangan yang pernah merampas kedamaiannya. Kembali memijakkan kaki
ditanah para pecundang itu, lalu mulai membangun kerajaannya. Bisnis
prostitusi, obat-obatan terlarang, alkohol terjual dalam ‘politik hitam’ hanya
dengan satu tujuan : “Merusak generasi bangsa yang bejat ini !" Lingkaran
hidupnya : Bisnis, Wanita dan Alkohol.
Namun wajah itu belum menampakkan senyum kebahagiaan
yang polos seperti sedia kala. Hanya seingai sumringah!! Entah kenapa...
Lalu
gambar yang begitu abstrak......
Kengerian,
kegetiran dan kegelisahan masih terlihat jelas dari wajah itu. Ia terkurung
dalam sebuah realitas yang... tak dapat di jelaskan!!! Mungkin hutan, karena
dada yang menusuk pori-porinya, bunyi gesekan dedaunan dan ranting - ranting.
Mungkin pula jurang, karena tangan menggapai - gapai ke atas. Seakan memanjat.
Yang pasti semuanya diliputi kegelapan; kegelapan yang melunturkan semua
batasan. (pejamkan matamu dan bayangkan gulita yang membuat engkau melihat yang
ada di depan hanyalah... KETAKTERHINGGAAN!!!)
la
seakan merayap, ingin lepas dari jurang gulita ini. Ia mencoba mencari pegangan
dan puncak jurang... yang bahkan tak terikat! Dirinya seakan dimangsa
kegelapan. Jasadnya dicabik - cabik oleh kuku - kuku tak terlihat. Dibakar oleh
ketakutan. Dendam! Amarah! Wanita, alcohol, kekayaan, tangisan, kertakan gigi,
papar senapan, bayonet, peluruh, darah, Ayah, Ibu, masa kecil, MAUT!!!
< ----- >
Aku terbangun. Tak ada lagi wanita disampingku.
Beberapa mal bus, botol - botol red wine masih tergeletak begitu saja, kepala
pening. Keringat dingin. Ku coba mengingat - ingat mimpi tadi, yang sudah seminggu
terus menghantui aku. Dan semuanya... seperti kilas balik hidupku.,
representasi nasibku! Kucoba berkaca pada langit-langit kamar tidurku. Namun,
yang ku dapat hanyalah kekosongan.
Aku bangun dan menuju jendela kamar tidurku. Kusibak
tirai jendela. Langit masih gelap... lalu keheningan masih menghantuiku...
entah berapa lama ... kemudian setelah beberapa saat akhirnya aku kembali
menyambut nama itu dalam kesesakan "Tuhan, aku lelah!!" Panggilan itu
terasa begitu asing di telingaku. Entah... beberapa purnama yang aku lewati
tanpa Tuhan.
Aku duduk di kursi dan masih menatap keluar jendela.
Aku menangis. "Tuhan mengapa Engkau menderita seperti ini? Andai saja
Engkau memberikanku kesempatan untuk memilih, aku akan memilih untuk tidak pernah
lahir ke dunia ini !!! Jika aku hidup hanya untuk menderita, aku ingin
berteriak sekeras-kerasnya kepada dunia, Hidup !!!” Inikah wujud Sang Pengasih?
Dimana
tanggungjawab-Mu Tuhan? Atau Engkau hanyalah ciptaan akal manusia belaka? Manusia-manusia
yang tidak punya nyali untuk menghadapi takdir? Atau Engkau hanyalah wujud
kelemahan kami, yang berusaha lari dari kehidupan! Menciptakan harapan -
harapan palsu sebagai pembenaran juga bagi kaki yang menderita? Salah? Hanya
karena Engkau dimaki banyak orang, bukan berarti Engkau ada kan? Hatiku
menjerit... lirih... "Dengarlah protesku TUHAN!!"
Di luar langit tampak semakin terang. Dari balik
jendela kamarku di lamtai dua, aku biasa melihat semuanya, si Ambon, satpamku
yang sedang merokok sambil mendengarkan tape recorder. Pembantu rumah sebelah
yang sedang menyapu. Pak Tohari yang tengah menyiapkan mobil majikannya.
Tetangga - tetangga ku yang sedang jogging... kulihat semuanya, detail, yang
tak pernah kulihat sebelumnya. Aku merasa terasing dari lingkunganku sendiri
... andai aku hadir dari realitas ini ?
Mataku terpaku pada dua hal lain yang ... sungguh
menarik. Kusadari salah seekor kupu-kupu yang tadi menabrak - nabrak jendelaku.
