Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Penyakit dalam Hewan Besar Helminthiasis pada Sapi

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Sapi merupakan salah satu ternak yang banyak dijumpai di Indonesia. Sapi dimanfaatkan masyarakat untuk diambil susu dan dagingnya. Hal ini membuat sapi sangat diperlukan untuk pemenuhan pangan masyarakat, sehingga diperlukannya perhatian khusus untuk perawatan dan pemeliharaannya. Sapi bali memiliki kemampuan reproduksi tinggi dan dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang, akan tetapi sapi bali rentan terhadap penyakit (Sutarno and Setiawan, 2015).

Penyakit yang cukup merugikan pada sapi bali adalah penyakit parasit yang bersifat kronis (Mustika dan Riza, 2004). Keadaan tersebut disebabkan peternak kurang memberikan perhatian terhadap penyakit. Sapi bali rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cacing, baik yang dipelihara secara ekstensif maupun semi intensif (Martojo, 2012). Kerugian utama akibat penyakit parasit adalah kekurusan, terlambatnya pertumbuhan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain dan gangguan metabolisme. Penyakit parasit dapat menyebabkan penurunan produksi ternak secara luas dan sering diabaikan sehingga dapat menyebabkan kerugian pada hewan muda.

Pemeriksaan klinis pada hewan dilakukan berupa pengamatan tingkah laku, pemeriksaan fisik, bertanya kepada pemilik hewan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh hewan yang diperiksa yaitu sejarah hewan sebelum sakit dan keadaan hewan pada saat sakit.

1.2         Gambaran Lokasi/Tempat Pelaksanaan Koasistensi

Pelaksanaan koasistensi dilakukan di Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Kupang Barat. Kecamatan Kupang Tengah meliputi Kelurahan Tarus, Desa Mata Air, Desa Noelbaki, Desa Oebelo, Desa Oelnasi, Desa Oelpuah, Desa Penfui Timur dan Desa Tanah Merah. Sedangkan di kecamatan Taebenu meliputi Oelatsala, Baumata, Baumata Barat, Baumata Utara, Kuaklalo, Bokong, Baumata Timur dan Oeltuah.

 

1.3         Tujuan

Mampu mendiagnosa penyakit hewan besar dengan tindakan medik hewan besar berdasarkan praktik dignostik klinik, diagnostik laboratorium klinik, pengobatan dan terapi pada hewan besar.

 

1.4         Manfaat

Mahasiswa koasistensi dapat mendiagnosa, pengobatan dan terapi secara tepat dan benar pada kasus yang terjadi di hewan besar.

 

BAB II

KASUS PENYAKIT

2.1         Ambulator

Tabel 1. Ambulatori

DATA PEMILIK

DATA PASIEN

Nama

Yeremias Foeh

Nama hewan

 -

Alamat

Tanah Merah, Kupang Tengah

Jenis hewan

sapi

No. Telepon

-

Breed

bali

Dokter hewan

-

 

Jenis kelamin

betina

Umur

9 bulan

Warna rambut

cokelat

Mahasiswa koas

-

Berat badan

-

Ciri khusus

-

Tanggal

6 Juli 2020

Anamnesis

Sapi belum pernah divaksin dan diberi obat cacing, nafsu makan sapi tidak menentu.

Status Praesens

Keadaan umum

BCS 2 (dari skala 1-5)

