Laporan Kegiatan Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar Thelaziasis pada Sapi Bali
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Berbagai
permasalahan yang masih dihadapi oleh peternak di NTT khususnya pulau Timor adalah tingginya kasus beberapa
jenis penyakit antara lain Fasciolosis, Haemonchiosis dan berbagai penyakit
parasitik lainnya. Salah satu jenis penyakit parasitik yang sangat sulit
dikendalikan dan dibasmi oleh masyarakat peternak di provinsi NTT adalah Thelaziasis. Penyakit ini
disebabkan oleh cacing parasit dari golongan nematoda yang menginfeksi mata
ternak. Cacing ini sering dilaporkan menginfeksi ternak sapi, kerbau, kuda,
kambing, burung, kucing dan anjing (Otranto et al. 2004).
Infeksi
oleh cacing Thelazia sering menimbulkan keratitis,
konjungtivitis, lacrimation, epiphora, photophobia dan Cornea Ophacity
(memutihnya kornea mata) (O’hara et al. 1996; Urquhart et al. 1996 and Soulsby,
1986). Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh infeksi cacing Thelazia
menyebabkan hewan stress, napsu makan menurun drastic, malas beraktivitas dan
yang paling parah adalah menyebabkan rusaknya kornea mata akibat terbentuknya
benjolan disertai selaput putih yang menutupi mata (Otranto et al. 2004). Hal
ini sangat merugikan peternak karena ternak sapi bali yang terinfeksi oleh
cacing Thelazia akan mengalami penurunan harga yang sangat drastis.
Sampai
saat ini, peternak yang ada di NTT
masih mengalami kesulitan dalam mengendalikan infeksi penyakit ini. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penyediaan data dan informasi yang
memadai untuk mengetahui dinamika infeksi Thelazia pada ternak sapi Bali.
Sampai saat ini belum ada data dan informasi memadai mengenai persebaran,
jumlah kasus infeksi perperiode waktu, upaya pengobatan, pencegahan dan
penanggulangan yang baik
pada
kasus Thelaziasis.
1.2
Profil
Puskeswan Tarus
Pusat kesehatan Hewan (PUSKESWAN) Tarus terletak di
kecamatan kupang tengah. Puskeswan Tarus berdiri sejak tahun1997 dari dana APBD
II. Puskeswan tarus mempunyai letak yang sangat strategis karena hanya berjarak
13 km dari kota kupang berada di pusat kecamatan yaitu di kelurahan tarus
tepatnya disebelah kantor lurah tarus. Wilayah kerja Puskeswan Tarus
yaitu di Kecamatan Kupang Tengah yang terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 97,79
m2. Struktur organisasi Puskeswan Tarus terdiri dari kepala
Puskeswan, medik veteriner dan paramedik veteriner.
Kegiatan pelayanan puskeswan dilakukan baik pelayanan
aktif, semi aktif dan pasif. Pelayanan aktif dilaksanakan sesuai dengan program
kerja yang telah disusun setiap tahunnya seperti vaksinasi, pemberian obat
cacing dan pembinaan kelompok. Pelayanan semi aktif dilakukan apabila
ada laporan dari peternak kemudian petugas mendatangi lokasi untuk melakukan
penanganan, hal ini dilakukan terhadap unggas, ternak kecil dan ternak besar.
Sedangkan pelayanan pasif yaitu melakukan pelayanan pada puskeswan terutama
menangani konsultasi masalah manajemen pemeliharaan, pengobatan dan kesehatan
hewan, penangan gangguan reproduksi dan pemeriksaan kebuntingan. Jenis ternak
yang biasa dilayani oleh puskeswan meliputi ternak besar (sapi, kerbau, kuda),
ternak kecil (babi, kambing), unggas (ayam), dan hewan kesayangan (anjing).
Secara keseluruhan kecamatan kupang tengah mempunyai
populasi sebanyak 23.211 ekor yang terdiri dari 3.506 ekor sapi, 5 ekor kerbau,
27 ekor kuda, 1701 ekor kambing, 3233 ekor babi, 14298 ekor ayam, 20 ekor itik,
421 ekor bebek yang menyebar di 7 desa dan 1 kelurahan.
