Laporan Identifikasi Jenis Ektoparasit dan Parasit Darah pada Ayam dan Anjing

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hewan sejatinya makhluk hidup yang interaksinya dekat dengan lingkungan manusia. Dewasa ini, banyak orang memelihara hewan dengan berbagai tujuan seperti untuk kegemaran, diternakkan, serta sebagai hewan kesayangan (anjing dan kucing). Akan tetapi, hewan-hewan tersebut sangat rentan terhadap penyakit yang salah satunya disebabkan oleh parasit. Infeksi parasit ini menyebabkan menurunnya aktivitas dan produktivitas hewan sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pemiliknya.

Parasit adalah organisme yang hidupnya bergantung pada organisme lain sebagai inang tumpangannya. Berdasarkan tempat menumpangnya, parasit dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar atau pada permukaan tubuh inangnya. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya. Adanya ektoparasit seperti lalat, nyamuk dan caplak merupakan vektor bagi beberapa penyakit penting. Caplak dapat mentransmisikan babesiosis pada hewan yang memiliki caplak. Berbagai jenis penyakit lainnya dan agen endoparasit lainnya dapat ditularkan bila terdapat vektor ektoparasit.

Untuk mengidentifikasi adanya infeksi endoparasit perlu dilaksanakan pemeriksaan penunjang. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melihat agen infeksi parasit darah adalah dengan pemeriksaan apus darah dengan pewarnaan giemsa.

1.2  Tujuan

  • Mengidentifikasi jenis ektoparasit (lalat, nyamuk, caplak dan tungau) serta morofologi, habitat dan kerugian yang ditimbulkan
  • Mengidentifikasi parassit darah pada ayam dan anjing


BAB II

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan koasistensi ini dilakukan di laboratorium FKH Undana pada tanggal 30 September – 3 Oktober 2019.

2.2 Alat dan Bahan

2.2.1 Alat

  • Loop
  • Pipet
  • Mikroskop stereo dan cahaya
  • Object glass
  • Cover glass
  • Cool box
  • Staining jar
  • Rak pewarnaan
  • Stopwatch

2.1.1   Bahan

  • Preparat nyamuk, lalat, caplak dan tungau
  • Tabung darah EDTA
  • Syringe
  • Sampel darah ayam
  • Sampel darah anjing
  • Methanol
  • Pewarna giemsa
  • Minyak imersi

2.2 Metodologi

2.2.1 Identifikasi Ektoparasit

Identifikasi ektoparasit (lalat, nyamuk, caplak dan tungau) dilakukan dengan mengamati langsung preparat dengan bantuan loop, mikroskop stereo dan cahaya dan menggunakan kunci identifikasi.

2.2.2 Identifikasi Endoparasit

1) Pengambilan sampel darah

Pengambilan sampel darah pada ayam dilakukan melalui vena pectoralis. Pembuluh darah ini terletak pada sisi dalam sayap ayam. Pengambilan darah dilakukan dengan membersihkan daerah yang akan diambil darahnya menggunakan kapas beralkohol. Selanjutnya, darah diambil dengan cara menusukkan jarum di vena pectoralis darah yang diambil sesuai kebutuhan dan di masukkan ke tabung EDTA untuk disimpan didalam coolbox.

Pengambilan sampel darah pada anjing dilakukan dengan membersihkan daerah yang diambil dengan alkohol dan kapas, menggunting bulu atau mencukur bulu pada daerah pengambilan sampel. Setelah itu menusukkan syringe 3 ml ke v. cephalica antibrachii anterior dan diambil secukupnya. Selanjutnya darah dipindahkan ke tabung EDTA dan dimasukkan dalam coolbox.