Frekuensi nafas

36 kali/menit

Pulsus

68 kali/menit

Suhu   

39.2oC

Kulit & rambut

rambut kotor, kusam dan berdiri

Selaput lender

gusi berwarna sedikit merah muda pucat, CRT < 2 detik

Kelenjar limfe

tidak ada pembengkakan, konsistensi kenyal dan dapat digeser

Sistem respirasi

tipe thoracoadominal 

Sistem kardiovaskular

sistol dan diastol dapat dibedakan, tidak ada suara murmur jantung

Sistem digesti

Konsistensi feses cair berwara hijau

Urogenital

tidak ada lesi dan tidak ada pembengkakan pada kelamin

Alat gerak      

posisi berdiri normal, dapat berdiri dan berjalan normal dengan keempat kaki

Pemeriksaan Laboratorium

Feses

positif helminthiasis dengan jenis telur cacing Strongylus

Diagnosis

helminthiasis

Prognosa

fausta

Terapi

R/ Inj. Vitamin B-kompleks 100 ml fls. No. I

     S. i.m.m 5 m

R/ Inj. Levamisole 100 ml fls.No.I

     S. i.m.m 1 ml

2.1         Pembahasan

Infeksi parasit gastrointestinal adalah suatu masalah yang sering dihadapi oleh peternak di seluruh dunia, baik pada peternakan skala kecil maupun besar (Owhoeli dkk., 2014). Helminth atau cacing adalah parasit utama yang terdapat dalam saluran gastrointestinal. Berbagai jenis Trematoda, Cestoda, dan Nematoda berparasit dalam lumen atau di bawah mukosa dinding saluran pencernaan. Infeksi cacing selain pada saluran pencernaan pada tubuh hewan juga dapat ditemukan pada hati, saluran pernafasan, maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya cacing ditemukan pada saluran pencernaan dan hati (Fox dkk., 2012) . Secara umum, dari hasil pemeriksan feses, telur cacing yang sering ditemukan pada ruminansia adalah: Trichuris sp., Nematodirus sp., Strongyloides sp., Toxocara sp., Moniezia sp., Fasciola sp., Paramphistomum sp., dan Strongyle sp.(Gibbons., 2015).


            Gambar 1. Telur cacing yang ditemukan melalui pemeriksaan feses dengan metode centrifuge


Infeksi cacing dari kelas nematoda yang teridentikasi adalah Strongylus sp. Telur cacing dari endoparasit nematoda, ordo Strongylida dengan genus Strongylus spp. Telur genus Strongylus membutuhkan waktu 3 hari untuk menjadi larva infektif dan menginfeksi sapi melalui penetrasi kulit dari larva yang hidup pada rumput di pengembalaan. Cacing dewas Ordo Strongylida memiliki 6 atau 3 bibir atau tanpa bibir, memiliki leaf crown (mahkota duri) dengan siklus reproduksi cacing betina maupun jantan yang berkembang secara sempurna. Cacing betina memiliki uterus dan cacing jantan memiliki bursa dan rays (jari-jari). Ordo Strongylida, memiliki superfamilia dari Strongyloidea, famili Strongyloidae, dan genus strongylus (Widyastuti dkk., 2017).

Siklus hidup nematoda secara umum dimulai dari telur yang berkembang selama 7-14 hari dari telur berkembang menjadi larva fase satu, fase dua, hingga fase tiga yang merupakan larva infektif yang erkembang di lingkungan dengan suhu hangat. Larva yang menginfeksi tubuh ternak dapat melalui ingesti rumput yang membawa larva infektif, larva dapat menginfeksi dengan menembus kulit ternak atau dapat melalui daerah kontaminasi oleh feses yang mengandung telur cacing. Larva yang masuk melalui ingesti bergerak mengarah ke jantung dan pulmo menuju saluran pencernaan hingga menjadi cacing dewasa. Cacing Strongylus sp dapat masuk kedalam tubuh sapi melalui infeksi pada rumput yang umumnya dijadikan pakan sapi. Telur nematoda keluar bersama feses, mengkontaminasi hijauan pakan, air minum serta alas kandang yang tidak bersih (Subekti dkk., 2002).

Penampakan dari sapi yang mengalami infeksi cacing pada peternakan ini ialah rambut kusam dan berdiri, diare, lemah dan kurus. Hal ini sejalan dengan pendapat Hillyer (2004) yang menyatakan bahwa dampak dari infeksi cacing nematoda gastro intestinal sangat besar yaitu produktivitas kerja yang menurun karena dapat menyebabkan kelemahan, kehilangan berat badan, kolik, nafsu makan hilang, diare bahkan kematian. Manifestasi klinis lain berupa anemia, aneurysma, reaksi peradangan, hingga kerusakan pankreas. Perjalanan penyakit pada kasus helminthiasis oleh genus Strongylus ditentukan oleh fase siklus cacing. Larva dan cacing dewasa merupakan fase pathogen karena beredar di aliran darah dan melekat pada dinding pembuluh darah yang menimbulkan gumpalan dan aneurysma pada pembuluh darah. Anemia dan peradangan juga dapat disebabkan oleh cacing dewasa yang mengkaitkan diri menggunakan bukal kapsul cacing dewasa ke dinding usus dan menghisap darah penderita sehingga menimbulkan hyperemia disertai pembengkakan membrane (Studzińska dkk., 2012). 


Gambar 2. Kondisi umum sapi yang mengalami infeksi cacing Strongylus sp.

Faktor lingkungan merupakan salah satu yang faktor menyebabkan terjadinya infeksi parasite. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap adanya infeksi parasit diantaranya seperti pakan, dan manajemen pemeliharaan yang terdiri dari manajemen perkandangan, sistem pemeliharaan dan lokasi pemeliharaan (Amer dkk., 2010). Sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit parasit. Pada pemeliharaan semi intensif, ternak digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Peternak juga memberikan rumput pada sapi yang umumnya diambil pada waktu pagi hari, hal tersebut menurut Kusumamihardja (1992), merupakan waktu larva cacing bereaksi menginfeksi inangnya. Faktor suhu juga mempengaruhi infeksi cacing Strongylus sp. Menurut Levine (1990), iklim tropis yang bersuhu 26°C-30°C merupakan suhu yang relatif baik untuk menetasnya telur Strongylus sp.

