THE INVISIBLE WINGS


Saat eksistensiku pertama kalinya, aku disambut dengan sepasang roman wajah yang tersenyum berurai air mata. Semuanya terasa sangat baru. Aku heran, aneh, bingung, dan curious, siapakah mereka? Rasanya kehadiranku menjadi sebuah jawaban atas apa yang telah mereka percayai, harapan telah menjadi nyata. Ronanya jelas mengukir sebuah makna yang mendalam, makna syukur atas kemustahilan yang diwujudnyatakan. Namun, apa reaksiku? Suara murniku yang tak terdengar bagus menggema dengan lantang. Kelihatan jelas bahwa aku tak membalas dengan senyuman melainkan dengan teriakan yang tak jelas. Aku menangis. Rupanya sepasang wajah itu tetap saja tersenyum berurai air mata. Sekali lagi aku heran, aneh. Keduanya menciumku dengan lembut, tak pernah kubayangkan akan mendapat ciuman hangat; ciuman lembut. Yah, ciuman cinta hangat nan lembut. Semakin lama, kulihat air mata mereka mulai bercucuran semakin deras. Sedihkah mereka? Apa aku membuat mereka bersedih? Senangkah mereka? Tetapi, kapan aku membuat mereka bahagia? Tidak pernah sedikitpun. Selebihnya aku tak mengerti. Keduanya pun saling berpandangan penuh arti. Berangsur-angsur, suaraku mulai menghilang sedikit demi sedikit seraya sepasang tangan lembut membelaiku. Kembali sepasang tangannya juga mendekapku. Bagai sayap-sayap indah. Hangat. Aku merasa nyaman. Aku tertidur damai. Inilah sayap-sayapku.
Kasih sayang membuatku mulai bertumbuh. Aku mulai tertawa, tersenyum manis, dan belajar berjalan. Dua kata yang senantiasa terucap singkat tak jelas, mama dan bapa. Keduanya mulai membimbing dan mengajarkan semua hal yang perlu kuketahui. Aku belajar bagaimana menghargai apa yang telah aku dapatkan; bersyukur atas apa yang telah aku alami. Apapun itu mereka selalu mengajarkan aku tentang bagaimana mengapresiasi sesuatu secara bertanggung jawab. Sepasang sayap itulah yang senantiasa setia menemaniku terbang menelusuri setiap hamparan hidup. Aku benar-benar merasa beruntung bahwa aku berada dalam dekapan sayap-sayap yang begitu sabar menghangatiku. Aku terbang dengan sepasang sayap yang lengkap; sempurna.
Beberapa waktu berselang, ketika aku berpandangan bahwa semuanya akan berjalan dengan indah, seseorang yang kerapkali kupanggil mama, pergi. Beliau pergi menyisakan sejumlah tanya yang begitu besar. Aku tahu beliau pergi namun aku masih bingung mengapa. Aku sadar sepasang sayap itu telah berkurang, tak sempurna. Apa aku masih bisa terbang? Bisa. Mungkin dengan tertatih. Aku masih mempunyai sebuah sayap yang akan selalu berusaha sebisa mungkin membuatku terbang sempurna. Sebuah sayap yang berusaha menghangatiku dengan sempurna pula. Awalnya aku masih belum bisa menerima bahwa sayapku kini telah berkurang. Aku masih saja beranggapan bahwa aku terbang dengan dua sayap lengkap, dua sayap yang selalu membimbing kemanapun aku pergi. Tetapi terasa sangat aneh. Aku menerimanya dengan penuh kesabaran. Aku ingat. Aku ingat bagaimana cara menghargai segala hal yang telah aku alami. Itulah ajaran sepasang sayap kepadaku.
Kini, aku mulai menjaga sebuah sayap yang masih bisa membawa ku terbang jauh. Walaupun dengan tertatih-tatih, aku masih bisa tetap terbang; aku masih tetap hangat. Aku percaya bahwa entah apa yang akan terjadi, sayap itu pasti akan berusaha mengatasinya. Aku mulai bertumbuh besar dan terbiasa dengan setiap situasi yang aku hadapi. Aku bisa berpikir sedikit bijak dalam setiap hentakan hidup yang kuhadapi. Pelan-pelan aku mulai belajar melihat realitas yang terpampang jelas. Sulit. Rumit. Sekali lagi sayapku setia membimbingku dalam menentukan arah yang akan kupilih. Intinya, aku masih bergantung pada satu-satunya sayap yang kupunya itu.