Ternyata ia mengincar bunga tiruan yang tertata di sebuah vas tak jauh dari
tempat aku duduk. Agresif. Kucoba membuka jendela ... kupu-kupu itu masuk dan
terbang mendapati bunga tersebut. Tak lama kemudian, ia terbang keluar. Mungkin
kecewa, lantaran yang didapatnya hanya miniature kembang di taman. Kupu-kupu
itu menghantarkan pandanganku pada sebuah keluarga yang sedang menikmati pagi.
Entah sejak kapan mereka tinggal di kompleks ini, aku tak tahu. Sang suami
menggendong anaknya dengan satu tangan sedangkan tangannya yang lain menggengam
lengan isterinya. Mereka berjalan. Entah mengapa pandanganku terpusat pada
mereka. Lebih lagi ketika sang anak yang digendong bersikeras untuk berjalan
sendiri. Sejenak pasangan muda berdiskusi. Lalu sang anak dibiarkan berjalan.
Langkah pertama Kedua....ketiga, keempat.....krak!!! Ambruk. Sang ayah membantunya
berdiri. Sang anak kelihatan kesakitan. Coba lagi kali ini lebih pasti... satu,
dua, tiga, empat...sang anak tersenyum. Langkah terakhirnya telah menciptakan
jarak yang cukup jauh antara dia dan orangtuanya. Kemudian ia berbalik dengan
penuh sukacita. Rebah dalam rangkulan sang ibu yang lantas dengan penuh cinta
kasih menggendongnya. “Ahh Shittt…”
Lama aku tertegun. Hening.....sunyi...jeda yang hanya
diisi dengan suara burung pipit, musik dari tape si Ambon, mesin mobil
tetangga...yang tidak mengusikku. Aku menangis bukan tangisan pilu, kekosongan..
tapi tangisan penuh sukacita "Oh Tuhan! Betapa bodohnya aku! Betapa
praktisnya kau memberi jawaban atas pertanyaan - pertanyaan yang menghantui
hidupku. Aku sadar sekarang. Mimpi-mimpi yang seperempat usiaku terus hadir aku
tidur benar - benar representasi diriku, semua itu jelmaan dendamku sendiri.
Batas antara dendam dan keberhasilan, kejahatan dan kebaikan, kebahagiaan dan
kepedihan seperti dua sisi mata uang. Begitu dekat dan tak dapat dipisahkan.
Sekarang aku mengerti. Amarah dan dendamku yang menjadikan pandanganku terhadap
dunia begitu jernih dan bening telah menciptakan kegelapan dalam hidupku. Kebeningan
dan Kegelapan! Dua hal yang sama - sama bisa menghapus segala batasan. Aku
seperti kupu-kupu tadi, melihat miniature dari balik kaca bening. Mataku
dibutakan oleh dendam. Aku tersadar ketika menabrak tembok cinta yang dibangun
oleh hidup, tembok itu tidak melenyapkan amarahku. Tembok itu membukakan ruang
bagiku untuk melihat apa yang kucari. Sekarang aku sadar apa yang aku cari
hanyalah kepalsuan, bukan kebahagiaan yang sebenarnya....aku ingin kembali!
Aku akhirnya juga memahami Tuhan yang aku
tinggalkan. Seperti anak kecil yang berusaha berjalan aku pun berusaha lepas
darinya. Tanpa keberanianku untuk keluar dari gendongannya. Aku yakin aku tak
setegar hari ini. Terima kasih Tuhan! Aku tahu sekarang. Setiap kali aku
terjatuh, Engkau selalu mengangkat aku. Hanya saja indera ku tak cukup peka
menyadari semuanya itu. Aku telah menemukan jati diriku dalam hidup.
Penderitaan yang ku alami, ku lapangkan sebagai ruang kudus untuk menemukan-Mu.
Sekarang aku ingin kembali. Apakah Engkau berkenan menerima aku seperti seorang
Ibu yang menyediakan pelukan mesra bagi anaknya? Aku sekarang percaya aku bisa
berjalan tegak dengan kepala terangkat setelah melewati kejatuhan ini. Aku juga
yakin Engkau juga Allah yang bertanggungjawab. Engkau akan menerima ku kembali.
Ku angkat kepalaku yang terbenam di telapak tangan.
Tak ada lagi air mata. Ku toleh ke luar jendela. Hari makin siang. Kupandangi
para tetanggaku di luar . . . untuk pertama kalinya. Mereka tersenyum padaku...
senyum penerimaan yang tulus... bahagia sekali hari ini... betapa semuanya
indah pada waktunya. Walau hanya sedetik jika dibandingkan dengan kelamnya masa
lampauku. Aku kembali! Tiba-tiba saja pagi ini aku ingin minum secangkir kopi
hangat . . . . (EN)
0 Response to "Dari Balik Jendela"
Posting Komentar