Makalah Imunologi Respon Imun terhadap Protozoa

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Mikroorganisme mampu menghindari pertahanan kekebalan hewan dan mengeksploitasi sumberdaya dari inangnya. Penyakit terjadi sebagai akibat dari reaksi inang terhadap infeksi atau karena serangan parasit yang menyebabkan kerusakan signifikan pada inangnya. Parasit berevolusi sedemikian rupa dan membuat inang tidak menyadari kehadiran parasit tersebut. Idealnya, parasit akan terus menarik sumber daya inangnya tanpa batas waktu. Infeksi yang disebakan oleh cacing atau protozoa,  dapat terlihat hanya dengan kerugian produksi dari inangnya.
Dalam berbagai kasus, kehadiran parasit baru disadari ketika telah terinfeksi dalam jangka waktu yang lama dan dalam jumlah yang besar ketika parasit masuk dan merusak organ-organ penting. Salah contohnya yaitu Toxoplasma yang mengambil sumber daya inangnya dan menyebabkan inangnya menjadi lemah dan lesu.
Berbeda dengan infeksi akut yang disebabkan bakteri dan virus, infeksi protozoa dapat bertahan lama dan dalam banyak kasus tidak teridentifikasi dengan jelas. Idealnya, parasit berhasil mengatur dan menekan sistem imun host untuk kelangsungan hidup mereka, sementara pada saat yang sama terjadi respon lain untuk mencegah kematian host dari infeksi lainnya. Selain itu, banyak parasit memanfaatkan jalur metabolik atau kontrol host untuk tujuan mereka sendiri. Misalnya parasit protozoa bisa memanfaatkan pertumbuhan inangnya untuk pertumbuhannya sendiri. Dengan demikian faktor pertumbuhan epitel dan interferon-y dapat meningkatkan pertumbuhan trypamosoma bruci, sedangkan IL-2 dan GM-CSF dapat mempromosikan pertumbuhan Leishmania amazonesis. Pembagian sitokin oleh parasit dengan cara ini mencerminkan sejarah panjang hubungan parasit dengan hostnya. Pada makalah ini akan dibahas respon imun terhadap infeksi protozoa.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1.      Bagaimana respon imun bawaan terhadap infeksi protozoa?
2.      Bagaimana respon imun dapatan terhadap infeksi protozoa?
3.      Bagaimana protozoa menghindari sistem imun?
4.      Apa saja konsekuensi yang merugikan akibat infeksi protozoa?
5.      Bagaimana vaksinasi terhadap infeksi protozoa?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk menegtahui respon imun bawaan dan respon imun dapatan terhadap infeksi protoz
2. Untuk mengetahui bagaimana protozoa menghindari sistem imun
3. Untuk mengetahui apa saja konsekuensi yang merugikan akibat infeksi protoza
4. Untuk mengetahui vaksinasi terhadap protozoa

BAB II
PEMABAHASAN
2.1 Imunitas bawaan
     Mekanisme dari resistensi bawaan dari infeksi protozoa, secara umum mirip dengan pencegahan terhadap invasi bakteri dan virus. Sesuai dengan GPI anchor (chapter 9) menunjukkan aktivasi TLR-2 Trypanasoma cruzi dan trigger untuk memproduksi IL- 12 dan Nitrit Oxida oleh makrofag. Contohnya, T. Bruzei, T. Congelense, dan T. Vivax bukan merupakan penyebab penyakit pada hewan ungulata liar di afrika timur tetapi dapat membunuh hewan domestik sebagai akibat dari adaptasi yang buruk. Sama seperti coccidia yang memiliki host spesifik contoh lainnya toxoplasma Gondii dapat menginfeksi hampir semua spesies dari kelas mammalia tetapi coccidia hanya mampu menginfeksi spesies kucing (kucing, harimau, macan, dll).