2) Pembuatan preparat ulas darah

    • Sampel darah yang telah dihomogenkan diteteskan pada object glass yang telah dibersihkan.
    • Meletakan object glass pendorong diatas tetesan darah, Buat sudut 450 antara object glass yang berisi tetesan darah dan object glass pendorong.
    • Object glass pendorong kearah depan dengan tetap mempertahankan sudut 450 sampai terbentuk apusan darah tipis
    • Apusan darah tersebut diangin-anginkan dan pastikan kering sebelum preparat apus diwarnai.
    • Setelah itu dilakukan pelabelan

3) Metode pewarnaan giemsa

    • Meletakan Objek gelas yang berisi ulasan darah yang sudah mengering diatas rak objek gelas.
    • Mencelupkan apusan darah tipis ke dalam larutan methanol salama 10 menit dan biarkan mengering.
    • Mencelupkan apusan darah tipis kedalam larutan giemsa 10% (sampai semua apusan tergenangi) dan di biarkan selama kurang lebih 20 menit.
    • Melakukan pembilasan pada preparat dan kemudian dikeringkan di udara.
    • Setelah kering preparat disimpan pada kotak preparat untuk dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 IDENTIFIKASI EKTOPARASIT

3.1.1 Lalat

Lalat merupakan jenis insekta yang bertindak sebagai vektor penyakit pada hewan, artinya lalat bersifat membawa atau memindahkan penyakit dari satu tempat ketempat lain. Lalat merupakan ektoparasit yang berperan sebagai penganggu dan menimbulkan kerugian bagi peternak Menurut Khoobdel et al (2013) lalat memiliki kemampuan mentrasmisikan beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi atau mengetahui morfologi dari lalat sebagai vektor penyakit pada hewan. Berdasarkan hasil identifikasi pada jenis-jenis lalat yaitu:

a. Chrysomya sp.

Chrysomya sp.atau lalat hijau merupakan jenis lalat yang dapat ditemukan pada daun, kayu dan pagar.Lalat Chrysomya sp. berperan sebagai vektor penyakit myasis yang sangat merugikan.

Chrysomya sp. memiliki ciri morfologi yaitu, pada bagian kepala Chrysomya sp. memiliki palpus berwarna hitam, mata berwarna cokelat, memiliki permukaan wajah,  mulut yang berwarna orange, dan thoraks berwarna hijau metalik. Pada bagian presutural dan posutural terdapat dua pasang bulu. Sayap anterior Chrysomya sp. berwarna trasparan, terdapat kaliptar atas dan bawah yang terang, tidak terdapat bulu pada bagian atas vena, memiliki basicosta, lalat jantan memiliki surstylus yang kecil dan kuat.

Adapun klasifikasi lalat Chrysomya sp. sebagai berikut:

Kingdom   : Animalia

Filum         : Arthropoda

Kelas         : Insekta

Ordo          : Diptera

Family       : Calliphoidae

Genus        : Chrysomya

Spesies      : Chrysomya sp. (Soulsby, 1982)


b. Musca sp.

Musca sp. dikenal sebagai lalat rumah yang dapat ditemukan pada rumah, kandang dan tempat sampah.Spesies yang paling dikenali adalah Musca domestica yang berperan penting sebagai vektor penyakit. Beberapa penyakit yang dapat ditransmisikan oleh lalat ini adalah mastitis, salmonellosis, disentri dan enteritis. Lalat ini juga sebagai vektor bakteri Corynabacteriun pyogenes.

Musca sp. memiliki karakteristik morfologi yaitu, pada daerah kepala terdapat mata yang berwarna kecoklatan, dan memiliki probosis dengan ujung yang melebar. Pada daerah toraks terdapat empat garis belang. Bagian abdomen berwarna abu-abu sampai kuning dengan garis tengah yang berwarna hitam. Bagian sayap transparan dan memiliki vena.

Adapun klasifikasi lalat Chrysomya sp. sebagai berikut:

Kingdom      : Animalia

Filum           : Arthropoda

Kelas            : Insekta

Ordo             : Diptera

Family          : Muscidae

Genus            : Musca

Spesies          : Musca sp. (Soulsby, 1982)


cHippobosca sp.

Hippobosca sp. atau yang lebih dikenal dengan lalat sumba dapat ditemukan di kandang hewan yaitu pada sudut-sudut tiang besi peyangga kandang dan pelepah pohon. Lalat ini sebagai ektoparasit pada kuda dan sapi yang terdapat di wilayah timur Indonesia yang bersuhu tinggi dan kelembaban rendah. Lalat Hippobosca sp. meletakkan pupanya pada celah-celah kayu, ketiak tanaman, dan celah kandang. Lalat ini tinggal di permukaan  tubuh inangnya dalam waktu yang lama dan mengisap darah hewan seperti kuda dan sapi serta menjadi vector tripanosomiasis (Soulsby 1982).