1.3
Tujuan
Tujuan pelaksanaan koasistensi penyakit dalam hewan besar ini antara lain :
- Mahasiswa mampu dan terampil melakukan pemeriksaan klinis (physical examination) pada hewan ternak
- Mahasiswa mampu menentukan diagnosa penyakit pada hewan ternak berdasarkan anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain
- Mahasiswa mampu dan terampil melakukan penangangan (pengobatan dan terapi) penyakit yang sesuai berdasarkan diagnose.
BAB II
KASUS PENYAKIT THELAZIASIS
PADA SAPI BALI
2.1 Ambulator
DATA PEMILIK |
DATA
PASIEN |
||
Nama |
Bapak Yunus Haeleke |
Jenis Hewan |
Sapi Bali |
Alamat |
Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah |
Umur |
8 bulan |
No. Telp |
- |
Sex |
Betina |
Dokter Hewan |
- |
Signalement |
- |
Mahasiswa Koas |
- |
Berat Badan |
- |
|
|
Tanggal |
24 Juni 2020 |
ANAMNESIS |
Sapi dipelihara secara semi intensif,
sudah divaksin septicaemia epizootica,
nafsu makan baik, mengalami hiperlakrimasi selama 2 minggu terakhir. |
STATUS
PRAESENS |
|
Keadaan umum |
BCS 3 (Skala 1-5), kondisi umum baik,
nafsu makan dan minum baik, hiperlakrimasi, terdapat kekeruhan pada lensa
mata kanan |
Frekuensi nafas |
20 kali/menit |
Pulsus |
86 kali/menit |
Suhu |
38,7 0C |
Kulit dan rambut |
Rambut halus
dan mengkilat, terdapat banyak lalat hippobosca sp. pada badan, tidak
ditemukan luka/lesi pada permukaan tubuh, turgor kulit <2 detik |
Selaput lender |
Berwarna merah muda pucat dan CRT <
2 detik |
Kelenjar limfe |
Tidak terdapat pembengkakan pada Ln. submandibularis, ukuran simetris. |
Pernafasan |
Tipe thoracoabdominal, ritme teratur,
tidak terdengar suara abnormal pada daerah toraks |
Peredaran darah |
Sistole dan diastole dapat dibedakan
dengan ritme yang jelas dan teratur, aliran vascular lancar ditandai dengan
tidak adanya daerah cyanosis dan pembuluh darah (v. jugularis) dapat terbendung dengan baik |
Pencernaan |
Tidak terlihat adanya vomit dan diare,
terdengar suara peristaltik usus saat diauskultasi, feses padat berwarna
kehijauan |
Kelamin dan perkencingan |
Vulva bersih, urin berwarna kuning
jernih, tidak ditemukan adanya lesi. |
Anggota gerak |
Koordinasi tubuh baik, keempat kaki
simetris, dan tidak ditemukan lesi maupun kecacatan pada alat gerak |
Pemeriksaan Laboratorium |
|
Feses Konsistensi Natif Centrifuge Lain-lain |
Padat - - - |
Urin Warna Protein Sedimen |
Kuning jernih - - |
Hematologi Kadar Hb PCV Prep. Apus Lain-lain |
- - - - |
DIAGNOSIS |
Thelaziasis |
PROGNOSIS |
Fausta |
2.3 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Hematologi
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hematologi
Parameter |
SI Units |
Nilai
normal |
Hasil Pemeriksaan |
Keterangan |
PCV |
% |
24.0-46 |
30 |
Normal |
Hb |
x 10 g/dl |
8.0 – 15 |
14,8 |
Normal |
RBC |
x 106/µl |
5.0 – 10.0 |
9 |
Normal |
MCV |
Fl |
36 – 50 |
42,3 |
Normal |
MCH |
Pg |
14,4
–18,24 |
16,5 |
Normal |
MCHC |
x 10 g/dl |
38 – 43 |
42,08 |
Normal |
Total Leukosit |
x 103/µl |
12.000 |
4000-12.000 |
Normal |
Neutrofil |
x 103/µl |
15-45 |
18 |
Normal |
Limfosit |
x 103/µl |
45-75 |
67 |
Normal |
Monosit |
x 103/µl
|
2-7 |
5 |
Normal |
Eosinofil |
x 103/µl |
0- 20 |
10 |
Normal |
Basofil |
x 103/µl |
0 – 2 |
0 |
Normal |
Ref: George et al., (2010)
b. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses dilakukan secara natif untuk identifikasi parasit gastroentestinal dan dengan menggunakan Mac master untuk menentukan tingkat atau derajat infeksi. Hasil pemeriksaan natif menunjukkan tidak ditemukan adanya telur cacing maupun ookista pada sampel feses yang diambil.