Perbedaan spesies merupakan pengaruh genetik. Beberapa spesies dari sapi afrika, khususnya N’Dama, menunjukkan peningkatan resistensi terhadap infeksi dari Trypanasoma patogen. Trypanotoleransi merupakan hasil dari seleksi alam dari hewan yang paling rentan selama bertahun-tahun dan mencerminkan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan infeksi, serta menjadi resisten terhadap efek patologis dari parasit. Analisis menunjukkan bahwa sel T ɣ / δ dari N'Dama jauh lebih responsif terhadap antigen trypanosoma daripada sel T ɣ / δ  ternak nonnative. Hewan trypanotoleransi memroduksi lebih banyak IL-4 dan kurang IL-6 daripada hewan rentan. Pada saat yang sama hewan trypanotoleransi tidak menunjukkan anemia berat maupun kerugian produksi yang terlihat pada ternak rentan. Hewan trypanotoleransi menghasilkan IgG yang tinggi terhadap protease sistein trypanosoma pada infeksi T. congolense. Sejak enzim ini berperan pada infeksi patologi, antibodi ini menjelaskan trypanotoleransi.
Contoh resistensi genetik terhadap infeksi protozoa adalah anemia sel sabit dan perannya dalam perlawanan terhadap malaria pada manusia. Individu yang mewarisi sifat sel sabit memiliki hemoglobin S (HbS), dimana residu valin telah menggantikan residu asam glutamat pada hemoglobin normal. Perubahan dalam urutan molekul hemoglobin disebabkan oleh molekul hemoglobin mengalami pross deoksigenasi, sehingga mendistorsi bentuk eritrosit dan mengakibatkan peningkatan kerapuhan eritrosit. Individu dengan gen sel sabit homozigot  mati karena anemia berat ketika muda. Individu dengan gen sel sabit heterozigot juga mengalami anemia, tetapi di Afrika tengah fakta bahwa hemoglobin S membunuh Plasmodium falciparum memastikan bahwa individu yang terkena tahan terhadap malaria.
2.2  Imunitas dapatan
Seperti organisme lain, protozoa merangsang antibodi dan respon imun yang diperantarai sel. pada umumnya, antibodi mengontrol jumlah parasit dalam darah dan cairan jaringan, sedangkan respon imun yang diperantarai sel diarahkan sebagian besar terhadap parasit intraseluler. Serum antibodi ditujukan terhadap antigen permukaan protozoa untuk opsonisasi, aglutinasi, atau melumpuhkan mereka. Antibodi bersama-sama dengan sistem komplemen dan sel sitotoksik dapat membunuh parasit, dan beberapa antibodi (disebut ablastins) dapat menghambat pembelahan mereka. Pada infeksi genital manusia karena Trichomonas vaginalis, respon IgE lokal distimulasi. Reaksi alergi yang terjadi kemudian menimbulkan ketidaknyamanan dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, reaksi ini merupakan reaksi yang ditimbulkan antibodi igG untuk mencapai daerah infeksi dan menghentikan serta mengeliminasi organisme.
Pada Babesiosis tahap infektif (sporozoit) menyerang sel-sel darah merah. Invasi ini melibatkan aktivasi komplemen jalur alternatif. Sel darah merah yang terinfeksi menggabungkan antigen Babesia ke dalam membran sel darah merah, sehingga memicu induksi antibodi dan menyebabkan antibodi mengopsonisasi sel darah merah kemudian difagositosis oleh sel fagosit. Sel darah merah yang terinfeksi juga dapat dihancurkan oleh respon antibodi yang dimediasi sel. Makrofag dan limfosit sitotoksik dapat mengenali antigen Babesia/opsonizing-antibodi kompleks pada permukaan eritrosit yang terinfeksi. Sel T sitotoksik mulai berperan pada awal infeksi ketika jumlah eritrosit yang terinfeksi sedikit. Imunitas terhadap protozoa apicomplexa seperti Cryptosporidia, Eimeria, Neospora, Plasmodium dan Toxoplasma umumnya dimediasi oleh respon Th1. Misalnya, T. gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang takizoit dan tumbuh dalam sel (gambar.1). Akhirnya, sel yang terinfeksi pecah dan takizoit dilepaskan untuk menyerang sel-sel lain. Akibatnya, Toxoplasma takizoit dapat menumbuhkan sel-sel di dalam di lingkungan yang bebas dari antibodi, oksidan, atau enzim lisosom.