Karakteristik morfologi lalat Hippobosca sp. adalah memiliki mata yang berwarna coklat kehitaman, memiliki palpi dan probosis, tubuhnya melebar dan berbentuk pipih dorsoventral. Toraks memiliki bercak kuning kecoklatan hingga hitam, terdapat sepasang sayap dan tiga pasang kaki, serta bagian toraks terdiri atas tiga bagian yaitu prosternum, mesoternum, metasternum. Sayap lalat Hippobosca sp. transparan dan memiliki lebaryang melebihi abdomen. Bagian abdomen berwarna coklat kehitaman dan ditutupi oleh rambut.

Adapun klasifikasi lalat Chrysomya sp. sebagai berikut:

Kingdom           : Animalia

Filum                 : Arthropoda

Kelas                 : Insekta

Ordo                  : Diptera

Family               : Hippoboscidae

Genus                : Hippobosca

Spesies              : Hippobosca sp. (Soulsby, 1982)


d. Stomoxys sp.

Stomoxys sp. atau lalat kandang merupakan lalat yang dapat ditemukan pada kandang hewan. Ciri morfologilalat Stomoxys (lalat  kandang) yaitu warnanya lebih gelap, memiliki 4 garis hitam longitudinal pada toraks dan bercak-bercak hitam pada abdomen,memiliki arista rambut pada bagian dorsal, dan memiliki sayap yang transparan. Lalat ini berperan dalam penularan vektor penyakit surra dan antraks pada ternak (Mullen dan Durden, 2002).

Adapun klasifikasinya sebagai berikut:

Kingdom           : Animalia

Filum                 : Arthropoda

Kelas                 : Insekta

Ordo                  : Diptera

Family               : Muscidae

Genus                : Stomoxys

Spesies               : Stomoxys sp. (Soulsby, 1982)

3.1.2 Nyamuk

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terdapat nyamuk jenis culex.Culexdapat ditemukan pada air yang kotor seperti genangan air, limbah pembuangan mandi, got (selokan) dan sungai yang penuh sampah dan air jernih. Culex sp. berperan sebagai vektor penyakit penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, dan St. Louis encephalitis.

Adapun klasifikasinya sebagai berikut

Kingdom                  : Animalia

Filum                        : Arthropoda

Kelas                        : Insekta

Ordo                         : Diptera

Family                      : Culicidae

Genus                       : Culex

Spesies                      : Culex sp.(Soulsby, 1982)

Nyamuk Culex sp. memiliki ciri yaitu pada nyamuk jantan memiliki palpa yang lebih panjang dari probosis dengan antena tipe plumose. Sedangkan, nyamuk betina memiliki palpa yang pendek dari probosis dengan antena tipe pilose, scutollum berlobus tiga (dari dorsal) dan bagian abdomen berwarna cokelat muda atau cokelat keabua-abuan tanpa tanda khas (Soulsby, 1982).

3.1.3 Caplak

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terdapat caplak Rhipicephlaus sanguineus yang diidentifikasi dengan kunci identifikasi menurut Dubie et al (2017)).

Klasifikasi caplak Rhipicephalus sanguineus menurut Torres (2006) yaitu,

Kingdom            : Animalia

Filum                  : Arthropoda

Kelas                  : Arachnida

Ordo                   : Parasitiformes

Sub ordo             : Metastigmata

Famili                 : Ixodidae

Genus                 : Rhiphicephalus

Spesies               : Rhiphicephalus sanguineus

Ciri morfologi caplak ini memiliki kapitulum yang terdapat di ujung anterior tubuh yang terdiri dari basis kapituli, palpus yang bersegmen, kelisera dan hipostoma (Gambar 1). Kelisera terletak di dorsal kapitulum dan digunakan untuk melubangi jaringan inang sewaktu perlekatan. Hipostoma terdapat di tengah-tengah kapitulum. Caplak Rhiphicephalus sanguineus memiliki palpus dan hipostoma lebih pendek dan lebih proporsional panjangnya ke pangkal kapitulum.Basis kapituli berbentuk segienam (hexagonal). Skutum berwarna coklat gelap, dimana caplak jantan memiliki skutum lebih besar dibandingkan caplak betina.

