Makalah Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Unggas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Reproduksi adalah pembentukan
individu baru dari individu yang telah ada dan merupakan ciri khas dari semua
organisme hidup. Proses reproduksi tidak diperlukan untuk kelangsungan hidup
organisme, tetapi tanpa reproduksi spesies akan punah. Untuk terjadinya proses
reproduksi seksual, hewan perlu memiliki organ reproduksi yang mampu menghasilkan
gamet.
Ternak unggas merupakan ternak yang
banyak diminati di kalangan masyarakat Indonesia. Harganya yang murah,
pemeliharaannya yang lebih mudah dan produksinya yang cepat membuat daya tarik
akan ternak unggas. Unggas hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk
kemudian dipanen. Tidak seperti ternak ruminansia atau ternak lainnya yang mem
butuhkan waktu hingga beberapa tahun untuk dipanen. Produksinya juga tinggi
selain telurnya, anak yang berumur satu hari (DOC, DOD atau DOQ) juga bisa
menjadi komoditi menguntungkan.
Kebanyakan dari masyarakat yang
masih beternak unggas dengan cara konvensional yang menyebabkan produksinya
tidak bisa maksimal. Angka kematian unggas juga lebih tinggi. Masyarakat yang
beternak secara konvensional hanya bisa menempatkan beberapa ternak unggas
jantan dan betina dengan rasio tertentu untuk bisa menghasilkan telur yang
fertil. Hal ini sangat tidak efisien dimana sekarang ini dibutuhkan ternak
unggas dengan jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang cepat. Apabila semua
peternak masih menggunakan metode seperti ini maka permintaan masyarakat tidak
bisa terpenuhi yang akhirnya bisa berdampak kepada permasalahan pangan.
Pengamatan anatomi dan fisiologi unggas
dilakukan dengan tujuan mengetahui anatomi fisiologi unggas yang meliputi
sistem pernapasan, pencernaan, reproduksi dan urinari. Terutama sistem
reproduksi yang sangat berhubungan erat dengan produksi unggas baik dari bahan
pangan ataupun generasi unggas tersebut. Sistem reproduksi yang sangat perlu
ditekankan dalam pembahasan adalah sistem reproduksi unggas betina, dimana
proses pembentukan telur terjadi di dalam sistem organ reproduksi unggas
betina.
Unggas merupakan
salah satu jenis hewan yang banyak digemari oleh manusia. Unggas mempunyai
berbagai macam jenis yang dapat menarik perhatian manusia untuk bisa
memeliharanya. Selain itu, ada juga yang berusaha untuk dijadikan sebagai hewan
ternak. Unggas berkembang biak dengan bertelur. Telur unggas mirip telur
reptil, hanya cangkangnya lebih keras karena berkapur.
Testes merupakan
alat reproduksi primer pada hewan jantan, dan pada hewan menyusui testes
terdapat di dalam kantung di luar tubuh yang disebut scrotum. Saluran-saluran
alat pelengkap merupakan alat reproduksi sekunder yang berasal dari testis
menuju efferentia, epidermis, dan fase diferensial dan penis dengan saluran
yang merupakan saluran bersama dialirkannya plasma air mani. Alat kelamin
primer, sekunder, dan pelengkap ketiganya disebut saluran reproduksi jantan.
Organ reproduksi pada unggas adalah ovarium dan oviduct
untuk unggas betina dan testis untuk unggas jantan. Pada unggas betina organ reproduksi bagian
kiri yang berkembang normal dan berfungsi dengan baik (Nesheim et al.,
1972), tetapi untuk bagian kanan mengalami rudimeter (Sarwono, 1988).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi sistem
reproduksi ayam jantan dan betina ?
2. Bagaimana
proses Fertilisasi pada ayam ?
3. Bagaimana irama dan siklus irama bertelur ?
4. Hormon apa
yang mempengaruhi peneluran ?
5. Bagaimana pengaruh pencahayaan terhadap peneluran?
1.3 Tujuan
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem
reproduksi ayam jantan dan betina
2. mengetahui proses Fertilisasi pada ayam
3. Memengetahui irama dan siklus irama bertelur
4. Mengetahui hormon yang mempengaruhi peneluran
5. mengetahui pencahayaan peneluran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem
Reproduksi Ayam
Betina
Organ reproduksi ayam betina terdiri dari ovarium dan oviduct.