Biasanya, respon imun dari Th1 dan Th2 terjadi pada paparan Toxoplasma. Respon Th2 melibatkan antibody dan bersama-sama dengan complemen  menghancurkan organisme ekstraseluler dan mengurangi penyebaran organisme antara sel-sel (gambar.2). Respon ini sedikit berpengaruh pada bentuk intraseluler parasit. Organisme intraseluler dihancurkan oleh respon diperantarai sel Th1. Sel Th1 peka mensekresikan IFN-ɣ dalam menanggapi ribonucleoproteins Toxoplasma. IFN-ɣ kemudian mengaktifkan makrofag, memungkinkan mereka untuk membunuh organisme intraseluler dengan mengizinkan lisosom-phagosome fusion. Beberapa sel T juga dapat mensekresi sitokin yang mengganggu secara langsung  replikasi Toxoplasma. Selain itu, sel T sitotoksik dapat menghancurkan Toxoplasma takizoit dan sel Toxoplasma terinfeksi. Dengan cara ini, respon imun Th1 dan Th2 bertindak bersama-sama respon imun untuk memastikan eliminasi tahap takizoit dari organisme ini. Namun, T. gondii takizoit dapat mengubah diri menjadi bentuk kista yang mengandung bradyzoit. Kista muncul untuk menjadi non-imunogenik dan tidak menstimulasi respon inflamasi. Ada kemungkinan bahwa tahap kista ini tidak dirasakan sistem imun tubuh sebagai benda asing.
Tanggapan Th1 melibatkan aktivasi makrofag sehingga penting dalam penyakit protozoa, di mana membantu organisme tahan terhadap kerusakan intraseluler. Salah satu jalur yang merusak yang paling signifikan dalam sel-sel intraselulaer  adalah produksi nitrit oxide. Radikal nitrogen dibentuk oleh interaksi NO dengan oksidan reaktif yang mematikan bagi banyak protozoa intraseluler. Namun, protozoa dapat bertahan dalam makrofag, misalnya, beberapa protozoa seperti Leishmania, Toxoplasma, dan Trypanosoma cruzi, dapat bermigrasi ke kompartemen intraseluler dengan mengulur-ulur fagosom pematangan. Leishmania dan T.cruzi dapat menekan produksi oksidan atau produksi sitokin, sedangkan T. gondii dapat meningkatkan makrofag apoptosis. T. gondii takizoit menghambat induksi sitokin proinflamasi dengan mencegah translokasi faktor transkripsi NF-kb.
Pada infeksi Theileria parva (demam East Coast) pada sapi, sporozoit menyerang limfosit dan menginduksi proliferasi sel yang tidak terkendali. T. Parva dapat menyerang α/β dan ɣ/δ T sel, serta sel B. Parasit kemudian mengaktivasi  NF-kB dengan terus memfosforilasi protein inhibitor Ik-Bα dan Ik-Bβ. NF-kB tetap mempertahankan sel dalam keadaan aktif, dan mencegah apoptosis. Sel-sel yang diaktifkan menghasilkan lebih banyak IL-2 dan IL-2R. Sebagai hasilnya, dibentuk loop autokrin atau parakrin, dimana sel yang terinfeksi mensekresi IL-2, yang merangsang pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel berhenti jika produksi IL-2 diblokir. Theileria shizon berkembang dalam sel-sel limfosit yang terinfeksi kemudian membesar dan berkembang biak. Pada kebanyakan sapi infeksi berat dapat menyebabkan kematian. Beberapa hewan yang pulih dari infeksi memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik dari sebelumnya (kuat). Pada hewan ini, sel-sel sitotoksik CD8 + T dapat membunuh limfosit yang terinfeksi dengan mengenali antigen parasit dalam hubungan dengan molekul MHC I. Dalam kasus lain, parasit mengganggu ekspresi MHC I pada sel yang terinfeksi.
