Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar Ringworm pada Sapi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan potensi lahan kering dan padang penggembalaan untuk peternakan yang sangat luas. Selain bertani, sebagian besar masyarakat NTT memilih beternak sebagai salah satu sumber pendapatan untuk meningkatkan perekonomian. Jenis ternak besar yang mendominasi di wilayah NTT adalah ternak sapi. Besarnya jumlah populasi sapi, membuat NTT disebut sebagai daerah pemasok sapi potong di Indonesia.
Sapi merupakan salah satu hewan besar yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi adalah manajemen pemeliharaan, manajemen pakan, serta manajemen kesehatan. Aspek kesehatan menjadi hal penting yang harus diperhatikan, agar ternak terhindar dari berbagai penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan menurunnya jumlah populasi. Oleh karena itu, peran dokter hewan sangat diperlukan dalam menjamin kesehatan ternak.
Seorang dokter hewan diharapkan mempunyai ilmu dan keterampilan yang kompeten dalam menangani berbagai penyakit pada semua jenis hewan. Karena itu, sebagai seorang calon dokter hewan, harus mampu melakukan teknik pemeriksaan dan diagnosa secara benar dan tepat untuk mengurangi tingkat kematian pada sapi akibat adanyat infeksi agen penyakit. Selain itu masyarakat juga perlu diberi edukasi bagaimana cara memelihara ternak secara benar sehingga dapat mencegah ternak terhindar dari penyakit tersebut. Untuk itu laporan kasus ini dibuat sebagai informasi dan bahan pembelajaran bersama tentang deskripsi penyakit, teknik pemeriksaan, diganosa serta teknik pengobatan dan penanganan yang dapat dilakukan.
1.2. Gambaran
Lokasi Pelaksanaan Koasistensi PDHB
Pelaksanaan koasistensi dilakukan di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Tarus, kecamatan Kupang Tengah. Puskeswan Tarus berdiri sejak tahun 1997 dari dana APBD II. Puskeswan Tarus memiliki wilayah kerja yaitu di Kecamatan Kupang Tengah yang terdiri dari 8 desa. Struktur organisasi Puskeswan Tarus terdiri dari kepala Puskeswan, medik veteriner dan paramedik veteriner. Kegiatan pelayanan puskeswan dilakukan dalam bentuk pelayanan aktif, semi aktif dan pasif. Pelayanan aktif dilaksanakan sesuai dengan program kerja yang telah disusun setiap tahunnya seperti vaksinasi, pemberian obat cacing dan pembinaan kelompok. Pelayanan semi aktif dilakukan apabila ada laporan dari peternak kemudian petugas mendatangi lokasi untuk melakukan penanganan. Sedangkan pelayanan pasif yaitu melakukan pelayanan pada puskeswan terutama menangani konsultasi masalah manajemen pemeliharaan, pengobatan dan kesehatan hewan, penangan gangguan reproduksi dan pemeriksaan kebuntingan. Jenis ternak yang biasa dilayani oleh puskeswan meliputi ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing), unggas (ayam), dan hewan kesayangan (anjing).
1.3 Tujuan
Tujuan pelaksanaan koasistensi penyakit dalam hewan besar ini antara lain :
- Mahasiswa mampu dan terampil melakukan pemeriksaan klinis (physical examination) pada hewan ternak
- Mahasiswa mampu menentukan diagnosa penyakit pada hewan ternak berdasarkan anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain.
- Mahasiswa mampu dan terampil melakukan penangangan (pengobatan dan terapi) penyakit yang sesuai berdasarkan diagnose.
BAB II
KASUS PENYAKIT
2.1 Ambulator
Tabel
1. Ambulatori
DATA
PEMILIK |
DATA PASIEN |
||
Nama |
Mikael Huma’u |
Jenis
hewan |
Sapi |
Alamat
|
Desa
Taebenu, Baumata Utara |
Ras |
Bos sondaicus |
No.
Telepon |
- |
Umur |
1
tahun |
Dokter
hewan |
- | Sex |
betina |
Mahasiswa
koas |
- | Berat
badan |
60
kg |
Tanggal
|
05
Juli 2020 |
||
Anamnesis
|
Lesi terlihat oleh
peternak ± 3
bulan terakhir dari tanggal pemeriksaan.