Pada ovarium terdapat banyak folikel dan ovum. Oviduct terdiri dari
infudibulum, magnum, ithmus, kelenjar kerabang telur dan vagina
(Nalbandov, 1990). Secara lengkap oviduct dan ovarium digambarkan oleh
Nesheim et al. (1979) seperti tampak pada gambar 18.
2.1.1. Ovarium
Ovarium terletak pada daerah kranial ginjal
diantara rongga dada dan rongga perut pada garis punggung sebagai penghasil
ovum. Ovarium sangat kaya akan kuning telur atau yang disebut yolk.
Ovarium terdiri atas dua lobus besar yang banyak mengandung folikel-folikel
(Nalbandov, 1990). Ovarium biasanya terdiri dari 5 sampai 6 ovum yang telah
berkembang dan sekitar 3.000 ovum yang belum masak yang berwarna putih
(Akoso, 1993).
Yolk merupakan tempat disimpannya sel
benih (discus germinalis) yang posisinya pada permukaan
dipertahankan oleh latebra. Yolk dibungkus oleh suatu lapisan
membran folikuler yang kaya akan kapiler darah, yang berguna untuk menyuplai
komponen penyusun yolk melalui aliran darah menuju discus germinalis.
Ovum juga dibungkus oleh suatu membran vitelina dan pada ovum masak membran
vitelina dibungkus oleh membran folikel. Bagian yolk mempunyai suatu
lapisan yang tidak mengandung pembuluh kapiler darah yang disebut stigma.
Pada bagian stigma inilah akan terjadi perobekan selaput folikel kuning
telur, sehingga telur akan jatuh dan masuk ke dalam ostium yang merupakan mulut
dari infundibulum (Nesheim et al., 1979).
Gambar 1. Ovarium dari ayam petelur
(Nesheim et al., 1979)
Perkembangan
kuning telur dimulai setelah oocyt (discus germinalis) berkembang
secara perlahan-lahan pada hari ke-10 sampai 8 sebelum ovulasi, dengan
adanya penimbunan zat-zat makanan. Pada hari ke- 7 sampai 4 sebelum ovulasi
pembentukan yolk terjadi sangat cepat. Pada hari ke-7 sampai 6 sebelum
ovulasi yolk, sebesar 1/10 kali yolk masak. Pada hari ke-6
sebelum ovulasi terjadi lapisan konsentris yolk dan diameter yolk
berkembang dari 6 sampai 35 mm. Lapisan konsentris terdiri dari lapisan putih
dan kuning yang dipengaruhi oleh perbedaan xanthophyl pakan dan periode
siang malam. Pada hari ke-4 sebelum ovulasi yolk sudah berebentuk
sempurna seperti pada yolk masak. Pada hari ke-3 penimbunan
komponen yolk mulai lambat dan berhenti sama sekali pada hari ke-1
sebelum ovulasi dengan diameter sekitar 40 mm (Nesheim et al., 1979).
Proses perkembangan folikel yolk ini dipengaruhi oleh hormon pituitari
setelah terjadinya kematangan seksual pada ayam betina (Nalbandov, 1990).
Ovarium
menghasilkan beberapa hormon pada saat perkembangannya, folikel-folikel pada
ovarium ini berkembang karena adanya FSH (Follicle-Stimulating Hormone)
yang diproduksi oleh kelenjar pituitari bagian anterior (Nesheim et al.,
1979). Anak ayam belum dewasa mempunyai oviduk yang masih kecil dan belum
berkembang sempurna. Perlahan lahan oviduk akan mengalami perkembangan dan sempurna
pada saat ayam mulai bertelur, dengan dihasilkannya FSH tersebut (Akoso, 1993).
Setelah
ayam dewasa ovarium juga memproduksi hormon estrogen. Hormon estrogen memacu
pertumbuhan saluiran
reproduksi dan merangsang terjadinya kenaikkan Ca, protein, lemak dan substansi
lain dalam darah untuk pembentukan telur. Estrogen juga merangsang pertumbuhan
tulang pinggul dan brutu. Progresteron juga dihasilkan oleh ovarium, yang
berfungsi sebagai hormon releasing factor di hipothalamus untuk
membebaskan LH dan menjaga saluran telur berfungsi normal (Akoso, 1993).