Infeksi ayam atau mamalia dengan ookista Eimeria umumnya mempengaruhi kekebalan menjadi kuat dan spesifik sehingga dapat mencegah kembalinya ayam terinfeksi . Respon imun ini menghambat pertumbuhan trofozoit, tahap invasif awal, dalam sel epitel usus. Hambatan pertumbuhan ini bersifat reversibel, karena dapat ditransfer ke hewan normal.
Studi pada tikus menunjukkan bahwa resistensi terhadap infeksi primer dimediasi oleh beberapa mekanisme yang diperantarai sel yang mencakup sel CD4 + T dan sitokin IL-12 dan IFN-ɣ, makrofag dan sel NK. Sebaliknya, resistensi terhadap infeksi sekunder dimediasi oleh CD8 + T sel, pada ayam, IFN-ɣ, TNF-α dan TGF-β, serta intraepithelial CD8 + α/β T sel, yang penting dalam imunitas inang.
Infeksi oleh coccidia pada domba dan T. gondii pada kucing secara efektif merangsang respon imun yang dapat menghambat infeksi ulang. Pada kucing, penumpukan ookista Toxoplasma berhenti secara tiba-tiba sekitar 3 minggu setelah infeksi, bertepatan dengan munculnya serum antibodi. Hal ini tidak sepenuhnya jelas apakah antibodi ini bertanggung jawab untuk menghambat produksi ookista. 
Selama bertahun-tahun diduga bagian yang umum dari infeksi protozoa adalah premunition, istilah ini digunkana untuk menggambarkan resistensi yang terbentu sesudah infeksi pertama yang akan menjadi kronis dan hanya efektif jika parasit bertahan dalam inang.
Jika semua organisme telah dihapus dari hewan, resistensi berkurang. Penelitian telah menunjukkan bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar. Misalnya, sapi sembuh dari infeksi Babesia oleh kemoterapi, tahan terhadap strain homolog dari organisme yang sama selama beberapa tahun. Namun demikian, adanya infeksi yang tidak muncul menjadi perlindungan terhadap strain heterolog. Babesiosis juga menarik karena splenektomi dari hewan yang terinfeksi akan menyebabkan penyakit klinis. Limpa tidak hanya berfungsi sebagai sumber antibodi dalam penyakit ini, tetapi juga menghilangkan eritrosit yang terinfeksi. Hilangnya fungsi ini dengan splenektomi memungkinkan penyakit klinis untuk muncul kembali.
2.3 Penghindaran dari respon imun
Terlepas dari antigen mereka, parasit protozoa diatur untuk bertahan diantara host mereka pada waktu yang lama dengan menggunakan banyak mekanisme penghindaran yang dimiliki dan diperoleh dari evolusi selama jutaan tahun. Pertahanan hidup mereka disesusaikan dengan sistem imun host. Sebagai contoh T. Gondii dapat menghindari perlekatan neutrofil dan fagositosis. Banyak protozoa yang immunosuppressive ; untuk contohnya, T. Parva menyerbu dan menghancurkan sel T. Protozoa yang lain seperti Trypanasoma mungkin meningkatkan pembentukan pengaturan sel atau merangsang sistem sel B untuk mudah lelah. Plasmodium falciparum akan menekan kemampuan sel dendritik untuk memproses antigen.
Parasit yang dipengaruhi immunosupresive mungkin menigkatkan kemampuan parasit bertahan hidup. Untuk contohnya, babesia bovis yang membuat immunosupresive terhadap sapi. Sebagai hasilnya, vektor dari host boophilus microplus makin baik untuk mampu terus hidup pada binatang yang dijangkiti. Dengan demikian, sapi yang terjangkit mempunyai resiko lebih dibandingkan dengan binatang yang tidak dijangkit, dan efisiensi dari transmisi B.bovis akan bertambah. Ini ditunjukkan dengan  parasit  yang berimbas immunosuppressi yang dapat membunuh host sebagai hasil infeksi sekunder. Sehingga ini tidak selalu menguntungkan ke parasit. Kematian pada sapi akibat tripanosomiasis secara umum terjadi karena bakteri pneumonia atau karena immunosuspresi. Pada penyakit leishmaniasis parasit dengan aktif menekan transkripsi dari gen IL-12. Sebagai hasilnya host akan menaikan respon th2 untuk menanggapi infeksi sehingga akan melindungi respon th1.