Pada peternakan ini, kondisi alas kandang berlumpur karena terbuat dari tanah dan kurang mendapat sinar matahari. Kandang yang berlumpur dan selalu basah sangat ideal untuk pertumbuhan parasit dalam menjalani siklus hidupnya. Timbunan feses dan sisa-sisa pakan yang tidak dibersihkan mempercepat penyebaran telur cacing dari feses yang kemudian akan menetas menjadi larva cacing yang dapat mengkontaminasi pakan yang akhirnya termakan oleh ternak (Campbell, 2008). 

        Gambar 3. Alas kandang yang terbuat dari tanah

Salah satu hal yang dapat ditempuh dalam usaha mengurangi resiko infeksi penyakit parasit adalah dengan cara menerapkan rotasi penggembalaan. Perputaran penggembalaan sangat besar manfaatnya untuk pengendalian terhadap penyebaran infeksi parasit dan menghindari pencemaran telur cacing yang berasal dari hewan terinfeksi di padang penggembalaan. Padang penggembalaan yang tidak digunakan selama 3 bulan berturut-turut, jumlah parasit yang ada akan berkurang secara drastis (Campbell, 2008).

Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah levamisol dengan dosis 1 ml secara IM dan pemberian vitamin B complex dengan dosis 5 ml secara IM. Levamisole tergolong dalam kelas antelmintik imidazothiazole yang dapat diberikan pada sapi, domba, kambing, babi, serta unggas dan digunakan secara luas untuk melumpuhkan cacing nematoda gastrointestinal (Basler, 2008). Alvarez dkk., (2007) menyatakan bahwa aktivitas antelmintik levamisole dapat menembus lapisan kutikula cacing nematoda. Vitamin B-kompleks merupakan grup vitamin yang larut dalam air terdiri dari vitamin B1 (thiamine), B2 (riboflavin), B3 (niacin atau niacin amide), B5 (pantothenic acid), B6 (piridoksin), B7 (biotin), B9 (folic acid), dan B12 (cobalamins). Vitamin ini berperan sebagai kofaktor enzim metabolisme sehingga mampu mempertahankan kesehatan tubuh (Hellmann & Mooney 2010).

Kontrol pada hewan kasus dilakukan 14 hari setelah pemberian terapi. Sapi belum menunjukan perubahan yang baik dikarenakan belum ada perubahan pada pakan maupun manajemen perkandangan serta manajemen pemeliharaan. berdasarkan anamnesa pemiliki sapi sudah tidak mengalami diare dan bulu sapi sudah tidak seperti pada pemeriksaaan pertama dan pemeriksaan fisik sapi normal. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan feses. Pemeriksaan feses kedua yang dilakukan menunjukan hasil positif. Sapi diberikan Vitamin B-kompleks untuk mempertahankan kesehatan tubuh (Hellmann & Mooney 2010).


BAB III

KEGIATAN RUTIN

 

Pusat Kesehatan Hewan yang selanjutnya disingkat Puskeswan adalah Pos Kesehatan Hewan yang memberikan pelayanan di bidang kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri Nomor 690/Kpts/ TN.510/10/1993 dan Nomor 88 Tahun 1993 Tentang Pos Kesehatan Hewan. Puskeswan dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai latar belakang pendidikan dan berijazah dokter hewan. Puskeswan mempunyai tugas untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan hewan di wilayah kerjanya, melakukan konsultasi veteriner dan penyuluhan di bidang kesehatan hewan; dan memberikan surat keterangan dokter hewan. Untuk mendukung tugas puskeswan, maka puskeswan berfungsi dalam pelaksanaan penyehatan hewan; pemberian pelayanan kesehatan masyarakat veteriner; pelaksanaan epidemiologik; pelaksanaan informasi veteriner dan kesiagaan darurat wabah; dan pemberian pelayanan jasa veteriner (Pemerintah Indonesia, 2007).

Puskeswan Kupang Tengah di Tarus merupakan salah satu puskeswan yang berada dalam Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Kupang. Wilayah pelayanan Puskeswan Kupang Tengah yaitu Kecamatan Kupang Tengah yang meliputi 1 kelurahan dan 7 desa serta Kecamatan Taebenu yang bejumlah 8 desa. 

