Makalah Imunologi Respon Imun terhadap Virus


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Virus merupakan organisme obligat intraseluler, yang mana keberadaan virus dapat dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan juga karena kematian dari hostnya. Oleh karena faktor tersebut, virus maupun host memiliki cara untuk bertahan atau beradaptasi. Virus memiliki kemampuan untuk melawan sistem imun tubuh hostnya, di saat yang sama hewanpun berusaha melawan dan bertahan terhadap  infeksi virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit virus cenderung mematikan jika merupakan infeksi yang pertama atau menginfeksi host yang salah. Ketika  virus berinteraksi dengan inangnya untuk waktu yang lama maka kecendrungan ini akan berkurang.
Contohnya, pada infeksi dimana adaptasi inang rendah, infeksi penyakit akan cenderung akut dan berat. Contohnya rabies. Rabies mematikan bagi anjing, kucing, kuda dan lembu karena mereka bukan inang alaminya. Sedangkan pada inang alaminya khususnya kelelawar dan sigung, virus rabies ada dan dapat bertahan dalam air liur dalam waktu yang lama tanpa menyebabkan penyakit. Dari sisi pandang virus, menginfeksi anjing, lembu atau kuda tidak menguntungkan karena hewan-hewan tersebut hampir tidak pernah menularkan rabies ke sigung. Penyakit lainnya dari tipe ini termasuk feline panleukopenia, canine parvovirus, dan berbagai penyakit mematikan dari Newcastle. Vaksinasi relatif sukses pada infeksi tipe ini karena virus tidak beradaptasi pada kekebalan tubuh inangnya.
Ketika virus dan inangnya lebih beradaptasi, meskipun penyakitnya berat, resiko kematian tidak besar dan virus tetap ada. Pada tipe penyakit ini, penyerangan lebih jauh bisa terjadi sebagai hasil dari infeksi oleh varian antigenic dari virus yang sama. Contoh dari virus tipe ini termasuk penyakit kuku dan mulut dan influenza. Vaksinasi melawan penyakit tipe ini sulit karena banyaknya antigenic pada sirkulasi virus dalam populasi.
Bahkan virus yang beradaptasi dapat mengakibatkan infeksi yang menetap dan system imun tidak dapat mengatasinya lagi. Penyakit tipe ini termasuk infeksi lentivirus, infeksi equine anemia, maedi-visna pada domba, dan AIDS pada manusia. Virus mungkin bahkan berubah selama menginfeksi dan terus meloloskan diri dari system imun. Vaksinasi melawan penyakit ini biasanya tidak berhasil. Seiring adaptasinya meningkat, virus bisa bersembunyi dan terlihat tidak berbahaya. Beberapa infeksi herpesvirus masuk dalam kategori ini. Contoh ekstrim dari adaptasi virus yakni menjadi stabil kemudian terintegrasi dengan genom inangnya. Virus-virus endogen ini terdapat pada mamalia local seperti kucing dan babi.
1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana stuktur dan antigen virus ?
Bagaimana mekanisme infeksi virus?
Bagaimana bentuk tanggapan imunitas bawaan terhadap infeksi virus ?
Bagaimana bentuk tanggapan imunitas dapatan terhadap infeksi virus ?
Bagaimana mekanisme virus menghidari sistem imun ?
Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat reaksi imun yang berlebih?
Bagaimana test untuk mengidentifikasi virus ?
1.3 Tujuan
Mengetahui  stuktur dan antigen virus
Mengetahui mkanisme infeksi virus
Mengetahui bentuk tanggapan imunitas bawaan terhadap infeksi virus
Mengetahui bentuk tanggapan imunitas dapatan terhadap infeksi virus
Mengetahui mekanisme virus menghidari sistem imun
Mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat reaksi imun yang berlebih
Mengetahui test untuk mengidentifikasi virus
  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur  Dan Antigen Virus
Partikel virus atau virion, terdiri atas segmen-segmen asam nukleat kecil sebagai inti yang dikelilingi lapisan protein atau lipoprotein. Lapisan protein ini disebut kapsid, lapisan ini dibentuk dari subunit yang disebut kapsomer. Sebuah amplop yang terdiri atas lippoprotein juga dapat mengelilingi virion. Kompleksifitas suatu virion berfariasi. Beberapa virion, seperti poxvirus, lebih komplex, sementara yang lain, seperti virus penyakit kuku dan mulut, relatif lebih sederhana. Antibodi dapat dihasilkan sebagai respon terhadap epitop pada semua kompleks protein di dalam dan luar permukaan virion. Antibodi terhadap komponen nucleoprotein secara signifikan tidak selalu berbeda dari sudut pandang proteksi, namun dapat menjadi pendukung dalam diagnosis.