Gambar 1. Morofologi Rh. sanguineus  tampak dorsal(A) dan tampak ventral(B)


        Pada bagian anterior abdomen terdapat podosoma (tempat bertautnya kaki dan lubang genital) dan pada bagian posterior terdapat ophisthosoma (daerah di belakang koksa tempat bertautnya spirakel dan lubang anal). Pada pasangan koksa pertama masing-masing terdapat spur. Lubang genital terletak diantara pasangan kaki ke-2. Caplak dewasa memiliki 8 kaki yang terdiri atas trochanter, prefemur, femur, tibia, protarsus dan tarsus dengan sepasang cakar atau alat penghisap disebut Petunia atau Karuncula. Terdapat spirakular di bawah koksa ke-4.Anus terletak pada bagian ventral setelah pasangan kaki ke-4.Pada bagian posterior ditemukan adanya feston.
         Rhiphicephalus sanguineus dapat ditemukan pada anjing di daerah kepala (terutama pada telinga), ruang interdigital, punggung, daerah inguinal dan aksila (Torres, 2010). Infestasi caplak ini dapat menyebabkan babesiosis, anaplasmosis dan theileriosis yang menyebabkan kematian (Manggung, 2008).

        3.1.1 Tungau

     Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terdapat 2 jenis tungau yang berhasil diidentifikasi yaitu, Sarcoptes sp. dan Demodex sp. Adapun klasifikasinya sebagai berikut:
  1. Sarcoptes sp. 

  2. Klasifikasi Sarcoptes sp.menurut Soulsby (1982) yaitu,
            Kingdom      : Animalia
            Filum            : Arthropoda
            Kelas            : Arachnida
            Ordo             : Acarina
            Family          : Sarcoptidae
            Genus           : Sarcoptes
            Spesies         : Sarcoptes sp.

       2. Demodex sp.

        Klasifikasi Demodex sp.menurut Soulsby (1982)yaitu,

            Kingdom     : Animalia
            Filum          : Arthropoda
            Kelas          : Arachnida
            Ordo           : Trombidioformes
            Family        : Demodicidae
            Genus         : Demodex
            Spesies       : Demodex sp.

        - Morfologi

            a) Sarcoptes sp. memiliki ciri (Gambar 2) sebagai berikut:
  • Dua pasang kaki depan terdiri atas lima ruas, sedangkan dua pasang kaki belakang terdiri atas empat ruas
  • Pada betina ruas terakhir dari dua pasang kaki terdepan berakhir dengan batil pengisap bertangkai (ambulakrum) dan dua pasang kaki yang belakang berakhir dengan rambut yang panjang
  • Pada jantan hanya pasangan kaki yang ketiga yang berakhir dengan rambut, pasangan kaki lainnya berakhir dengan ambulakrum
  • Epimere dua pasang kaki belakang bersatu
  • Di atas perut, diantara dua pasang kaki ketiga dan keempat, terdapat epiandrum diantaranya terdapat lubang kelamin.
           b) Demodex sp. memiliki ciri morfologi (Gambar 2) sebagai berikut:
  • Memiliki bentuk seperti buah Lombok
  • Langsing
  • Memiliki 4 pasang kaki
        - Habitat
    a) Sarcoptes sp. = Tempat predileksi stratum korneum kulit
    b) Demodex sp. = Tempat predileksi stratum korneum kulit dan kelenjar sebaseous inang

Gambar 2.Morfologi Sarcoptes sp. (A) dan Demodex sp. (B) 

        - Kepentingan Klinis = Sarcoptes sp. menyebabkan scabies, sedangkan Demodex sp. menyebabkan demodekosis

3.1 IDENTIFIKASI PARASIT DARAH

3.1.1 Anjing

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada sampel anjing yang telah dilakukan ditemukan hasil positif babesiosis pada anjing yang telah diperiksa. Hasil positif ditunjukkan dengan ditemukannya parasit Babesia sp.pada ulasan darah yang dibuat (Gambar 3).


Gambar 3. Hasil pemeriksaan sampel darah positif Babesia sp.