2.4 Diagnosa dan Prognosa
Berdasarkan anamnesa peternak, hasil observasi dan pemeriksaan klinis, maka sapi didiagnosa mengalami thelaziasis dengan prognosa baik. Hal ini dikarenakan infeksi thelazia sp. umumnya bersifat local dan dengan terapi yang baik dapat menimbulkan tingkat kesembuhan yang baik.
2.5 Pengobatan dan Terapi
Pengobatan terhadap kasus thelaziasis dilakukan dengan menggunakan levamisole HCl 0,5 %. Levamisole HCl 0,5 % merupakan obat yang sering digunakan dalam terapi thelaziasis. Levamisole merupakan antiparasitik kelas imidazothiazole yang digunakan untuk mengeliminasi parasite melalui aktivitas toksisitas neuromuscular. Levamisole dapat menyebabkan imunorestoratif efek pada hewan namun mekanisme aksinya tidak diketahui dengan pasti. Beberapa teori menyebabkan bahwa levamisole menyebabkan aktivasi dan stimulasi proliferasi sel T, meningkatkan aktivitas monosit dan menstimulasi makrofag termasuk aktivitas fagositosis dan kemotaksis. Selain itu juga menyebabkan peningkatan mobilitas neutrofil (Papich, 2011). Pemberian levamisole dalam kasus ini dilakukan dengan tetes mata dengan dosis 5 ml per mata.
2.6 Pembahasan
Thelaziasis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh
nematoda. Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili
Muscidae. Larva maupun cacing dewasa Thelazia spp dalam kantung
konjungtiva dan saluran air mata sapi menyebabkan konjungtivitis disertai
lakrimasi yang dapat mengakibatkan kongesti konjugtiva. Bila keadaan ini
dibiarkan dapat menyebabkan kekeruhan kornea, keratitis, ulserasi pada kornea
mata dan konjungtiva membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis
oleh cairan purulen (Otranto dan Traversa 2005).
Kornea mata, kantung
konjungtiva dan membrane nictitans
merupakan
habitat dari T. rhodesii, T. skrjabini, dan T. gulosa.Thelazia sp. memerlukan
induk semang yaitu lalat, Musca sp. Musca autumnalis dan Musca
larvipara adalah host intermedier dari T. rhodeshi (Anderson 2000,
Giangaspero et al., 2004).Tahap pertama dari Thelazia sp. sangat
pendek, hidup di kelenjar air mata, hanya bertahan beberapa jam dan transmisi
tergantung pada kehadiran vektor. Thelazia sp. memiliki kejadian musiman
sesuai dengan musiman host intermedier (Dunn, 1978). Lalat terinfeksi oleh
cacing stadium larva (L1) saat menghisap air mata sapi penderita. Larva (L1)
memasuki usus lalat dan menembus folikel ovarium kemudian berkembang menjadi
larva tahap kedua (L2) yang berukuran panjang 3-4 mm. Larva kemudian ekdisis
menjadi larva tahap ketiga (L3) berukuran panjang 5-7 mm yang merupakan larva
infektif. Larva kemudian meninggalkan folikel ovarium dan bermigrasi kebagian
mulut lalat. Perkembangan dari larva tahap pertama sampai dengan larva tahap
ketiga berlangsung selama 15-20 hari di dalam tubuh lalat. Larva infektif akan
menginfeksi mata sapi ketika lalat makan disekitar mata sapi. Di dalam mata
sapi cacing akan menjadi dewasa dalam waktu 20-25 hari (Soulsby, 1982). Menurut Deepthi dan Yalavhrati (2012) cacing dewasa
umumnya ditemukan di belakang membran nictitans, permukaan konjungtiva, duktus
lakrimal dan nasolakrimal.