2.2  Patogenesis dari Infeksi Virus
Penyerapan, tahap petama dari invasi virus terhadap sel, terjadi ketika virion dari virus berikatan dengan reseptor pada permukaan sel. Reseptor ini tidak didesain untuk mendukung perlekatan virus namun merupakan fungsi fisiologis lain dari sel sendiri. Contohnya virus Rabies berikatan dengan reseptor acetylcholine, yang merupakan sebuah neurotransmitter. Epstein-Barr virus (penyebab infeksi mononucleosis) berikatan dengan reseptor dari C3. Rhinovirus berikatan pada permukaan integrin sel. Kompleks ikatan yang terbentuk kemudian akan dibawa ke dalam sel secara endositosis. Sifat, jumlah, dan distribusi dari reseptor pada inang menentukan range dan tropism dari virus.
Setelah masuk ke dalam sel, kapsid virus akan terbuka sehingga asam nukleat di dalamnya dilepaskan ke sitoplasma, proses ini yang disebut uncoating. Setelah proses uncoating, virus memasuki tahap replikasi (Gambar 24-1). DNA virus yang diproduksi kemudian akan ditraskripsikan menjadi RNA messenger dan RNA ini kemudian di translasi menjadi virion baru. Produk kemudian diragkai dan dilepaskan ke lingkungan. Pada virus RNA, yang digunakan sebagai cetakan adalah RNA.
Perubahan yang terlihat pada sel yang terinfeksi virus sangat jarang dan hanya dapat dideteksi dengan terbentuknya beberapa protein baru pada permukaan sel. Kadang-kadang, perubahan dapat bersifat ekstensif yang kemudian dapat berujung pada lisisnya sel atau tumor.
2.3  Sistem Imun Bawaan
Sistem imun bawaan mencegah dan menghambat infeksi virus pada tahap awal infeksi. Interferon, secara khusus, memiliki peran penting dalam infeksi virus. Lisosom dapat menghancurkan beberapa virus, seperti pula banyak cairan dan enzim pencernaan. Kolektin dapat berikatan pada glikoprotein virus dan mencegah interaksi dengan sel host. Sebagai contoh kolektin conglutitnin, MBP, SP-A dan SP-D menunjukan kemampuan untuk menginaktivasi virus influenza. Sel yang diinfeksi virus dapat mengalami apoptosis prematur yang dapat mencegah invasi dan replikasi virus lebih lanjut.
Interferon
Interferon α/β dilepaskan oleh sel yang terinfeksi dalam beberapa jam setelah invasi virus, jauh sebelum sistem imun dapatan bekerja. Interferon merupakan glikoprotein dengan berat molekul 20-34 kDa. Interferon, terutama alfa dan beta memiliki peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi virus. Pada saat rangsangan atau stimulus biologis terjadi, sel yang memproduksi interferon akan mengeluarkannya ke lingkungan sehingga interferon dapat berikatan dengan reseptor sel target di sekitarnya dan menginduksi transkripsi dari 20-30 gen pada sel target. Hal ini menghasilkan keadaaan anti-virus pada sel target. Sebagai contoh, INF α/β meregulasi transkipsi gen dari 2’5’-oligoad-enylate syntease (2’5’OAS). 2’5’OAS kemudian akan membentuk RNAase L yang mendegradasi RNA virus dan menghambat pertumbuhan virus.
Contoh  enzim yang dihasikan dari IFN, khususnya pada makrofag, adalah nitrit oxida. Enzim ini mencegah perkembangan virus pada makrofag yang teraktifasi interterferon. Selain nitrit oxida, terdapat pula protein kinase. Protein kinase ini menghasilkan eINF2, yang menghambat sintesis protein virus dengan mencegah translasi mRNA. Terdapat pula suatu rangkaian enzim yang disebut protein Mx yang mencegah translasi dari protein virus influenza.