Babesiosis merupakan infeksi penyakit oleh parasit darah Babesia sp. dan sangat umum terjadi pada anjing dan kucing (Cahuvin et al., 2009). Babesiosis atau piroplasmosis merupakan penyakit zoonosis. Babesiosis pada anjing disebabkan oleh Babesia canis yang ditularkan melalui gigitan caplak (Tick-borne disease) Rhiphicephalus sanguineus sebagai vektor utama (Lubis, 2006). Hal ini sesuai dengan pengamatan klinis yang telah dilakukan yaitu terdapat infeksi caplak pada anjing.

Infeksi Babesiasp. dimulai saat inang digigit oleh caplak yang dalam kelenjar salivanya mengandung sporozoit Babesia sp. Sporozoit yang masuk ke tubuh inang masuk dalam siklus pre-eritrositik, masuk aliran limfe dan membentuk tropozoit dan dalam 3-4 hari membentuk skizont (badan berinti banyak) yang mengandung merozoit. Skizont kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit ke dalam aliran darah melalui proses endositosis. Proses tersebut dimulai dengan tahapan penempelan pada membrane eritrosit, kemudian terjadi invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit sehingga membentuk parasitophorus vacuole dan membrane eritrosit menutup setelah proses invasi selesai. Tahapan selanjutnya yaitu, membran luar (vakuola parasitophorus) terlepas sehingga parasit berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit dalam eritrosit kemudian menjadi tropozoit dan bila matang dapat menjadi skizont yang kemudian pecah dan melepaskan merozoit lain yang dapat menginfeksi eritrosit lainnya (Igarashi et al., 1988). Tahapan tersebut menyebabkan kerusakan sel darah merah (eritrosit) pada hewan terinfeksi.Oleh karena itu, daya hidup eritrosit normal pada anjing yang awalnya adalah 100 hari mengalamai pemendekan umur eritrosit sampai kurang dari setengahnya (Astyawati et al., 2010) akibat adanya infeksi Babesia sp.

Infeksi Babesiasp. yang masuk dalam aliran darah menyebabkan kondisi parasitemia.Parasitemia yang terjadi mampu memunculkan gejala klinis berupa demam, membrane mukosa menjadi pucat, pembesaran limpa dan hati, takikardia serta terdapat darah dalam urin.

3.1.1 Ayam

Unggas merupakan ternak yang memiliki manfaat yang baik untuk menghasilkan daging, telur dan bulu. Oleh karena itu, diperlukan adanya manajemen yang baik dalam pemeliharaan unggas agar tidak mudah terserang penyakit. Contoh penyakit yang sering menyerang unggas yaitu malaria atau plasmodiosis yang disebabkan oleh Plasmodium sp., dan penyakit avian malaria like diseaseyang disebabkan oleh leucocytozoon sp. Menurut Tabbu (2000), malaria unggas disebabkan oleh protozoa yang bersifat parasit yang dapat menginfeksi eritrosit berbagai jenis unggas. Malaria unggas dapat ditularkan oleh beberapa jenis nyamuk.Penyebaran vektor malaria unggas atau plasmodiosis yaitu Culex sp., sedangkan leucocytozosis ditularkan melalui gigitan lalat simulium atau cullicoidessp. Untuk melihat adanya parasit darah pada unggas dapat dilakukan dengan ulas darah. Ulas darah merupakan metode yang mengidentifikasi parasit darah dengan bantuan pewarnaan khusus seperti giemsa.


Gambar 4.Palsmodium sp. (A →), Leucocytozoon sp. (B →) 

Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode ulas darah ditemukkan adanya plasmodium sp. dan leucocytozoon sp. pada darah ayam buras (Gambar 4). Infeksi plasmodium sp. dan leucocytozoonsp. menimbulkan kerugian ekonomi. Ayam yang terinfeksi dapat kehilangan bobot badan, penurunan produksi, dan kematian. Infeksi Plasmodium sp.pada unggas dapat menyebabkan beberapa gejala klinis yaitu anemia, anoreksia, demam, menggigil, gemetar, terganggunya termoregulator, jaundice, tekanan darah rendah, hepatosplenomegali, gangguan pernafasan (Abdalla dan Pasvol 2004), serta gangguan syaraf akibat cerebral malaria (Muller 2010). Anemia pada infeksi Plasmodium sp.dapat terjadi karena lisisnya eritrosit akibat perkembangan Plasmodium sp.di eritrosit, sedangkan jaundice terjadi karena lisisnya sel hati akibat perkembangan skizon di hati (Abdalla dan Pasvol 2004).