Sapi memiliki
nafsu makan yang
baik dan tetap aktif. Sapi sudah divaksinasi dan diberi obat cacing,
Sapi dipelihara
secara semi intensif
dengan jumlah populasi sebanyak 18 ekor.
Sapi yang menunjukan gejala hanya satu
ekor. |
||
StatusPraesens |
|||
Keadaan
umum |
BCS
3 (dari poin 5) |
||
Frekuensi
nafas |
32
kali/ menit |
||
Pulsus |
68
kali/ menit |
||
Suhu |
39oC |
||
Kulit
dan rambut |
Terdapat
lesi berwarna putih keabuan berbentuk bulat
pada bagian leher, thorax, dan abdoment, alopesia pada
bagian lesi dan
hyperkeratosis
pada pinggir lesi. |
||
Selaput
Lendir |
gusi
berwarna merah muda dan CRT < 2 detik |
||
Kelenjar
Limfe |
tidak ada kebengkakan, dapat digeser, kenyal dan simetris |
||
Sistem
Respirasi |
tipe
respirasi thorachoabdominal |
||
Sistem
Kardiovaskuler |
sistole-diastole normal (tidak terdengar murmur jantung) |
||
Sistem
Pencernaan |
suara peristaltik usustidak terdengar jelas, feses padat
berwarna kehijauan |
||
Alat
kelamin dan Perkencingan |
vulva
bersih, urin berwarna kuning jernih, tidak ditemukan adanya lesi |
||
Anggota
gerak |
Koordinasi
tubuh baik, keempat kaki simetris, dan tidak ditemukan lesi maupun kecacatan
pada alat gerak |
||
Pemeriksaan Laboratorium |
|||
a. Feses Konsistensi Natif Centrifuge Lain-lain |
- - - - |
||
b. Urin Warna Protein Sedimen |
- - - |
||
c. Hematologi Kadar Hb PCV Preapus Lain-lain |
- - - - |
||
Diagnosis |
Ringworm |
||
Prognosa |
Fausta |
||
Terapi |
R/ Ketoconazole 2% cream II S. s.d.d. u.e. R/
Inj. B.com 100 ml fls. No. I
|
2.1 Gejala Klinis
Pada sapi ditemukan adanya lesi berwarna putih keabuan dan berbentuk bulat pada bagian leher, thorax, serta abdoment, alopesia pada bagian lesi dan hyperkeratosis pada pinggir lesi.
Gambar 1. Lesi pada
daerah leher dan thoraks
sapi.
2.2 Diagnosa dan Prognosa
Berdasarkan hasil anamesa, hasil observasi dan pemeriksaan klinis sapi didiagnosa mengalami penyakit Bovine Ringworm dengan prognosa fausta.
2.3 Pengobatan dan Terapi
Pada kasus ini pengobatan dilakukan dengan mengolesi Ketoconazole Cream 2 % dua kali sehari selama 14 hari dan diberi terapi suportif berupa penyuntikan Vitamin B-kompleks secara intra muskular (IM). Sebelum melakukan pengolesan ketoconazole, lesi terlebih dahulu disikat menggunakan cairan deterjen untuk menghilangkan kerak pada lesi.
2.4 Pembahasan
Ringworm atau dermatofitosis merupakan penyakit infeksi kutaneus superfisial yang dapat menyerang lapisan berkeratin seperti stratum korneum kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini disebabkan oleh jamur dermatofita dan mampu menginfeksi berbagai jenis hewan termasuk sapi. Terdapat tiga genus jamur dermatofita yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Putriningsih et al, 2016). Namun yang dapat menginfeksi hewan adalah genus Trichophyton dan Microsporum. Pada sapi, jenis dermatofit yang dapat menginfeksi adalah Trichopyton verrucosum dan Trichopyton mentagrophytes (Gracia dan Blanco, 2000).