Kemampuan sel dalam menghasilkan INF berfariasi. Leukosit yang terinfeksi  virus, khususnya sel denrdrit DC2, dapat menghasilkan INFα dalam jumlah besar; fibroblas yang terinfeksi virus memproduksi INFβ; dan sel T yang telah terstimulasi antigen merupakan sumber utama dari INFg. Sel ginjal bukan merupakan penghasil interferon yang baik sedangkan neutrofil tidak dapat menghasilkan interferon.
Sitotoksitas dari sel NK distimulasi oleh INF α dan menghasilkan reaksi yang lebih cepat dalam infeksi virus. Sel NK juga dapat menghsilkan INF g. Dengan demikian, sel NK dapat menguragi severity dari infeksi virus jauh sebelum perkembangan dari imunitas dapatan dan penampakan dari aktifitas cytotoxic spesifik
2.4  Sistem Imun Dapatan
a.       Imunitas yang dimediasi antibodi
Capsid virus bersifat antigen, dan terhadap protein ini sistem imun secara umum bereaksi. Antibodi dapat mencegah invasi virus dengan memblok adsorbsi virion ke sel target (fagositosis dari virus) dengan memicu aktivasi dari sistem kompemen atau dengan mengagregasi virus yang mengurangi jumlah dari unit infeksius (Gambar 24-4). Kompleks dari virus dan antibodi tidak dapat menghancurkan virus karena partikel yang terlepas dapat menjadi virio yang infeksius.
Aktifitas antibodi tidak hanya diarahkan pada partikel virion yang bebas namun juga pada antigen viral yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi. Dengan demikian sel yang terinfeksi juga dapat ikut dihancurkan. Aktifitas antibodi yang juga ikut menghancurkan sel yang terinfeksi terlihat pada inveksi virus Newcastle disease, rabies, bovine virus diarrhea, infectious bronchtis pada burung, dan felin leukimia. Antibodi dapat membunuh sel yang terinfeksi dengan cytolisis yang dimediasi sistem komplemen atau antibody-dependent cell-mediated citotoxixity (ADCC). Aktifitas cytotoxic ini melibatkan limfosit, makrofag, dan neutrofil dengan reseptor Fc yang dapat berikatan paada sel target yang telah dibungkus (coated) oleh antibodi.
Imunoglobulin yang dapat menetralisir virus meliputi IgG dan IgM pada serum dan IgA pada sekresi. IgE dapat juga memainkan peran protektif, hal ini terlihat dari kasus kekurangan IgE pada manusia dapat terkena infeksi respirasi yang parah. Seperti pada imunitas antibakterial, IgG merupakan imunoglobulin yang paling signifikan secara kuantitas dan IgM yang paling superior secara kulitas.
Meskipun sebagian besar virus menginfeksi sel dengan berikatan secara langsung pada reseptor dari sel target, beberapa virus menggunakan molekul inermediet. Sebagai contoh, beberapa antibody-coated virus berikatan dengan sel target melalui Fc reseptor. Hal ini memfasilitasi endositosis dari virus yang kemudian meningkatkan infeksi virus. Sistem komplemen pun dapat meningkatkan infeksi dengan mekanisme yang mirip. Contoh dari virus yang infeksinya dapat ditingkatkan oleh antibodi termasuk feline infectious peritonitis, african swine fever, dan human imunodeficiency virus.
b.      Imunitas yang dimediasi sel
Meskipun antibodi dan sistem komplemen dapat menetralisir virion bebas dan sel yang terinfeksi virus, imunitas yang dimediasi sel memiliki peran yang lebih penting dalam infeksi virus. Pada pasien dengan defisiensi respon antibodi dapat mengalami infeksi bakteri yang parah namun cenderung merespon secara normal pada vaksinasi smallpox dan pulih dari infeksi virus secara umum. Sabaliknya, pasien dengan defisiensi imuitas yang dimediasi sel T secara umum resisiten terhadap infeksi bakteri namun sespectible terhadap infeksi virus.