Gejala klinis dari infeksi Leucocytozoon hampir sama dengan infeksi Plasmodium. Infeksi Leucocytozoon dapat menyebabkan anemia, anoreksia, haemoglobinuria, diare berwarna hijau, hepatosplenomegali, terganggunya termoregulator, leukocytosis, pneumonia, anoreksia, pendarahan pada organ interna, kerusakan hati, dyspnoea dan bronkhitis (Muller 2010).

Pengendalian kasus penyakit parasit darah pada unggas dapat dilakukan dengan mengendalikan vektor, Menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, menghilangkan unggas carrier sebagai sumber infeksi parasit darah pada unggas, dan memberikan pengobatan terhadap unggas yang terinfeksi.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

  1. Di Kupang dapat ditemukan jenis ektoparasit lalat, nyamuk, caplak dan tungau. Jenis lalat yang diidentifikasi yaitu Chrisomya sp., Stomoxys sp., Musca sp., Hippobosca sp. Sedangkan nyamuk yang berhasil diidentifikasi adalah nyamuk jenis culex. Caplak adalah jenis Rh. Sanguineus dan tungau adalah Sarcoptes sp. dan Demodex sp.
  2. Parasit darah yang berhasil diidentifikasi adalah Babesia sp. pada anjing serta Plasmodium sp. dan Leucocytozoon sp. pada ayam buras.

4.2 Saran

Perlu dilakukan pengendalian dan tindakan pencegahan untuk memutuskan mata rantai penyebaran dari vektor (lalat, nyamuk, dan caplak) dan pencegahan penyakit serius pada hewan. 

DAFTAR PUSTAKA


Abdalla SH, Pasvol G. 2004.Malaria A Hematological Perspective.London (GB) : Imperial College Press

Astyawati T, Retno W, Cahyono, Ferry A, Ari R, Dhetty. 2010. Konsentrasi Serum Anjing yang Optimum untuk Menumbuhkan dan Memelihara Babesia canis dalam Biakan. Jurnal Veteriner. 11: 238-243

Cahuvin A, Moreau E, Bonnet S, Plantard O, Malandrin L. 2009. Babesia and its hosts: adaptation to long-lasting interactions as a way to achieve efficient. Vet Res 40:37.

Dubie T, Grantham R, Coburn L, Noden BH. 2017. Pictorial Key for Identification of Immature Stages of Common Ixodid Ticks Found in Pastures in Oklahoma. Society of Southwestern Entomologists. 42 (1) :1-14.

Igarashi I, Aikawa M, Kreier JP. 1988. Host Cell-Parasite Interaction in Babesiosis. Dalam:Babesiosis of Domestic Animals and Man. Ristic M, editor. Florida: CRC Press Inc. pp 53-69.

Lubis FY. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 151: 27-29.

Manggung, R. D. P. 2008. Pengaruh ekstrak daun mindi (Melia azedarach) dengan pelarut air terhadap mortalitas larva caplak anjing (Rhipicephalus sanguineus).Skripsi. FKH, IPB.

Muller MG. 2010.Common avian parasites and emerging disease.Vet Parasitol. 1(1) : 87-110.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animals. Ed ke-7. The English Language Book Society, Bailiere Tindall,London.

Tabbu CR. 2000. Isunya Malaria Unggas, Faktanya Leucocytozoonosis. Infovet. 69:28-30.

Torres, D. F. 2006. Rhipicephalus sanguineus( Acari: Ixodidae), the brown dog tick, parasitizing humans in Brazil. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 39(1): 64-67.

Torres, D. F. 2010. Biology and ecology of the brown dog tick, Rhipicephalus sanguineusParasites & vectors3(1), 26.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Laporan Identifikasi Jenis Ektoparasit dan Parasit Darah pada Ayam dan Anjing "

Posting Komentar