Dalam kasus ini, sapi
menunjukkan gejala adanya hiperlakrimasi dan corneal opacity sehingga diduga
kasus ini telah berjalan cukup kronis sehingga telah menyebabkan kerusakan pada
kornea mata sapi. Hal ini
disebabkan karena cacing Thelazia rhodesii memiliki kutikula yang keras dan
bergerigi sehingga menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan
kornea sehingga dapat meningkatkan
produksi
air mata yang berperan penting dalam transmisi cacing ke vektornya dalam hal
ini lalat Musca spp (face flies) yang pakannya adalah sekresi air
mata sapi (Otranto dan Traversa, 2005). Invasi Thelazia pada kelenjar lacrimal dan saluran eskretoris dapat
menyebabkan inflamasi dan eksudasi nekrotik. Selain itu inveksi Thelasia dapat menyebabkan
konjungtivitas ringan sampai parah, blepharitis, menyebabkan ulcerasi,
perforasi dan jika tidak ditangani akan menyebabkan terjadinya fibrosis
(Deepthi dan Yalavhrati, 2012). Supriadi (2015)
juga melaporkan bahwa infeksi Thelaziapada
sapi diketahui menyebabkan konjungtivitis, keratitis, lakrimasi dan kerusakan
organ mata. Pada mata kiri
sapi kasus mengalami corneal opacity
yang merupakan akibat adanya manifestasi Thelazia.
Otranto
et al., (2007) melaporkan bahwa manifestasi klinis yang
ditimbulkan oleh infeksi cacing Thelazia yang paling parah adalah menyebabkan
rusaknya kornea mata akibat terbentuknya benjolan disertai selaput putih yang
menutupi mata.
Hasil observasi dan pengamatan terhadap lingkungan serta
wawancara terhadap peternak menunjukkan bahwa peternak tidak mengetahui sama
sekali penyebab sebagian besar populasi sapi yang dipelihara menunjukkan gejala
hiperlakrimasi dan lama kelamaan mata ternak rusak. Peternak memelihara sapi
menggunakan sistem pemeliharaan semi intensif, sehingga kesulitan dalam
mendeteksi penyakit ini lebih dini. Supriadi (2015) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa prevalensi infeksi yang tinggi ini
mungkin disebabkan karena sistem pemeliharaan ternak semi intensif dan populasi
ternak terlalu padat menyebabkan penularan cacing Thelazia sp. antar ternak sangat mudah. Selain itu, jumlah populasi yang tinggi dapat
meningkatkan peluang infeksi antar individu ternak semakin tinggi.
Pengobatan
dilakukan dengan pemberian antihelminthiasis levamisole 0,5%. Levamisole
0,5 % merupakan obat antihelminth yang digunakan secara tetes ocular dengan
jumlah 5ml/mata/hari. Levamisole tergolong dalam kelas
antelmintik imidazothiazole.Alvarezet al.(2007) menyatakanbahwa aktivitas
antelmintik levamisole dapat
menembus lapisan kutikula cacing nematoda.Obat ini bekerja pada system syaraf cacing dan tidak
bersifat ovicidal. Levamisole bersifat sprektrum luas (broad
sprectrum) dan memilikiefek teratogenic yang kurang (Vercruysse
dan Claerebout, 2014).Mekanisme kerjanya yaitu bersifat agonist pada
reseptor nicotinic acetylcholine dari nematode.
Imidazothiazole yang berikatan pada reseptor nicotinic acetylcholine akan
menyebabkan terjadinya stimulan aktivitas ganglion (cholinomimetics)
pada sel somatik otot nematode sehingga terjadi kontraksi otot yang diikuti
dengan terjadinya penghambatan depolarisasi sehingga nematode menjadi paralisis
(Vercruysse dan Claerebout, 2014).Selain itu, juga diberikan pemberian
vitamin B complex sebanyak 5ml/hari untuk meningkatkan daya tahan tubuh sapi.Sandjaja
dan Atmarita (2009) bahwa vitamin B kompleks merupakan kelompok vitamin B yang
berfungsi sebagai energi bagi tubuh ternak dan memperbaiki stamina tubuh. Pengobatan dilakukan hingga ternak sapi
tidak lagi menunjukkan gejala lakrimasi. Hingga hari terakhir pengobatan, tidak
terlihat adanya pengurangan tingkat kekeruhan pada sapi, hal ini dikarenakan
kerusakan kornea yang disebabkan oleh infeksi cacing Thelazia
bersifat permanen.
Gambar 3. Pemberian Levamisole untuk penanganan kasus Thelaziasis.
Faktor risiko yang secara nyata mempengaruhi kejadian thelaziasis pada ternak sapi adalah manajemen peternakan dan pemberian agen antihelminthik serta eradikasi vector pembawa yaitu lalat musca, sehingga perlu dilakukan pemberian obat antihelmintik secara rutin dan perbaikan pada manajemen peternakan sapi. Selain itu, tingginya prevalensi infeksi cacing Thelazia s.p tersebut mungkin disebabkan karena rendahnya perhatian peternak terhadap kesehatan ternaknya. Hal ini tampak dari banyak ternak yang kurus dan kurang mendapatkan perhatian.