Antigen virus dapat dilepaskan pada permukaan sel yang terinfeksi jauh sebelum virus baru dibentuk. Ketika antigen ini ditampilkan pada molekul MHC kelas I, sel yang terinfeksi akan dikenali sebagai benda asing dan dieliminasi.  Meskipun antibodi dan sistem komplemen memiliki peran dalam mekanisme ini, cytotoxicitas yang dimediasi sel T merupakan mekanisme penghancuan utama. Sel T cytotoxic mengenali kompleks peptida-MHC dan membunuhnya. Dalam kondisi tertentu, sel T cytotoxic dapat membunuh virus internal tanpa membunuh sel yang terinfeksi. Aktivitas cytotoxic ini dimediasi oleh INFα dan INFβ dari sel T. Cytokin ini mengaktivasi 2 jalur eliminasi virus. Satu jaur yang mengeliminasi paartikel nucleoplasid, termasuk genome virus. Jalur ke dua menstabilkan RNA virus.
Makrofag juga dapat mengembangkan aktivitas antivirus. Virus yang telah diendositosis makrofag akan dihancurkan. Jika virus bersifat noncytopathic, virus dapat bertumbuh dalam makrofag dan menghasilkan infeksi presisten. Dalam kondisi ini, makrofag harus diaktivasi agar dapat mengeliminasi virus. Imunitasi tersebut dimediasi oleh IFNg dan merupakan proses yang terjadi pada beberapa infeksi virus. Sebagai contoh, unggas yang telah diimunisasi terhadap flowpox menunjukan aktivitas intivirus terhadap Newcastle disease virus dan dapat mencegah pertumbuhan intraselular dari salmonella enterica gallinarum, sebuah aktivitas yang tidak biasa pada makrofag.
Durasi dari kemampuan imonological memory bervariasi. Dengan demikian antibodi terhadap virus dapat bertahan lama setelah infeksi virus. Namun di sisi lain, karena potensi bahayanya, sel T cytotoxic akan langsung mati setelah eliminasi virus.  Sel T memory dapat bertahan dalam beberapa tahun.
2.5  Mekanisme Virus dalam Menghindari Respor Imun
Dalam proses perkembangan virus, virus telah belajar untuk memanipulasi sistem imun host. Hasilnya, hubungan antara virus dan host harus didasarkan pada akomodasi mutual sehingga menjamin keberlangsungan jangka panjang dari keduanya. Kegagalan dalam mencapai akomodasi ini dapat berakibat kematian dari baik host maupun virus.
Virus dari berbagai famili memiliki strategi survival yang berbeda-beda. Virus RNA dengan genome yang kecil tidak memiliki banyak gen yang dimodifikasi untuk menekan sistem imun. Maka dari itu, protein RNA cenderung multifungsional. Sedangkan pada virus DNA yang memiliki genome yang besar, dapat membagi gen untuk mengatasi sistem imun. Pada virus DNA, seperti poxvirus dan herpesvirus, sebanyak 50% gennya dimodifikasi untuk control terhadap imunitas.
Penghambatan terhadap imunitas humoral
Salah satu mekanisme paling sederhana dalam menghindari sistem imun adalah variasi antigen. Contoh yang paling signifikan dari mekanisme ini terjadi pada virus influenza tipe A dan lentivirus.
Virus Influenza A memiliki protein amplop yanh disebut hemaglutinin dan neuroamidase. Terdapat 13 jenis hemaglutinin dan 9 jenis neuroamidase yang ditemukn pada virus influenza A. Pada saat virus menyebaar di suatu populasi, virus ini mengalami mutasi dan seleksi atau perubahan pada stuktur hemaglutinin dan neuroamidase. Perubahan ini memicu perubahan pada antgenitas virus. Perubahan ini disebut antigen drift dan memampukan virus bertahan lama pada suatu populasi. selain itu, virus influenza juga dapat, secara tiba-tiba, menunjukan perubahan genetik besar yang membuat virus menjadi sangat berbeda sehingga tidak dapat ditemukan kemiripan dengan versi sebelumnya. Perubahan besar ini disebut antigen shift. Perubhan ini terjadi bukan karena mutasi virus sendiri namun karena percampuran dari dua strain virus yang berbeda. Mekanisme yang mirip namun tidak secepat influenza A terjadi pada equine infectious anemia yang disebabkan oleh lentivirus.