Penyakit ringworm dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis spesifik, pemeriksaan mikroskopis secara langsung dan menggunakan cahaya wood (wood lamp), serta isolasi dan kultur jamur (Gholib dan Rachmawati, 2010). Dalam kasus ini, dioagnosa hanya didasarkapan pada gejala klinis tanpa adanya pemeriksaan laboraturium. Setelah dilakukan pemeriksaan secara klinis ditemukan gejala klinis berupa adanya adanya lesi berwarna putih keabuan dan berbentuk bulat pada bagian leher, thorax, serta abdoment, terdapat alopesia pada bagian lesi dan hyperkeratosis pada pinggir lesi. Menurut Putriningsih et al. (2016) Sapi didiagnosis terinfeks ringworm apabila menunjukkan gejala klinis berupa adanya lesi berwarna putih keabuan atau kehitaman berbentuk bulat disertai adanya krusta, scale, hiperkeratosis, dan alopesia dengan berbagai ukuran. Lesi tersebut pada umumnya terjadi pada daerah wajah, leher, dada, kaki, dan tubuh (Sharma et al., 2010). Gejala klinis spesifik pada kasus ringworm adalalah adanya lesi berbentuk bulat seperti cincin. Hal tersebut disebabkan karena dermatofita menyebar ke pinggir lesi secara sentrifugal untuk menghindari inflamasi sehingga bentuk lesi akan tampak bulat seperti cincin. Oleh karena itu disebut dengan ringworm (Menelaos, 2006).
Pada kebanyakan kasus, setiap sapi tidak memperlihatkan semua bentuk lesi tersebut, namun ada yang hanya memperlihatkan satu atau dua bentuk lesi saja. Pada kasus ini pada lesi terjadi alopesia dan hiperkeratosis. Alopesia merupakan suatu kondisi hilangnya rambut secara parsial atau secara keseluruhan pada bagian tubuh. Alopesia pada ringworm disebabkan oleh adanya inflamasi pada folikel rambut yang dapat mengakibatkan rusaknya batang rambut dan kerontokan rambut (Scott et al., 2001). Sedangkan hiperkeratosis merupakan suatu gangguan kornifikasi stratum korneum. Hiperkeratosis dicirikan dengan adanya peningkatan ketebalan stratum korneum. Pada dermatofitosis, hiperkeratosis dapat terjadi karena adanya inflamasi (Hargis dan Ginn, 2007).
Ringworm adalah peyakit kulit menular yang bersifat zoonosis. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara kontak langsung dengan lesi pada tubuh hewan, yaitu kontak dengan kulit atau bulu yang terkontaminasi ringworm maupun secara tidak langsung melalui spora dalam lingkungan tempat tinggal hewan. Untuk menimbulkan lesi pada host dermatofita harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta mampu menembus jaringan dan mampu bertahan hidup. Untuk bertahan hidup dermatofita harus mampu mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Fase penting dalam infeksi dermatofita adalah terikatnya dermatofita dengan jaringan keratin yang merupakan sumber nutrisinya (Wibisono dan Putriningsih, 2017). Dermatofita bertunas dan menyerang pangkal dari rambut, sehingga terjadi kerusakan rambut akibat adanya inflamasi dan akhirnya terjadi kebotakan (alopecia). Pada lapisan permukaan kulit, terutama stratum corneum, akan terjadi eksudat dan keluar merembas dari kulit yang rusak dan bercampur dengan sisa-sisa dari kulit dan rambut membentuk lapisan kerak berwarna putih keabuan yang tampak menonjol disekitar kulit (Michael dan Mark, 2002).
Ringworm umumnya bersifat sembuh sendiri (self limitting desease), akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Namun, karena sifatnya yang mudah menyebar dan bersifat zoonosis maka sangat dianjurkan untuk diberikan terapi (Bond, 2010). Pada kasus ini, dilakukan pengobatan dengan mengolesi Ketoconazole Cream 2 % dua kali sehari selama 14 hari dan di beri terapi suportif berupa penyuntikan Vitamin B-kompleks secara intra muskular (IM). Sebelum melakukan pengolesan ketoconazole, lesi terlebih dahulu disikat menggunakan cairan deterjen untuk menghilangkan kerak pada lesi. Ketoconazole cream 2% merupakan obat antifungal dari golongan azole (imidazole) yang memiliki efek antijamur dengan spektrum luas dan efektivitas yang tinggi. Ketoconazole memiliki mekanisme kerja dengan menghambat sintesis ergosterol yang mrupakan unsur pokok yang spesifik pada membran sel jamur (Wientarsih et al., 2012). Sedangkan pemberian Vitamin B-kompleks diberikan pada sapi sebagai terapi supportif untuk menstimulasi atau meningkatakan nafsu makan, sumber energi dan meningkatakan daya tahan tubuh sapi saat terinfeksi agen penyakit (Wibisono dan Putriningsih, 2017).
