C.I.N.T.A.

 

Aku bilang, Cinta itu....

< ------- >

"Berapa kali ku harus katakan cinta?" Inilah kalimat pertama yang baru aku tulis dalam buku harianku. Itulah kalimat pertama yang mengawali seluruh kisahku. Itulah kalimat pertama yang mengawali perjalanan panjangku sekaligus kalimat pembuka pada awal kisah kehancuranku. Namaku...... namaku........ sebenarnya aku malu ada yang mengetahui namaku. Aku malu sebab jika kalian membaca perjalananku ini, kalian pasti akan mengejekku atau menghinaku. Dan tentunya kalian pasti akan mengetahui sikapku yang sebenarnya. Kalimat pada awal buku harianku itu sebenarnya mempunyai arti yang sangat mendalam dan bersambung. Aku seorang siswa SMA kelas XI yang bersekolah di sekolah yang terkenal di suatu Kota. Ukuran tubuhku bisa dibilang pas-pasan saja, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Aku......aku...... menyukai atau lebih tepatnya jatuh cinta kepada seorang cewek yang menurutku sempurna. Aku begitu mengaguminya, apa yang dia lakukan selalu terlihat indah di mataku. Dia cantik dan baik hati kepada setiap orang yang dia temui. Dia selalu menampakkan keceriaannya dan senyumnya begitu indah, manis dan hangat. Sedangkan aku yang menyukainya, tidak ada apa-apanya. Ganteng, pintar, dan baik. menjauhi aku. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Namun, yang pasti bahwa aku menyukainya. Cintaku tulus kepadanya. Aku ingin dia mengetahui perasaaanku ini. Ada satu hal yang menghantui pikiranku, apakah dia juga berperasaan sama? Inilah masalah ku sekarang. Yap, aku harus segera mencari jalan keluarnya dan yang ku tahu, satu-satunya jalan keluar adalah mengungkapkan perasaanku kepadanya. Bagaimana caranya?

"Berapa kali ku harus katakan cinta?". Kubulatkan tekadku untuk menyatakan cintaku kepadanya. Waktu yang tepat menurutku adalah saat pulang sekolah. Ketika itu, aku menunggu di bawah sebuah pohon besar di samping lapangan. Inilah tempat persinggahannya setiap hari sepulang sekolah. Kududuk sendiri, menunggu kehadirannya. Aku melihat begitu padatnya sekolah, sewaktu jam sekolah usai. Perasaanku kacau balau, namun dapat ku tata secara baik sewaktu melihatnya datang ke arahku. Senyuman. Senyuman itulah yang terindah. Ia duduk di sampingku. Aku malu, gugup dan takut. Tekadku gugur seketika bersamaan dengan susunan kata-kataku. Buyar semuanya.

"Lagi tunggu siapa?" Tanya dia. Ah suaranya begitu lembut; menyentuh hati dan pikiranku. Baru pertama kali aku ditegur olehnya. Ia memandangku dengan menampakan senyumnya. Senyumannya itu lagi.

"Lagi tunggu...... seseorang." Kataku terbata-bata. Sambil menundukan kepala. Aku tak berani menatap langsung wajahnya. Aku ingin melihat senyumannya yang indah, tapi aku takut. Tercipta keheningan di antara kami. Jawabanku tadi seakan menjadi tembok pembatas di antara kami. Semuanya berhenti pada kata "seseorang".

"Aku duluan ya... mungkin aku ganggu kamu." Ucapnya sambil beranjak pergi dari tempat persinggahannya itu. Ingin aku mencegahnya namun kata-kataku tertahan. Kata-kata itu hanya ada di hatiku. Aku menyesal kenapa aku tidak menahannya. Seseorang itu adalah dia sendiri: tak ada yang lain. Ku ingin mengungkapkan perasaan ku ini. Tapi, mengapa tidak bisa? Mungkin hal itu akan terjadi pada waktunya. Entah kapan, aku juga tidak mengetahuinya.

Semakin hari perasaanku semakin dalam terhadapnya. Setiap hari melihat dirinya ada sakit yang terasa. Perasaan ini menyiksaku. Namun kadang juga menyenangkan. Walaupun dia belum mengetahui perapsaanku, aku yakin ia pasti akan mengetahuinya juga. Lalu, aku ingin dia selalu tersenyum. Aku tak berharap dia tersenyum kepadaku, tapi melihtanya tersenyum aku bahagia.