Seberapa matangnya alur hidup yang telah kurencanakan, tetap aku tak bergeming barang sedetikpun kepada Sang Matahari. Dia merencanakan sesuatu di luar kemampuanku. Realitas berkata bahwa akupun harus benar-benar sendiri dan mandiri. Puncaknya, aku juga kehilangan seseorang yang kerapkali menemaniku; yang kerapkali kuandalkan; yang kerapkali berusaha membawaku terbang tertatih-tatih. Bapa. Inikah aku? Beruntungkah aku Mama? Bapa? Semula ku berpikir bahwa sepasang sayap indah itulah yang akan melihatku memegang masa depanku. Perasaanku tetap saja aneh, bingung, tak tahu apapun. Bagaimana aku akan terbang? Apa yang harus kulakukan? Saat ku memiliki sepasang sayap, aku bebas terbang sempurna kemanapun kumau; saat ku kehilangan salah satunya, aku masih bisa terbang walau tertatih; sekarang bagaimana aku akan terbang saat tak memiliki barang satu sayap pun? Tuhan, bantu aku. Berikanku kembali sepasang sayapku. Aku sangat butuh mereka. Berkali-kali aku memohon, tetap saja tak kembali. Hilang ditelan bumi. Aku sendiri dan tetap sendiri tanpa mereka.
Banyak jalan menuju Roma. Pepatah kuno ini benar-benar nyata. Pertama, dulu aku berpikir bahwa aku memiliki sepasang sayap yang akan selamanya membawaku terbang. Kedua, saat aku kehilangan salah satunya, aku masih berpikir bahwa aku tetap terbang sempurna walaupun tertatih-tatih. Ketiga, sekarang aku tak lagi memiliki sayap untuk terbang. Sekarang yang kupunya hanyalah diriku sendiri. Bagaimana menuju Roma masa depanku? Bisa? Yah, aku bisa. Aku masih mempunyai sepasang kaki yang dapat membuatku berjalan. Itu jelas sangat mandiri. Aku akan berjalan menuju Roma hanya dengan kakiku. Tuhan, sekali lagi bantu aku. Mungkin inilah rencana Sang Matahari; The Creator of all. Aku menerimanya. Aku terima.
Aku bingung sekarang Ya Tuhan. Aku telah menempuh pendidikan di sebuah Universitas. Negeri tempatku menetap. Tak terlintas untuk melanjutkan pendidikanku di sana. Sebenarnya aku berniat untuk tidak menjadi seorang mahasiswa. Cukuplah aku mencari sebuah pekerjaan yang cocok untuk menyambung hidupku. Aku akan mencoba peruntunganku di sana. Masih terlintas jelas sepasang sayap itu dalam benakku. Andaikan mereka tetap ada bersamaku, pasti aku tidak seperti ini. Tetapi akan aku coba untuk melaluinya. Aku ingat, bersyukurlah atas apa yang telah terjadi. Kata-kata inspirasiku. Aku diterima di sebuah fakultas yang membutuhkan finansial yang sangat besar. Fakultas Kedokteran Hewan. Aku bingung bagaimana untuk memenuhi kebutuhan itu. Aku meminta bantuan Tuhan melalui tangan-tangan dermawan untuk bisa menyelesaikan kebutuhan awal perkuliahanku. Di samping itu aku mulai berusaha mencari tambahan finansial sebagai pemenuhan atas kebutuhanku itu. Di tengah-tengah usahaku, kembali terlintas sepasang sayap itu. Aku berurai air mata. Tak mampu kubendung cairan bening di mataku. Aku senantiasa berdoa kepada Sang Matahari. Kuberbisik lirih, bapa mama bantulah aku. Ingin aku menyerah dengan keadaan-keadaan yang memaksaku untuk berpikir bijaksana. Aku lelah. Aku tidak sanggup.
Saat semuanya sudah sampai pada ambang batasanku, aku merasa bahwa ada sepasang sayap yang tetap menemaniku selama ini. Ada sepasang The Invisible Wings. Tak terlihat oleh mata tetapi terasa begitu nyata di hati. Aku baru sadar ternyata sepasang sayapku itu senantiasa bekerja melalui tangan-tangan dermawan pihak Universitas. Aku dipanggil oleh atasan fakultasku untuk bertemu dengan beliau. Beliau mengatakan bahwa aku mendapat bantuan dari pihak Universitas; aku mendapat bantuan Bidik Misi. Tuhan  terima kasih atas berkat-Mu yang tak terhitung banyaknya. Terima kasih atas sepasang sayap yang pernah Engkau titipkan padaku. Aku bersyukur Tuhan bahwa ternyata Engkau memiliki rencana yang begitu indah; bahwa Engkau mengambil kembali sepasang sayap itu tetapi masih menghadirkan kembali The Invisible Wings melalui tangan dermawan Ya Tuhan. Tak mampu kusentuh secara nyata tetapi mampu kurasakan lewat hati dan mampu kualami dalam tindakan nyata. Sepasang sayapku itu masih tetap ada dan akan terus ada sekalipun tak terlihat oleh indera, tetapi mampu kurasakan hadirnya mereka. The Invisible Wings, sepasang sayap yang semu. Terima kasih Tuhan.
Sekali lagi aku ingat dan akan terus mengingatnya, "bersyukurlah atas apa yang telah terjadi dalam hidupmu, nak".


for love..

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "THE INVISIBLE WINGS"