2.1.2. Oviduk
Oviduk
terdapat sepasang dan merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus.
Pada unggas oviduk hanya satu yang berkembang baik dan satunya mengalami
rudimeter. Bentuknya panjang dan berkelok-kelok yang merupakan bagian dari ductus
Muller. Ujungnya melebar membentuk corong dengan tepi yang berjumbai
(Nalbandov, 1990). Oviduk terdiri dari lima bagian yaitu: infundibulum atau funnel,
magnum, ithmus, uterus atau shell gland dan vagina (Nesheim et al.,
1979).
Gambar 2.
Organ reproduksi ayam betina (Nesheim et al., 1979)
Oviduk
mempunyai struktur yang kompleks untuk menghasilkan bahan sekitar 40 g (10 g
padat dan 30 g air) dalam waktu sekitar 26 jam. Secara garis besar terdiri
lapisan perotoneal eksternal (serosa), lapisan otot longitudinal luar dan
sirkuler dalam, lapisan jaringan pengikat pembawa pembuluh darah dan syaraf,
serta lapisan mukosa yang melapisi seluruh duktus. Pada ayam muda mukosa
bersifat sederhana tanpa lekukan maupun lipatan. Pada saat mendekati dewasa
kelamin serta mendapat stimulus dari estrogen dan progresteron, maka oviduk
menjadi sangat kompleks dengan terbentuknya ikatan-ikatan primer, sekunder dan
tersier. Pada puncak aktivitas sekresinya, sel-sel menunjukkan bentuk variasinya
dari kolumner tinggi sipleks sampai kolumner transisional yang memiliki silia.
Oviduk unggas tidak dapat membedakan antara ovum dengan benda-benda asing,
sehingga akan tetap mensekresikan albumen, kerabang lunak dan kerabang keras
disekitar benda asing tersebut (Nalbandov, 1990).
Infundibulum. Infundibulum adalah bagian teratas
dari oviduk dan mempunyai panjang sekitar 9 cm (North, 1978). Infundibulum
berbentuk seperti corong atau fimbria dan menerima telur yang telah
diovulasikan. Pada bagian kalasiferos merupakan tempat terbentuknya kalaza
yaitu suatu bangunan yang tersusun dari dua tali mirip ranting yang bergulung
memanjang dari kuning telur sampai ke kutub-kutub telur (Nalbandov 1990). Pada
bagian leher infundibulum yang merupakan bagian kalasiferos juga merupakan
tempat penyimpanan sperma, sperma juga tersimpan pada bagian pertemuan antara
uterus dan vagina. Penyimpanan ini terjadi pada saat kopulasi hingga saat
fertilisasi (Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).
Infundibulum
selain tempat ovulasi juga merupakan tempat terjadinya fertilasi. Setelah
fertilasi, ovum akan mengalami pemasakkan setelah 15 menit di dalam
infundibulum, dan dengan gerak peristaltik ovum yang terdapat pada yolk
akan masuk ke bagian magnum (Nesheim et al., 1979).
Magnum. Magnum merupakan saluran
kelanjutan dari oviduk dan merupakan bagian terpanjang dari oviduk. Batas
antara infundibulum dengan magnum tidak dapat terlihat dari luar (Nalbandov,
1990). Magnum mempunyai panjang sekitar 33 cm dan tempat disekresikan
albumen telur. Proses perkembangan telur dalam magnum sekitar 3 jam (North,
1978).
Albumen
padat yang kaya akan mucin disekresikan oleh sel goblet yang terletak
pada permukaan mukosa magnum dan jumlah albumen yang disekresikan sekitar 40
sampai 50% total albumen telur.
Ithmus. Setelah melewati infundibulum telur
masuk ke dalam Ithmus. Antara ithmus dan magnum terdapat garis pemisah
yang nampak jelas yang disebut garis penghubung ithmus-magnum (Nalbandov,
1990).
Panjang
ithmus sekitar 10 cm dan merupakan tempat terbentuknya membran sel (selaput
kerabang lunak) yang banyak tersusun dari serabut protein, yang berfungsi
melindungi telur dari masuknya mikroorganisme ke dalam telur (North, 1978).