Kegiatan pelayanan di Puskeswan Kupang Tengah dilakukan setiap 5 hari kerja pada pukul 08.00 s/d 16.00 WITA dengan pembagian kelompok pagi dan siang. Pada hari sabtu, pelayanan dilaksanakan pada pukul 08.00 s/d 12.00 WITA.Kegiatan pelayanan dilakukan jika ada informasi dari klien atau jadwal yang sudah disepakati antara klien dengan tenaga medis. Kegiatan pelayanan Puskeswan yang dilakukan di luar Puskeswan, dilaksanakan oleh petugas Puskeswan dengan mengunjungi tempat/lokasi yang memerlukan pelayanan kesehatan hewan.

Kegiatan yang dilakukan selama koasistensi PDHB di Puskeswan Kupang Tengah yaitu pelayanan pemeriksaan dan pengobatan hewan sakit,kegiatan vaksinasi, pemeriksaan reproduksi sapi betina serta metode pelaksanaan IB. Pemeriksaan reproduksi sapi betina dilakukan dengan metode palpasi perrektal guna menyukseskan program pemerintahan yaitu Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting.


BAB IV

PENUTUP 

4.1         Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses sapi pada UPT Kota Kupang, sapi dinyatakan positif terinfeksi cacing Strongylus sp. Gejala klinis yang ditunjukan dari infeksi cacing ini adalah produktivitas kerja yang menurun yang disebabkan oleh kelemahan, kehilangan berat badan, kolik, nafsu makan hilang, diare bahkan kematian. Penyebab sapi terinfeksi bisa dari beberapa faktor salah satunya ialah lingkungan yang mencakup pakan dan manajemen perkandangan.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Alvarez LI, Mottier ML, Lanusse CE. 2007. Drug transfer into target helminths parasites. Trends Parasitology 23: 97-104.

Amer MM, Awaad MHH, Rabab M, Khateeb El, Nadia MTN, Elezz A, Sherein A, Said, MM, Ghetas, Kutkat MA. 2010. Isolation and Identification of Eimeria from Field Coccidiosis in Chickens. J Am Sci 10: 1107-1114.

Basler AJ. 2008. Arzneimittelresistente Nematoden bei Rindern. Dissertation, Aus dem Institut für Vergleichende Tropenmedizin und Parasitologie der Ludwig Maximilians-Universität München.

Campbell WC. 2008. History of the discovery of sulfaquinoxaline as a coccidiostat. J Parasitol 94(4): 934– 945.

Fox NJ, Marion G, Davidson RS, White PCL, Hutchings. 2012. Livestock Helminth in a Changing Climate: Approach and Restriction to Meaningful Predictions. Animals. 2: 93- 107; doi: 10.3390/ani2010093. 10.

Gibbons LM, Jacobs DE, Fox MT, Hansen J. 2015. The RPV/FAO Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology faecal Examination of Farm animals for Helminth Parasites.

Hellmann H, Mooney S. 2010. Vitamin B6: A Molecule for Human Health? Molecules. 15:442- 459.

Hillyer, M. 2004. A Practical Approach to Diarrhoea in The Adult Horse. in Practice, 26(1).

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Peliharaan di Indonesia. Bogor:Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Levine, Norman D. 1990. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Martojo H. 2012. Indigenous Bali Cattle is Most Suitable for Sustainable Small Farming in Indonesia. Reproduction in Domestic Animal 47(1): 10–14.

Mustika Ika Z, Riza A. 2004. Peluang Pemanfaatan Jamur Nematofagus untuk Mengendalikan Nematoda Parasit pada Tanaman dan Ternak. J Litbang Pertanian 23(4): 115.

Owhoeli O, Elele K, Gboeloh B. 2014. Prevalence of Gastrointestinal in Exotix and Indigenous Goats Slaughtered in Selected Abattoir in Port Harcourt, South-South, Nigeria. Chinese Journal Biology. Vol. 2014, Article ID 435913, 8 pages.

Subekti, S. Koesdarto, S., Sri, M., Halimah, P., Kusnoto. 2002. Diktat kuliah Helmintologi Veteriner. Departemen pendidikan Nasional. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga Surabaya.

Sutarno, Setyawan AD. 2015. Genetic Diversity of Local and Exotic Cattle and heir cross breeding impact On The Quality Of Indonesian cattle. Biodiversitas 16(2): 327

Studzińska, M.B., Tomczuk, K., Demkowska, M., Szczepaniak, K.A. 2012. The Strongylidae Belonging to Strongylus Genus in Horses From Southeastern Poland. Parasitol. Res., 111(4), 1417-1421.

Widyastuti, S.K., Satria, Y.P., Ida, A.P.A. 2017. Identifikasi dan Prevalensi Nematoda Saluran Pencernaan Kuda Lokal (Equss caballus) di Kecamatan Moyo Hilir Sumbawa. Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus.

 

 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Penyakit dalam Hewan Besar Helminthiasis pada Sapi"

Posting Komentar