< ------- >

"Berapa lama ku harus menunggumu?" Cinta soal waktu, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Aku kembali terduduk, termenung di bangku sudut sekolah. Merefleksikan sejauh mana jalan yang sudah ku tempuh, dan jalan mana selanjutnya. Waktu yang telah berlalu biarlah berlalu. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menunggunya. Menunggu sang pujaan hati siap untuk menerimaku. Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai kapan? Di saat hatiku menjerit, apakah aku tetap menunggu?

Sejenak kupandangi para siswa yang tengah beraktivitas dengan sibuknya, tak memperhatikan teman-teman yang ada di sekitar mereka. Mataku terhenti kepada sosok dirinya yang sedang bercanda ria bersama teman-temannya. Lagi-lagi, senyumannya yang indah. Selalu senyumannya indah di mataku. Ia berdiri sambil menggerakan badanya ke kiri, kekanan, ke kiri lagi, lalu semuanya tertawa. Mereka sedang bercerita. Lalu semuanya tertawa. Aku tak bisa menegurnya atau berbicara kepadanya secara langsung. Ini sudah cukup untuk mengobati hatiku. Dia tersenyum. Damai bagi hatiku. Walaupun hatiku terasa perih, namun aku akan tetap menunggu sampai saat yang tepat. Mungkin hanyalah waktu yang akan mengetahuinya..

< ------- >

"Di setiap malam ini aku tak sedikitpun tak ingat kamu" Hatiku, pikiran jiwa dan ragaku selalu setia mengingat dirinya. Segala rutinitasku yang aku lakukan selalu dibayangi oleh wajahnya dan senyumannya selalu menghiasi sudut-sudut pikiranku. Bayangannya akan senantiasa menjadi bagian dari diriku. Sekolah merupakan tempat yang tepat bagiku untuk melihat wajahnya. Memandang wajahnya sesuka hatiku. Setiap detik hidupku berjalan, selalu teringat padanya. kekasihku datanglah.

Aku terduduk kembali di bawah pohon suatu siang. Dengan sekejap aku kaget. Dia telah berada di sampingku. Aku terlihat begitu salah tingkah.

"Oh, kamu yang waktu ya? Perkenalkan namaku Casandra. Casandra Putri. Salam kenal ya!" katanya membuka percakapan. Ia tersenyum kepadaku. Aku hanya bisa tertunduk dan terdiam. Aku tak bisa memandang wajahnya. Apalagi membalas ucapannya. Aku tak bisa.

"Kamu buat apa di sini? Kamu menunggu seseorang ya?” katanya dengan lembut. Ia tersenyum. Senyumannya. Aku masih terdiam. Gejolak hatiku semakin terasa perih. Tapi, aku rasa inilah waktu yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaanku.

"Ya..... Aku menunggumu," kataku pelan. Pelan sekali. Aku malu. Aku sungguh teramat malu. Hatiku terlanjur mengizinkan mulutku untuk berbicara. Aku tak bisa menahannya lebih lama. Aku terlalu menderita.

"Siapa? Siapa tadi? Mungkin aku kenal. Cih: maaf ya! Baru kenal, aku udah langsung bertanya yang macam-macam. Sorry ya....!" Ucapnya dengan penuh rasa maaf. Rupanya dia tidak mendengarnya, pikirku. Apakah aku harus mengulanginya lagi, supaya lebih jelas. Ya atau tidak?

"Tidak ada. Aku tak menunggu seorangpun." Kataku begitu saja. Ah kenapa? Kenapa aku berbohong? Kenapa aku tidak berkata jujur? Padahal, ini adalah waktu yang tepat. Tapi, kenapa? Apa aku tidak berani? Gejolak hatiku semakin terasa sakit. Hatiku......ingin berbicara, sayang. Dengarkanlah.....

< ------- >

"Namun dirimu masih begitu acuhkan ku tak mau tahu" Sakit! Sakit! Sakit sayang! Sadarkah engkau sayang, aku mencintaimu? Sadarkah engkau sayang, aku mengharapkanmu? Sadarkah engkau sayang, aku menantikanmu? Disaat aku mengingatmu, apakah kamu juga mengingatku? Ya? Tidak? Aku tak tahu sayang! Dengarkanlah sayang.....! Sampai kapan lagi aku harus begini? Mungkinkah engkau telah menutup matamu: menutup hatiku sayang? Aku selalu mencintaimu.