Sebagai tambahan terhadap immunosuspresi, protozoa memiliki dua teknik lain untuk menghindari respon imun. Satu yang dilibatkan berasal dari nonatntigen, dan yang lain yang dilibatkan adalah kemampuan untuk mengubah antigen permukaan dengan cepat dan berulang kali. Sebuah contoh dari organisme non antigentik adalah T. Gondii seperti yang sudah disebutkan tadi perlakuan tidak tampak untuk merangsang adanya tanggapan host. Beberapa protozoza bisa menghasilkan fungsi nonantigenik dengan melindungi diri mereka menggunakan antigen dari host. Contohnya Tripanosoma Theileri di sapi dan Trypanonoma Lewisi di tikus kecil, mereka sama sama nonpatogenik dan dapat bertahan dalam darah hewan yang diinfeksi karena mereka dapat dilindungi dengan sebuah lapisan serum protein dari host dan mereka bukan dikenali sebagai benda asing. T. Brucei, sebuah jenis trypanosoma yang patogen pada sapi, juga menyerap serum protein dari host atau antigen sel darah merah sehingga mengurangi antigenitas dari sel host.
Walau kehadiran dari antigenitas mungkin akan dipertimbangkan untuk mengganggu proses penghindaran, banyak protozoa, terkhususnya Trypanosoma, sukses mengulangi reaksi variasi dari antigen. Jika sapi terinfeksi dengan Trypanosoma yang patogen T. Vivas, T. Congolense, atau T. Brucei dan mereka diukur dalam waktu yang berbeda, dan jumlah organisme yang beredar dan ditemukan menunjukan grafik yang besar. Periode dari peningkatan parasitemia berubah secara teratur dari  periode rendah atau mulai dari parasitemia yang tidak dapat
Serum dari hewan yang terinfeksi yang mengandung antibodi dari trypanosoma diisolasi sebelum ada perdarahan tapi tidak ada agen yang berkembang sesudah itu. Setiap periode parasitemia tinggi sesuai dengan perpindahan populasi Trypanosoma dengan antigen glikoprotein permukaan baru. Penghapusan populasi ini dengan antibodi menyebabkan penurunan cepat dalam parasitemia. Di antara yang selamat, namun, beberapa parasit glikoprotein permukaan baru dan tumbuh tanpa ada hambatan. Akibatnya, populasi baru muncul untuk menghasilkan parasit baru sebelum periode lain parasitemia yang tinggi. Fluktuasi siklus ini berasal di tingkat parasit, dengan masing-masing puncak menggambarkan penampilan parasit dengan protein glyco permukaan baru, dapat terus berlangsung selama berbulan-bulan.
Varian permukaan glikoprotein (sg) adalah antigen permukaan utama dari Trypanosoma ini. VSGS diproduksi di awal infeksi Trypanosoma cenderung berkembang dalam tahapan yang sudah diprediksi. Namun, selama infeksi berlangsung, produksi VSGS menjadi lebih teracak. Trypanosoma tumbuh di kultur jaringan juga menunjukkan variasi antigenik spontan menunjukkan bahwa perubahan VSGS permukaan tidak disebabkan oleh antibodi. VSGS membentuk lapisan tebal pada permukaan dari Trypanosoma, ketika pertukaran antigen terjadi, VSGS dalam selubung tua merupakan tempat yang digantikan oleh vsg antigen yang berbeda. Analisis proses ini menunjukkan bahwa meskipun Trypanosoma memiliki sekitar 1000 gen VSG, hanya satu gen vsg aktif pada suatu waktu. Variasi antigenik terjadi sebagai akibat dari pergantian gen vsg aktif dengan satu dari diam vsg gen yang lain. Karena hanya sebagian kecil dari vsg dari antibodi host, bahkan tidak diperlukan untuk molekul lengkap untuk berubah. Penggantian epitop cukup untuk variasi antigenik yang efektif terjadi. Pada awal infeksi, penggantian gen vsg lengkap terjadi. Kemudian, penggantian dan titik mutasi parsial dapat membuat kekhususan antigen baru. Trypanosomiasis bukan satu-satunya infeksi protozoa yang variasi antigen permukaannya terlihat. Ini juga terjadi pada infeksi  Babesia Bovis, sebuah throcyte organisme yang mengekspresikan antigen varian permukaan eritrosit. Agaknya, variasi cepat dari protein polimorfik ini memperpanjang kelangsungan hidup protozoa lain yang menunjukkan variasi antigenik termasuk odia dan parasit usus Giardia Lamblia.