Membran sel yang terbentuk terdiri dari membran sel dalam dan membran sel luar,
di dalam ithmus juga disekresikan air ke dalam albumen. Calon telur di dalam
ithmus selama 1,25 jam (Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).
Dua
lapisan membran sel telur saling berhimpit dan ada bagian yang memisah/melebar
membentuk bagian yang disebut rongga udara (air cell), air cell
akan berkembang mencapi 1,8 cm. Rongga udara bisa digunakan untuk mengetahui
umur telur dan besar telur (North, 1978).
Uterus. Uterus
merupakan bagian oviduk yang melebar dan berdinding kuat. Di dalam uterus telur mendapatkan kerabang keras yang terbentuk dari garam-garam kalsium
(Nalbandov, 1990). Uterus (shell gland) mempunyai panjang sekitar
10 sampai 12 cm dan merupakan tempat perkembangan telur paling lama di dalam
oviduk, yaitu sekitar 18 sampai 20 jam (North, 1978).
Selain
pembentukan kerabang pada uterus juga terjadi penyempurnaan telur dengan
disekresikannya albumen cair, meneral, vitamin dan air melalui dinding
uterus dan secara osmosis masuk ke
dalam membran sel. Pada uterus terjadi penambahan albumen antara 20 sampai 25%
(North, 1978).
Deposisi
kalsium sudah terjadi sebagian kecil di ithmus dan dilanjutkan di uterus.
Deposisi terjadi pada bagian inner shell, lapisan mammillary
(berupa kristal kalsit) yang membetuk lapisan material berongga. Komposisi komplit
dari kerabang telur berupa kalsit (CaCO3), dan sedikit sodium,
potasium dan magnesium (North, 1978).
Formasi
terbentuknya kerabang telur dengan adanya ketersediaan ion kalsium dan ion
carbonat didalam cairan uterus yang akan membentuk kalsium karbonat.
Sumber utama ion karbonat terbentuk karena adanya CO2 dalam darah
hasil metabolisme dari sel yang terdapat pada uterus, dan dengan adanya H2O,
keduanya dirombak oleh enzim carbonic anhydrase (dihasilkan pada sel
mukosa uterus) menjadi ion bikarbonat yang akhirnya menjadi ion karbonat
setelah ion hidrogen terlepas. Beberapa hubungan antara kalsium dalam darah, CO2
dan ion bikarbonat di dalam uterus dalam peristiwa pembentukan kerabang telur
dapat dilihat pada gambar 19. Untuk itu pada ayam petelur perlu diperhatikan
bahwa kebutuhan kalsium terutama harus disediakan pada pakan, karena jika
kekurangan kalsium akan mengambil dari cadangan kalsium pada tulang (Nesheim et
al., 1979).
Gambar 3. Pembentukan kerabang telur dalam uterus (Nesheim et al., 1979)
Pembentukan
kerabang juga diikuti dengan pewarnaan kerabang. Warna dominan dari
kerabang telur adalah putih dan coklat,
yang pewarnaannya tergantung pada genetik setiap individu (North,
1978). Pigmen kerabang (oopirin) dibawa oleh darah (50 –70%) dan
disekresikan saat 5 jam sebelum peneluran. Pembentukan kerabang berakhir dengan
terbentuknya kutikula yang disekresikan sel mukosa uterus berupa material
organik dan juga mukus untuk membentuk lapisan selubung menyelimuti telur yang
akan mempermudah perputaran telur masuk ke vagina. Pada kutikula terdapat
lapisan porus yang berguna untuk sirkulasi air dan udara.
Vagina. Bagian akhir dari oviduk adalah
vagina dengan panjang sekitar 12 cm (North, 1978). Telur masuk ke bagian vagina
setelah pembentukan oleh kelenjar kerabang sempurna (di dalam uterus). Pada
vagina telur hanya dalam waktu singkat dan dilapisi oleh mucus yang
berguna untuk menyumbat pori-pori kerabang sehingga invasi bakteri dapat
dicegah. Kemudian telur dari vagina keluar melalui kloaka (Nalbandov, 1990).