Sekali lagi, aku kembali duduk di bangku ujung sekolah. Dan lagi aku memandang wajahnya yang sedang tersenyum dan sekali lagi, aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadanya. Sekarang ini, aku ingin mengungkapkannya. Aku akan membuang ketakutanku, kerisauanku dan ketidakmampuanku di depannya. Tekadku sudah bulat, aku ingin menembaknya. Aku memandangnya sekali lagi. Aku memandang sekitarnya, ramai! Banyak siswa yang berada bersama pacar-pacarnya. Ini moment yang tepat bagiku. Aku berjalan ke arahnya. Pasti! pasti! aku akan mendapatkannya! Aku memercayai diriku sendiri. Langkah pertama untuk dirinya yang selama ini aku sayangi: lalu langkah kedua untuk diriku yang selama ini mencintainya dengan setia: menyusul langkah ketiga untuk senyumannya yang terindah: dan langkah keempat untuk......... untuk langkah keempat, tak bisa kulanjutkan. Aku terhenti, terpaku, terdiam untuk beberapa saat. Pemandangan dan atmosfirnya terasa sangat lain, lain sekali. Aku berbelok ke arah lain. Aku mulai berjalan, tertunduk malu. Malu yang teramat sangat untuk terakhir kalinya. Malu yang tak bisa lagi tertahan. Aku diam; diam seribu bahasa. Aku hanya tersenyum. Inilah jalanku.

< ------- >

"Luka-luka yang kurasakan, bertubi-tubi yang kau berikan". Aku merasakan luka yang begitu dalam; luka yang tak pernah kurasakan sebelumnya; luka yang tak pernah ingin aku miliki. Diriku sakit....... Sakit yang teramat sakit dan menyiksa. Mungkin inilah balasan yang setimpal bagiku. Aku yang menuggu, menanti, dan mencintainya dengan sabar, tak berhak mendapatkan dirinya. Senyumannya......... Bukan lagi sebagai senyuman damai, tetapi senyuman kehancuran. Senyuman yang merayakan kerapuhanku dan ketidakberdayaanku. Aku tak bisa melihat senyumnya lagi; yang ada hanyalah duka dan derita. Aku rasa, perlu dilengkapkan lagi rasa sakitku ini. dan inilah hal yang terberat yang harus aku dengarkan, alami dan rasakan.

"Cintaku bertepuk sebelah tangan, tapi aku balas senyum keindahan." Senyumku memeluk perih; senyumku memeluk sakit; senyumku memeluk amarah; dan senyumku memeluk penderitaanku. Di saat aku menginginkan keberadaanya; ia menolakku. Di saat aku menginginkan dirinya; ia menginginkan orang lain. Yah, benar! Dia telah berada di pelukan orang lain. Melihatnya saja, aku sungguh tak bisa. Karena memang sangat menyakitkan. Aku tak ingin menangis, aku tak ingin bersedih. Aku hanya ingin tersenyum. Aku ingin tersenyum di depannya. Setelah itu, aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Semuanya sudah jelas dan tak bisa diragukan lagi. Semuanya telah berakhir.

< ------- >

"Bertahan satu cinta....... bertahan satu C.I.N.T.A." Yah itulah yang harus aku lakukan. Memang semuanya telah berakhir. Satu hal yang tak boleh aku lepaskan; lepaskan CINTA. Tuhan sendirilah yang menciptakan yang indah. Cintaku suci kepadanya. Aku tak bisa menghancurkan cinta suciku itu, aku tak bisa membuangnya, dan aku tak bisa melepaskannya. Hanya itulah sekarang yang kupunya; tak ada yang lain. Aku akan tetap menjaganya; aku akan tetap merawatnya;aku akan tetap melindunginya hingga ia kan menjadi indah pada waktunya.

"Casandara....... darimu aku belajar mengenai cinta pemberian Tuhan yang tak ada bandingnya. Terima kasih, dari mu kutemukan cinta suciku. Yang selama ini terpendam, terkubur dalam liang hatiku. Melihatmu tersenyum, aku bahagia. Casandra... Casandra... Casandra... Aku ingin melihat senyumanmu lagi,"

Kata-kata terakhirku sambil tersenyum kepada maut.

"Akh... aku bilang Cinta itu…" Dan…

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "C.I.N.T.A."

Posting Komentar