Bentuk lain dari mekanisme virus menghindari sistem imun nampak pada caprine arthritis-encepalitis (CAE), aleutin disease (AD), dan african swine fever. Meskipun hewan yang terinfeksi menunjukan respon terhadap infeksi virus, antibodi yang dibentuk tidak dapat menetralisir virus. Kompleks antibdi yang dibentuk pada hewan yang terinfeksi AD memiliki kemampuan infeksius penuh. Kambing dengan CAE membentuk antibodi anti-envelope  dalam jumlah besar namun mengalami kekurangan pada antibodi untuk menetralisir virus (neutralizing antibody). Pada kasus ini kambing gagal dalam mengenali dan merespon epitop antigen.
Mekanisme ke tiga dari mekanisme virus menghindari sistem imun ditujukan oleh infeksi maedi-visna. Pada infeksi maedi-visna, neutralizing antibodi diproduksi secara lambat. Peran antibodi dalam menetralisir virus tidak dapat mengimbangi kemampuan virus menginvasi sel. Antibodi membutuhkan setidaknya 20 menit untuk berikatan dengan virus dan setidaknya 30 menit untuk menetralisir virus, sedangkan virus hanya butuh 2 menit untuk menginfeksi sel.
Penghambatan terhadap interferon 
Virus memiliki berbagai mekanisme dalam menghambat kerja dan efektifitas dari interferon. Mekanisme ini terdiri dari memblok  transduksi dari receptor interferon sampai memproduksi reseptor interferon. Bebebrapa virus menghambat INFg dengan menghambat produksi dari IL-8 dan IL-12 yang dimana keduanya dibutuhkan dalam produksi INFg. Herpesvirus dan poxvirus mengekspresikan homolog IL10 yang menekan respon th1 dan dengan demikian mengurangi produksi dari INFg.
Penghambatan terhadap apoptosis
Salah satu mekanisme sel dapat melawan virus adalah dengan mati. Apoptosis dapat dipicu secara langsung oleh infeksi virus atau lebih sering dengan sel T cytotoxic. Virus akan mengahambat cytotoxisitas yang dimediasi sel T. Sebgai contoh, virus akn menghambat expresi pada molekul MHC I. Gen virus juga dapat mensitesis inhibtor caspase yang menghambat kerja caspase yaitu suatu protein yang memiliki peran penting dari mekanisme apoptosis.
Penghambatan terhadap sel T cytoxic dan sel NK
Banyak virus dapat mnghambat mekanisme ekspresi peptida pada permukaan sel yang terinfeksi. Bovine herpesvirus 1 menurunkan regulasi dari expresi pada molekul MHC I dan menghambat ktivitas sel T. Beberapa virus juga dapat memblok aktifvitas dari sel NK.
2.6  Konsekuensi dari Respon Imun Terhadap Infeksi Virus
Respon imun juga, kadang-kadang, dapat bersifat merugikan. Terdapat beberapa lesi pada kasus infeksi virus yang disebabkan oleh aktivitas imun yang tidak tepat. Sebagai contoh, bovine respiratory synctial virus (RSV) menginduksi respon Th2 pada sapi yang terinfeksi dengan produksi IL4 dan antibodi spesifik IgE pada paru-paru. Hal ini dapat menghasilkan hipersesivitas tipe I.
Penghancuran sel yang terinfeksi virus dapat digolongkan sebagai hipersensivitas tipe III dan, meskipun secara normal bermanfaat, dapat memperparah infeksi. Tingkat keparahan dan signifikasi dari kerusakan jaringan yang timbul tergantung dari seberapa luas infeksi dari virus.  Contoh dari masalah ini terlihat pada kasus distemper encephalitis, di mana neuron mengalami lesi sebagai akibat dari respon imun antiviral. Makrofag dengan jumlah yang besar pada otak memakan kompleks imun dan sel yang terinfeksi yang kemudian mengeluarkan oxidant dan berbagai bahan toxic yang dapat merusak sel di sekitarnya.