2.2 Sistem
Reprosuksi Ayam
Jantan
Organ
reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis (T), epididimis (Ep),
duktus deferens (D.d.) dan organ kopulasi pada kloaka (Cl), secara
lengkap ditunjukkan oleh Nesheim et al. (1972) pada gambar berikut:
Gambar 4. Organ reproduksi dan urinari pada ayam jantan (Nesheim et al., 1979)
Testis
Testis
berjumlah sepasang terletak pada bagian atas di abdominal kearah punggung pada
bagian anterior akhir dari ginjal dan berwarna kuning terang. Pada unggas
testis tidak seperti hewan lainnya yang terletak di dalam skrotum (Nesheim et
al., 1979). Fungsi testis menghasilkan hormon kelamin jantan disebut
androgen dan sel gamet jantan disebut sperma (Nalbandov,
1990).
Epididimis
Epididimis
berjumlah sepasang dan terletak pada bagian sebelah dorsal testis. Berfungsi
sebagai jalannya cairan sperma ke arah kaudal menuju ductus deferens.
Duktus deferens
Jumlahnya
sepasang, pada ayam jantan muda kelihatan lurus dan pada ayam jantan tua tampak
berkelok-kelok. Letak ke arah kaudal, menyilang ureter dan bermuara pada kloaka
sebelah lateral urodeum.
Organ kopulasi
Pada
unggas duktus deferens berakhir pada suatu lubang papila kecil yang terletak
pada dinding dorsal kloaka. Papila kecil ini merupakan rudimeter dari organ
kopulasi (Nesheim et al., 1972).
2.2 Fertilasi
Fertilisasi
merupakan suatu proses penyatuan atau fusi dari dua sel gamet yang berbeda,
yaitu sel gamet jantan dan betina untuk membentuk satu sel yang disebut zygote.
Secara embriologik fertilisasi merupakan pengaktifan sel ovum oleh sperma dan
secara genetik merupakan pemasukkan faktor-faktor hereditas pejantan ke ovum
(Toelihere, 1985).
Gambar 5. Fertilisasi pada ayam (Nuryati et al., 1998)
Hanya
beberapa lusin sel sperma yang dapat mendekati ovum dan hanya beberapa sperma
yang bisa masuk ke dalam zona pelusida yang akhirnya hanya satu buah sperma
yang bisa membuahi ovum (Nalbandov, 1990). Begitu pula pada unggas, setelah
terjadi perkawinan sperma akan mencapai infundibulum dan akan menembus membran
vitelina ovum untuk bertemu sel benih betina, sehingga terbentuk calon embrio.
Telur yang dibuahi disebut telur fertil dan telur yang tidak dibuahi disebut
telur infertil atau telur konsumsi (Nuryati et al., 1998).
Gambar
22. Perkawinan alami pada ayam (Nuryati et al., 1998)
Pengaruh
Cahaya Terhadap Peneluran
Manajemen
pengaturan cahaya sangat mempengaruhi proses integral dalam produksi telur.
Pengaturan pemberian cahaya dalam manajemen ayam petelur dengan waktu 12 sampai
14 jam dalam satu hari yang terbagi menjadi waktu gelap dan waktu terang,
mengingat ayam mempunyai sifat sangat sensitif terhadap waktu penyinaran. Waktu
penyinaran ini mempengaruhi sifat mengeram, dewasa kelamin, periode bertelur,
produksi telur dan tingkah laku sosial perkawinan (Nesheim et al.,
1979).
Penerimaan
cahaya pada ayam akan mengakibatkan rangsangan terhadap syaraf pada syaraf
optik, yang dilanjutkan oleh syaraf reseptor ke hipothalamus untuk memproduksi hormone
releasing factor (HRS). Hormone releasing factor selanjutnya
merangsang pituitaria pars anterior untuk menghasilkan FSH dan LH. HRS
juga merangsang pituitaria pars posterior untuk menghasilkan oksitosin
(Nesheim et al., 1979).
Pengaruh
Hormon Terhadap Peneluran
FSH
berpengaruh terhadap perkembangan folikel pada ovarium sehingga mempunyai
ukuran yang tertentu. Pada saat perkembangan ovum FSH merangsang ovarium untuk
mensekresikan estrogen yang akan mempengaruhi perkembangan pematangan oviduk
untuk dapat mensekresikan kalsium, protein, lemak, vitamin, dan substansi lain
dari dalam darah untuk pembentukan komponen telur (Nesheim et al.,
1979). Hasil sekresi komponen telur tersebut akan mengakibatkan terjadinya
perkembangan telur pada oviduk, sehingga dihasilkan telur utuh di dalam oviduk
setelah didahului proses ovulasi (Nalbandov, 1990).