Pengobatan terhadap sapi yang menunjukkan lesi klinis ringworm adalah salah satu cara mencegah penularan dan penyebaran ke sapi lain dan lingkungan. Hal ini perlu dilakukan karena lesi yang ditimbulkan oleh jamur tidak dapat menyebabkan kematian, namun dapat memasukkan agen penyakit lain pada hewan. Selain itu, ringworm pada sapi menyebabkan penurunan produktivitas dan kerugian ekonomi yang tinggi akibat kerusakan kulit sehingga menyebabkan nilai jual sapi menrun. Menurut Gholib dan Rachmawati (2010) ringworm pada sapi sering terjadi pada musim hujan dan pada peralihan musim kemarau ke awal musim hujan karena jamur mudah tumbuh pada kondisi lembap atau basah sehingga sangat perlu bagi peternak untuk meningkatkan sanitasi kandang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam kasus ini sapi didiagnosa mengalami penyakit Ringworm atau
dermatofitosis yang didasarkan pada gejala klinis spesifik yaitu adanya lesi berwarna putih keabuan dan
berbentuk bulat pada
bagian leher, thorax, serta abdoment,
alopesia pada bagian lesi dan hyperkeratosis
pada pinggir lesi. Ringworm merupakan penyakit infeksi kutaneus
superfisial yang
dapat menyerang lapisan
berkeratin seperti stratum korneum kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.
3.2 Saran
1. Sapi yang mengalami ringworm harus dipisahkan pada kandang yang berbeda agar
tidak
menular pada sapi yang sehat.
2. Kandang harus selalu dibersihkan menggunakan desinfektan.
DAFTAR PUSTAKA
Basis Veterinary Disease. 4th ed. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier. Hlm. 1107 1262. Menelaos LA. 2006. Dermatophytosis in dog and cat. Buletin USAMV-CN 63: 304-308
Bond R. 2010. Superficial
veterinary mycoses.
Clinics in Dermatology 28: 226-236
Garcia ME, Blanco JL. 2000. Principales enfermedades fu´ngicas que afectan a los animals
dome´sticos. Revista Iberoamericana Micologia
17: S2-S7.
Gholib D, Rachmawati S. 2010. Kapang Dermatofit
Trichophyton verrucosum Penyebab Penyakit
Ringworm pada Sapi. WARTAZOA,
20(01): 43-53.
Hargis AM, Ginn PE. 2007. The Integument. Dalam McGavin MD, Zachary JF. Pathologic
Michael S, Mark W. 2002. Ringworm Vaccine. United States Patent 6428789.
http://www. freepatentsonline. com/6428789.html.
Putriningsih PAS,
Widyastuti SK,
Arjentinia
IPGY, Batan IW. 2016.
Identifikasi
dan Prevalensi
Kejadian Ringworm pada
Sapi Bali. Jurnal Veteriner, 17(01): 126-132.
Scott DW, Miller WH, Griffin CE. 2001. Muller & Kirk’s Small Animal Dermatology. 6th
ed. Philadelphia:
WB Saunders. Hlm. 336-422.
Wibisono HW, Putriningsih PAS. 2017. Studi Kasus : Dermatofitosis pada Anjing Lokal. Indonesia Medicus Veterinus,
6(2):
130-137.
Wientarsih
L, Noviyanti L, Prasetyo BF, Madyastuti
R. 2012. Penggunaan Obat Untuk Hewan-Hewan
Kecil. Techno
Medica Press: Bogor.
0 Response to "Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Penyakit Dalam Hewan Besar Ringworm pada Sapi"
Posting Komentar