a.       Infeksi peritonitis pada kucing
Infeksi Peritonitis pada kucing  adalah penyakit yang fatal pada kucing piaraan dan kucing liar  yang disebabkan oleh coronavirus. Virus FIP memiliki hubungan erat dengan feline enteric coronavirus, dan keduanya memiliki perbedaan, kucing coronavirus enterik bereplikasi  dalam sel epitel usus, sedangkan virus FIP lebih suka bereplikasi  dalam makrofag . Makrofag juga menyebarkan virus FIP  ke seluruh tubuh. FIP cenderung menginfeksi kucing yang relatif muda antara 6 bulan sampai 3 tahun. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk utama:  efusif  (basah) dengan peritonitis (ascites) atau pleuritis yang ditandai dengan adanya sejumlah besar cairan protein dalam rongga tubuh dan dikaitkan dengan vaskulitis dan noneffusive (kering) dengan ciri beberapa granuloma kecil pada permukaan organ perut. Lesi pleura jarang terjadi dalam bentuk noneffusive. Beberapa kucing mungkin menunjukkan tanda-tanda pada sistem saraf pusat dan terjadi lesi pada mata. Kedua bentuk penyakit sangat mematikan, dan kucing akan mati antara 1 minggu sampai 6 bulan.
Patogenesis FIP berbeda antara kedua bentuk penyakit. Setelah menyerang kucing, virus akan bereplikasi dalam sel epitel usus. Virus berada di sel-sel epitel kemudian disebarkan oleh monosit dan diambil oleh sel-sel fagosit di jaringan target. jaringan target ini termasuk serosa dari peritoneum dan pleura, serta meninges dan saluran uveal. Lama infeksi FIP tergantung pada sifat  respon imun.
Kekebalan sel terhadap virus FIP merupakan respon dari Th1 sebagai pelindung. Di sisi lain, antibodi dapat memperburuk penyakit ini. Kucing yang memiliki respon Th1 yang baik akan kebal tehadap FIP. Beberapa kucing, mungkin membuat respon Th2 tetapi gagal menyusun respon imun yang diperantarai oleh sel. Pada hewan ini, antibodi akan melawan virus oleh makrofag. Sejumlah besar virus akan di makan oleh makrofag dan akan menumpuk di sekitar pembuluh darah dari omentum dan serosa. Antibodi ini juga membentuk kekebalan kompleks dengan virus. Kompleks imun ini disimpan di dalam serosa yang menyebabkan peritonitis atau pleuritis dan di dalam glomeruli yang menyebabkan glomerulonefritis lonephritis. Fibrin yang kaya cairan akan masuk ke dalam serosa dan akan mengakibatkan vaskulitis serosa. Produksi imun kompleks secara besar-besaran juga bertanggung jawab untuk koagulasi intravaskular. IL-1 dan IL-6 juga ditemukan dalam konsentrasi yang sangat tinggi di dalam cairan peritoneal yang disebabkan oleh FIP yang berlebihan.
Pemberian antiserum untuk FIP juga dapat mempercepat peritonitis. Lesi berupa non effusif berlebihan dari FIP mungkin hasil dari respon kekebalan Th1 terhadap virus. Replikasi virus tidak dapat dicegah pada kasus ini, dan kurangnya keberadaan makrofag yang terdapat di lesi. Jadi kemungkinannya adalah kucing yang menyusun respon Th1 akan melindungi kucing terghadap coronavirus, kucing yang menyusun respon Th2 akan menimbulkan penyakit dan kucing yang memiliki tanggapan yang beragam tidak akan menimbulkan penyakit. Vaksin yang mengandung virus mutan sensitif temperatur dan bereplikasi di saluran pernapasan bagian atas dan menimbulkan  respon IgA di mukosa. Respon dari mukosa seharusnya mencegah coronavirus masuk tanpa mempengaruhi tingginya kadar serum antibodi. Vaksin ini akan lebih  efektif  jika kucing tersebut belum terjangkit FIP.