Saat protozoa seperti parasit harus menghindar dari respon imun, tidak mengherankan bahwa mereka istimewa untuk menyerang individu imunosupresi. Organisme yang biasanya dikendalikan oleh respon imun, seperti bentuk kista T. Gondii atau Cryptosporidium bovis, dapat tumbuh dan menghasilkan penyakit berat pada hewan imunosupresi. Untuk alasan ini, toksoplasmosis akut dan tosporidiosis kriptografi umumnya terjadi pada manusia saat sistim immun ditekan untuk transplantasi pur, untuk terapi kanker, atau dengan aids.
2.4 Akibat yang merugikan
Konsekuensi merugikan dari respon kekebalan terhadap protozoa dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang berkontribusi terhadap patogenesis penyakit protozoa. Tipe I hipersensitivitas adalah fitur dari trikomoniasis dan hasil dalam iritasi lokal. Dan peradangan pada saluran genital. Tipe II reaksi sitotoksik yang penting dalam babesiosis dan miasis trypanoso-, di mana mereka memberikan kontribusi untuk anemia.
Dalam babesiosis, sel darah merah terparasit mengekspresikan antigen parasit pada permukaan sel dan dengan demikian dikenal sebagai asing dan dihilangkan oleh hemolisis dan fagositosis. Pada kasus trypanosomiasis, fragmen dengan organisme terganggu atau mungkin kemampuan kekebalan-kompleks mengikat sel darah merah dan menginisiasi  penghilangan kekebalan tubuh mereka, sehingga menyebabkan anemia. pembentukan kompleks imun pada sirkulasi sel darah merah bukan satu-satunya masalah pada miasis trypanosoma. Dalam beberapa kasus, pembentukan kompleks imun yang berlebihan dapat menyebabkan vaskulitis dan glomerulonefritis dan hipersensitifitas tipe III Infeksi Trypanosoma juga menyebabkan peningkatan besar dalam jumlah produksi sel lgM, dan tingkat yang sangat tinggi dari IgM ditemukan dalam darah hewan yang terinfeksi. Beberapa antibodi ini diarahkan terhadap autoantigen. Ini termasuk molekul faktor seperti arthritis, dan antibodi terhadap thymocytes, ssDNA, sel darah merah, dan trombosit. Dalam T. congolense pada ternak yang terinfeksi, sel-sel B polyclonally dirangsang adalah BoCD5 +. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya sel CD5 + B adalah dari garis keturunan yang berbeda untuk sel B konvensional. Mekanisme aktivasi sel poliklonal B ini tidak diketahui Ini adalah kemungkinan bahwa reaksi hipersensitivitas tipe IV berkontribusi pada peradangan yang terjadi ketika kista Toxoplasma memecah dan melepaskan takizoit segar. Ekstrak T. Gondii (toxoplasmin), jika diberikan intra dermal untuk hewan yang terinfeksi, akan menimbulkan respon hiper sensitivitas tertunda; ini telah digunakan sebagai uji diagnostik untuk infeksi protozoa (Gambar -5)
2.5  Vaksinasi
Vaksinasi Sukses melawan infeksi protozoa dari hewan domestik saat ini terbatas untuk jenis Koksidiosis, Babesiosis, Giardiasis, Dan Theileriosis. Beberapa vaksin Koksidia hidup yang berbeda saat ini digunakan dalam ultra vaksin ini dengan typicall con nin ceweral. Organisme yang sensitif secara berulang-kali pada dosis (tetes jangkitan) yang sangat rendah.