BAB III
KEGIATAN RUTIN
Kegiatan pelayanan Puskeswan Tarus dilakukan baik pelayanan aktif, semi aktif dan pasif. Pelayanan aktif dilaksanakan sesuai dengan program kerja yang telah disusun setiap tahunnya seperti vaksinasi, pemberian obat cacing dan pembinaan kelompok. Pelayanan semi aktif dilakukan apbila ada laporan dari peternak kemudian petugas mendatangi lokasi untuk melakukan penanganan, hal ini dilakukan terhadap unggas, ternak kecil dan ternak besar. Sedangkan pelayanan pasif yaitu melakukan pelayanan pada puskeswan terutama menangani konsultasi masalah manajemen pemeliharaan, pengobatan dan kesehatan hewan, penangan gangguan reproduksi dan pemeriksaan kebuntingan.
Kegiatan yang diikuti selama koasistensi berlangsung adalah pemberian vitamin dan obat cacing, vaksinasi SE pada ternak sapi, pemeriksaan status reproduksi, penanganan kasus penyakit, penanganan kasus distokia pada sapi, penyuntikan hormone reproduksi dan inseminasi buatan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan kasus diatas yaitu thelaziasis merupakan kasus kecacingan pada mata yang bersifat local namun menyebabkan ketidaknyamanan pada ternak dengan gejala utama adalah adanya hiperlakrimasi dan konjungtivitis, serta pada infeksi kronis menyebabkan kerusakan pada kornea yang bersifat permanen. Pengobatan penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian antihelminthik secara per ocular.
4.2
Saran
Saran
yang dapat diberikan berdasarkan kasus di atas adalah :
1. Perlu
dilakukannya program pencegahan penyakit seperti vaksinasi, pemberian vitamin
dan pemberian obat antihelmintik secara rutin
2. Perlu adanya peningkatan dan perbaikan manajemen peternakan demi mencegah terjadinya penyakit pada ternak
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez LI,
Mottier ML, Lanusse
CE. 2007. Drug
transfer into target helminthsparasites. Trends Parasitology 23: 97-104.
Anderson, R.C., 2000. Nematode parasites of vertebrates, their development and transmission, 2 ed. CABI Publishing, UK.
Balam, D., & Yalavarthi, C. 2012. Eye worm infection in a cattle-a case report. Veterinary World, 5(4), 236-237.
Canie, M and B. Bogale. 2014. Thelaziasis: Biology, Species Affected and Pathology (Conjunctivitis): A Review. Acta Parasitologica Globalis 5 (1): 65-68.
Giangaspero, A Otranto, D., Lia, R. P., Buono, V., Traversa, D., 2004. Biology of Thelazia callipaeda (Spirurida, Thelaziidae) eyeworms in naturally infected definitive hosts. Parasitology, 129(5), 627.
Otranto, D., C. Cantacessi, E. Mallia And R.P. Lia. 2007. First Report Of Thelazia Callipaeda (Spirurida, Thelaziidae) In Wolves (Canis Lupus) In Italy. Journal Of Wildlife Diseases, 43(3): 508-511.
Otranto D, Traversa D. 2005. Thelazia Eyeworm : An Original Endo And Ecto Parasitic Nematode. J Trends Parasitol (21): 1-4.
Papich, M. G. 2011. Saunders Handbook Of Veterinary Drugs 3rd Edition. Saunders Elsevier.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods And Protozoa Of Domesticated Animals. Ed Ke-7. Bailliere Tindall. London.
Uga, S., T. Matsumura, K. Fujisawa, K.Okubo, N. Kataoka And K. Kondo.1990. Incidence Of Seropositivity To Human
Sandjaja, & Atmarita. (2009). Kamus Gizi. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Supriadi. 2015. Prevalensi Infeksi Cacing Thelazia Sp. Pada Ternak Sapi Bali Di Kecamatan Tarano Kabupaten Sumbawa. Jurnal Sangkareang Mataram. 1: (3).
0 Response to "Laporan Kegiatan Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar Thelaziasis pada Sapi Bali"
Posting Komentar