Ovum akan
berkembang terus sehingga terjadi pematangan ovum. Proses pematangan ovum
disebabkan adanya LH. Setelah ovum masak maka selaput folikel akan pecah dan
ovum jatuh ke dalam mulut infundibulum (peristiwa ovulasi), proses ovulasi ini
juga disebabkan peranan LH (Nalbandov, 1990).
Proses
pembentukan komponen telur di dalam oviduk berlangsung dengan adanya hormon
estrogen, juga terjadi pembentukan granula albumen oleh stimulasi dari hormon
androgen dan progresteron sampai tercapai telur sempurna (Nalbandov, 1990).
Setelah telur sempurna, maka pituitaria pars posterior akan
mensekresikan oksitosin yang merangsang oviduk sehingga terjadi ovoposition
dan merangsang uterus untuk mengeluarkan telur pada proses peneluran (Nesheim et
al., 1979).
Irama Bertelur
Irama
bertelur merupakan suatu proses yang melibatkan sistem hormon dan sistem syaraf
karena adanya variasi panjang siang dan malam yang mempengaruhi ovulasi dan
peneluran. Lama penyinaran tertentu akan mempengaruhi sistem syaraf sehingga
mengakibatkan pelepasan hormon untuk merangsang terjadinya ovulasi. Ovulasi
merupakan suatu proses yang penting untuk suatu awal produksi telur
(Nesheim et al., 1979).
Siklus
irama bertelur
Ayam
bertelur dengan irama bertelur, yaitu bertelur satu atau lebih pada hari
berurutan dan kemudian diikuti satu hari istirahat. Ayam bisa bertelur lima
butir atau lebih dalam satu irama bertelur atau disebut clutch
(Nalbandov, 1990).
Ovulasi
biasa terjadi pada siang hari, terutama pada jam-jam pagi dan jarang terjadi
setelah jam 15.00. Telur setelah ovulasi , sekitar 3,5 jam berada di magnum
untuk mendapat selubung albumen, 1,25 jam di ithmus dengan terbentuknya membran
kerabang dan 21 jam di uterus untuk terbentuknya kerabang keras. Sehingga
secara total dibutuhkan 25 sampai 26 jam untuk waktu pembentukan telur.
Ovulasi berikut pada satu irama bertelur terjadi 30 sampai 60 menit setelah ovoposition
sebelumnya. Jadi karena waktu ovulasi tidak terjadi secara teratur setiap
siklus 24 jam, maka waktu ovulasi pada hari berikutnya pada clutch yang
sama akan terlambat. Akhirnya akan semakin terlambat sampai mencapai jam 14.00
- 15.00. Bila batas waktu ini tercapai, maka akan terjadi penundaan ovulasi,
sehingga bertelurnya tertunda satu hari atau beberapa hari sebelum irama
bertelur baru dapat dimulai. Ovulasi pada irama bertelur baru terjadi
pada pagi hari (Nalbandov, 1990).
Ada
beberapa tipe clutch, yaitu reguler, ireguler dan kontinyu. Reguler
terjadi apabila jumlah telur dan jumlah hari istirahat dalam satu irama
bertelur mempunyai jumlah yang sama. Ireguler terjadi apabila jumlah telur dan
jumlah hari istirahat dalam satu irama bertelur tidak sama. Kontinyu
terjadi jika terjadi pengulangan jumlah telur dan satu hari istirahat yang sama
pada satu irama peneluran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada keterangan
berikut:
1.
Reguler:
+ + + - - + + + - - + + + dst.
2.
Ireguler:
+ + + + - - + + + - - + + + + + dst.
3.
Kontinyu:
+ + + + + - + + + + + - + + + + + dst.
Keterangan: + telur dan - waktu istirahat.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem reproduksi terdiri atas dua
jenis yaitu, sistem reproduksi betina dan sistem reproduksi jantan. Sistem
reproduksi betina terdiri dari Ovarium, Oviduk, Infidubulum, Magnum, Ithmus, Uterus,
dan Vagina, sedangkan Sistem reproduksi jantan terdiri dari Testis, Epididimis,
Ductus Vas different, dan Organ kopulasi
Terima kasih kak
BalasHapus