Kekuatan vaksin lain telah diperlemah dengan langkah passaging yang diulangi. Strain dewasa sebelum waktunya memiliki waktu prepaten menurun dan  sebagai hasilnya memiliki penurunan kemampuan untuk meniru dan dengan demikian menurangi kekuatan virulen. Semua vaksin memberikan kekebalan yang kuat terhadap infeksi Koksidia bila diterapkan dengan hati-hati di bawah kondisi pemeliharaan yang baik. Namun demikian, dosis vaksin Coccidia harus hati-hati untuk dikendalikan, dan vaksin harus diambil dari kotoran burung yang terinfeksi.Burung divaksinasi akan menumpahkan ookista yang ditransmisikan ke unggas lain dalam kawanannya. Karena variasi vaksinasi  ketegangan regional dengan suspensi yang diberikan dari ookista hidup mungkin tidak efektif dalam melindungi hewan terhadap strain lapangan pada lokasi yang berbeda. Vaksin komersial tersedia untuk melindungi anjing dan kucing untuk melawan Giardia Duodenalis. Vaksin mengandung ekstrak Giardia trophozoite secara  administratif pada daerah subkutan dan melindungi anjing dan kucing terhadap infeksi dan penyakit klinis akibat protozoa. vaksin Babesia terdiri dari organisme tick-borne yang merupakan parasit sel darah merah dan menyebabkan anemia. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap ketahanan hewan terhadap Babesiosis, termasuk faktor genetik (sapi Zebu lebih tahan terhadap penyakit pada ternak di daerah Eropa) dan usia (sapi menunjukkan resistensi yang signifikan untuk Babesiosis di bulan ke 6 bulan ). Hewan yang pulih dari Babesiosis akut akan resistant pada penyakit dengan klinis lebih lanjut, dan kekebalan ini telah dianggap sebagai bentuk premunity. Oleh karena itu mungkin untuk menginfeksi anak sapi muda ketika mereka masih relatively tidak mudah terpengaruh terhadap penyakit, dan akan menjadi resistant pada infeksi yang berulang. Organisme yang digunakan untuk  prosedur ini yang pertama diperlemah oleh jalur lintasan yang diulangi melalui teknik splenectomized pada anak sapi dan kemudian ke penerima darah utuh. Antisipasi pem buatan, efek samping dari jenis infeksi terkontrol bisa menjadi berat, dan kemoterapi umumnya diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini. Transfer darah dari satu sapi yang lain juga dapat memicu produksi antibodi terhadap sel darah merah asing. Antibodi ini mempersulit upaya transfusi darah di kemudian hari dan dapat menimbulkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (New Born Disease). Dalam pendekatan yang sedikit berbeda, sapi dapat dibuat tahan terhadap demam East Coast (7 infeksi parva.) dengan menginfeksi  dengan sporozoit virulen dan memberi perlakukan mereka secara bersamaan dengan tetrasiklin. karena infeksi primer dengan T. Gondii akan memberikan kekebalan pelindung yang kuat pada hewan, imunisasi pelindung adalah langkah yang nyata. Di Selandia Baru, vaksin Toxoplasma hidup yang berisi  S48 lengkap telah berhasil digunakan untuk kontrol toksoplasmosis pada domba. Strain ini dikembangkan oleh bagian berkepanjangan pada tikus laboratorium dan telah kehilangan kemampuan untuk mengembangkan bradyzoites  atau untuk memulai langkah seksual dari kehidupan pada kucing. Ini akan menghasilkan perlindungan terhadap infeksi yang berat setidaknya (18 bulan). Sayangnya, vaksin memiliki jangka waktu hanya 7 sampai 10 hari dan dapat menginfeksi manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Tizard I R. 2015. Veterinary immunology An Introduction Seventh edition. Saunders. P : 268 – 275


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Imunologi Respon Imun terhadap Protozoa"

Posting Komentar