Anemia pada kuda
Selain menghindari respon imun, kuda terinfeksi virus anemia menular (EIA) ditandai dengan kerusakan jaringan imunologi. Sel-sel merah dari viremic kuda menyerap virus EIA ke permukaan. Antibodi dan komplemen berfungsi  mengikat virus, akibatnya sel-sel merah tersebut dihilangkan dari sirkulasi lebih cepat dari biasanya. Selain anemia, kuda yang terinfeksi juga dapat mengembangkan glomerulonefritis sebagai hasil dari deposisi kompleks imun pada membran basal glomerulus, Kuda yang terinfeksi EIA memiliki tingkat IgG3 yang sangat rendah, meskipun sirkulasi dari  limfosit muncul tetapi tidak berpengaruh dan merespon secara normal terhadap mitogen seperti  phytohemaglutinin.
2.7  Serologi dari Penyakit Viral
a.       Uji terhadap virus
Test yang paling banyak digunakan untuk deteksi virus adalah tes antibodi fluoresen langsung dan tidak langsung, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan virus dalam jaringan hewan yang terinfeksi. Jika metode ini tidak memungkinkan, perlu menumbuhkan virus pada hewan coba, embrio ayam, atau kultur jaringan untuk menyediakan antigen yang cukup dalam pengujian. Setelah virus cukup dan telah terakumulasi, hal itu dapat dilakukan dengan identifikasi reaksi dengan antiserum spesifik. Test yang biasa digunakan untuk tujuan ini adalah tes antibodi fluorescent, ELISA, inhibisi hemaglutinasi, virus netralisasi, fiksasi komplemen, dan endapan gel. Test yang tepat digunakan tergantung pada sifat yang mana virus tidak dikenal. Test inhibisi hemaglutinasi secara teknis  lebih banyak digunakan. Uji fiksasi komplemen dan test gel endapan cenderung digunakan untuk identifikasi genus yang dimiliki virus. Sebaliknya, tes netralisasi virus cenderung sangat strain-spesifik, begitu banyak sehingga digunakan untuk klasifikasi virus ke dalam subtipe dan bukan dalam mengidentifikasi genus spesifik organisme tertentu.
Teknik yang terkenal untuk mendeteksi antigen viral atau antiviral antibodi adalah ELISA. Test ini memiliki keuntungan bahwa kedua kontrol positif dan negatif dapat dimasukkan dengan serum tes dalam satu tempat. Selain serum, darah utuh, plasma, atau air liur dapat digunakan sebagai sumber antigen atau antibodi  spesifik yang digunakan untuk memperkaya suspensi virus sebelum diamati di mikroskop elektron. Misalnya, sampel tinja dapat di sentrifugasi, meninggalkan supernatan yang jelas, yang berisi sejumlah virus yang berbeda. Setelah sonikasi (memecah gumpalan), antibodi spesifik dari virus ditambahkan ke supernatan, kemudian diinkubasi, dan selanjutnya disentrifugasi lagi. Partikel virus menggumpal  dan  antibodi yang berputar ke bawah. Dimana virus dapat diperiksa dengan mikroskop elektron setelah pewarnaan negatif. Antibodi yang menggumpal  terlihat dalam mikroskop elektron dan akan  mengkonfirmasi langsung  identitas dari virus tersebut.
b.      Uji terhadap antibodi
Secara umum, teknik yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap virus misalnya inhibisi hemaglutinasi, ELISA tidak langsung, immunofluorescence, difusi gel, Western blotting, fiksasi komplemen, dan virus netralisasi. Test fiksasi komplemen dan tes netralisasi virus yang kompleks sangat terbatas sehingga test ini tidak sering digunakan. Tes netralisasi virus juga sangat spesifik, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, karena  cenderung mengurangi nilai dalam  test skrining.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Virus merupakan organisme obligat intraseluler, yang mana keberadaan virus dapat dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan juga karena kematian dari hostnya. Oleh karena faktor tersebut, virus maupun host memiliki cara untuk bertahan atau beradaptasi. Virus memiliki kemampuan untuk melawan sistem imun tubuh hostnya, di saat yang sama hewanpun berusaha melawan dan bertahan terhadap  infeksi virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit virus cenderung mematikan jika merupakan infeksi yang pertama atau menginfeksi host yang salah. Ketika  virus berinteraksi dengan inangnya untuk waktu yang lama maka kecendrungan ini akan berkurang.

 DAFTAR PUSTAKA
Tizard, I. R. 2015. Veterinary immunology an introduction seventh edition. Saunders. P


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Imunologi Respon Imun terhadap Virus"

Posting Komentar